Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Perjodohan
Tiga hari tanpa Ali. Tiga hari di mana aku berusaha menata strategi baru untuk bisa menembus tembok yang Nando bangun di sekeliling dirinya.
Aku mulai merencanakan banyak hal—lebih sering menemaninya membaca, membuatkan makanan kesukaannya, bahkan berniat mengajaknya kembali ke tempat-tempat yang mungkin bisa memicu ingatannya.
Aku yakin… cepat atau lambat, Nando akan kembali padaku.
Namun malam itu, semua rencana buyar.
Ali pulang. Wajahnya lelah, tapi matanya berbinar puas, tanda pekerjaannya di luar kota berjalan baik. Aku tersenyum hambar, sementara di dalam dadaku ada rasa tak nyaman yang sulit dijelaskan.
Kami makan malam bersama. Meja makan itu lagi-lagi terasa seperti panggung dengan peranku sebagai istri yang baik, padahal pikiranku melayang entah kemana.
“Sayang, terima kasih sudah nunggu aku. Maaf kalau sering ninggalin kamu belakangan ini,” kata Ali sambil menatapku lembut.
Aku mengangguk singkat, memaksa senyum.
“Aku paham. Kerja kan buat kita juga.”
Nando duduk di seberang, wajahnya pucat. Dia makan pelan, lebih sering menunduk. Aku sesekali meliriknya, berharap ada tatapan balasan, tapi yang kudapat hanya hening.
Lalu Ali meletakkan sendoknya. Senyum tipis muncul di wajahnya, senyum yang membuatku gelisah tanpa alasan jelas.
“Aku punya pengumuman penting,” katanya tenang.
Aku langsung menoleh.
“Pengumuman?”
Ali menatap Nando dengan sorot penuh arti.
“Nando, aku sudah bicara panjang lebar dengan Bella dan keluarganya. Dan aku rasa… ini saat yang tepat. Aku ingin menjodohkan kamu dengan Bella.”
Suasana meja makan seketika membeku.
Aku menjatuhkan sendokku. Dentumannya di piring terdengar nyaring, seolah menggema ke seluruh ruangan.
Apa yang baru saja aku dengar?
Nando mendongak dengan wajah terkejut.
“Kak… apa maksudnya? Aku… aku belum pernah berpikir soal itu.”
Ali tersenyum sabar.
“Kamu nggak usah khawatir. Bella gadis baik, pintar, dan dia jelas peduli sama kamu. Keluarganya juga setuju. Aku ingin kamu punya pasangan yang bisa mendukung kamu… bukan malah membebani.”
Kata terakhirnya menusukku. Membebani.
Mataku panas, tanganku gemetar di bawah meja.
Ali menoleh ke arahku, tersenyum seakan-akan sedang memberi kabar bahagia.
“Sayang, kamu kan juga kenal Bella. Bukankah dia cocok dengan Nando?”
Aku menelan ludah, suaraku tercekat.
“Cocok…?”
Kata itu terasa begitu pahit di lidahku.
Di seberang sana, Nando terlihat tegang. Dia menunduk lagi, rahangnya mengeras. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, tapi jelas dia tidak nyaman.
Sementara aku… dadaku hampir meledak. Rasanya aku ingin berteriak, ingin mengatakan pada Ali bahwa yang benar-benar cocok dengan Nando adalah aku, bukan Bella. Tapi bibirku terkunci rapat.
Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahku dari Ali.
Namun dalam hati, sumpahku semakin kuat.
Tidak. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku tidak akan membiarkan Bella merebutnya, apalagi dengan restu Ali.
Malam itu aku berbaring di samping Ali, tapi pikiranku melayang entah ke mana. Suamiku tidur dengan wajah damai, napasnya teratur, seolah dunia sedang baik-baik saja.
Aku menatap langit-langit kamar, mataku panas, pikiranku kacau.
Ali ingin menjodohkan Nando dengan Bella.
Kenyataan itu terus berulang-ulang di kepalaku, bagai pisau berkarat yang menusuk tanpa henti.
Aku tahu Ali pasti menganggap dirinya berjasa. Ia sudah memberi Nando rumah, keluarga, kesempatan kuliah. Dan kini, ia ingin melengkapinya dengan seorang istri.
Tapi kenapa harus Bella? Kenapa harus gadis itu yang sejak awal aku tahu selalu mencari celah mendekati Nando?
Tanganku mengepal di balik selimut. Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Keesokan harinya, suasana rumah canggung. Ali berangkat lebih pagi ke kantor, seperti biasa. Aku turun ke ruang tengah dan menemukan Nando sudah duduk di sofa, buku catatan terbuka di pangkuannya.
“Nando…” panggilku pelan.
Dia menoleh singkat, lalu kembali menunduk.
“Pagi, Kak.”
Hanya itu. Datar, singkat, hambar.
Tidak ada senyum, tidak ada sapaan hangat, hanya jarak yang semakin jelas di antara kami.
Aku duduk di sampingnya, mencoba mencari celah.
“Tentang ucapan Ali semalam… kamu nggak kaget?”
Nando berhenti menulis sejenak. Ekspresinya sulit ditebak.
“Kaget, iya. Tapi aku sudah mikir. Kalau itu solusi terbaik, mungkin nggak masalah.”
Dadaku seperti diremukkan dari dalam.
“Maksud kamu… kamu nggak keberatan dijodohkan dengan Bella?”
Dia menarik napas panjang, lalu menatapku, matanya redup.
“Aku nggak mencintainya, Aura. Tapi kalau dengan begitu semua orang bahagia, kenapa tidak? Kak Ali tenang, Bella punya harapan… dan kamu juga bisa hidup damai dengan suamimu.”
Hatiku hancur. Suara itu, tatapan itu—bukannya marah, bukannya menolak, tapi pasrah. Pasrah seakan-akan aku tak pernah berarti apa-apa.
Aku menggenggam tanganku erat-erat agar tidak menangis di depannya. Nando ingin aku melupakan dia. Dia ingin aku hidup bahagia dengan Ali.
Tapi aku tahu satu hal, aku tidak bisa. Aku tidak akan bisa.
Hari-hari berikutnya aku mulai menyusun rencanaku sendiri. Aku pura-pura menerima kabar itu di depan Ali, bahkan ikut tersenyum saat ia bercerita tentang pertemuannya dengan keluarga Bella.
Tapi di dalam hati, aku menyusun strategi.
Jika Bella adalah penghalang, maka aku harus mencari celah untuk menghancurkan hubungan itu.
Jika Ali yang mendukungnya, maka aku harus lebih hati-hati bermain peran.
Dan jika Nando terus menolak aku karena rasa tanggung jawabnya pada Ali—maka aku harus menemukan cara agar dia tak bisa berpaling dariku lagi.
Aku tersenyum samar di depan cermin malam itu, menatap bayangan diriku sendiri. Senyum yang bahkan membuatku ngeri.
“Aku gila karenamu, Nando…” bisikku lirih.
“Dan aku akan membuktikan, kalau tidak ada yang bisa membuatmu bahagia selain aku.”