Kiara dan Axel berteman sejak kecil, tinggal bersebelahan dan tak terpisahkan hingga masa SMP. Diam-diam, Kiara menyimpan rasa pada Axel, sampai suatu hari Axel tiba-tiba pindah sekolah ke luar negeri. Tanpa memberitahu Kiara, keduanya tak saling berhubungan sejak itu. Beberapa tahun berlalu, dan Axel kembali. Tapi anak laki-laki yang dulu ceria kini berubah menjadi sosok dingin dan misterius. Bisakah Kiara mengembalikan kehangatan yang pernah mereka miliki, ataukah cinta pertama hanya tinggal kenangan?
*
*
*
Yuk, ikuti kisah mereka berdua. Selain kisah cinta pertama yang manis dan menarik, disini kita juga akan mengikuti cerita Axel yang penuh misteri. Apa yang membuatnya pindah dan kembali secara tiba-tiba. Kenapa ia memutus hubungan dengan Kiara?.
MOHON DUKUNGANNYA TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA LIKE, DAN KOMEN.
Untuk menyemangati Author menulis.❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Story Yuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Axel masih menggenggam erat tangan Kiara, ia melangkah cepat, sementara Kiara sedikit terhuyung mengikuti langkah pria yang masih terus menarik tangannya.
“Axel…” lirih Kiara, mencoba memastikan pria yang menggandeng nya baik-baik saja.
Axel tak bergeming. Tak mendengar atau sengaja pura-pura tak dengar, entahlah.
Di persimpangan. Axel menghentikan langkahnya, ia menoleh ke arah Kiara yang tampak menatap sendu dirinya.
Ia menelan ludah, lalu buru-buru melepaskan genggamannya.
“Sorry, aku… kebawa suasana. Tanganmu sakit? Aku terlalu erat menggenggamnya.”
Kiara menggeleng pelan, ia masih menatap lekat Axel. “Kamu baik-baik aja?”
Axel mengangguk, suaranya terdengar getir saat ia mengatakan. “Aku, baik-baik aja.” tangannya memijat tengkuk—gelisah.
“No, kamu nggak baik-baik aja.”
Axel menoleh pelan, menatap heran pada Kiara. “Apa maksudmu?”
“Kamu… mau bolos sekolah, sehari aja?” ucap Kiara tiba-tiba.
Axel mengernyit, ia menatap lekat gadis di depannya, seolah ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. “Bolos sekolah?”
Kiara manggut-manggut. Tanpa menunggu jawaban Axel, ia segera meraih pergelangan tangan pria itu lalu membawanya lari ke arah lain, bukan jalan arah ke sekolah.
Axel sempat bingung, tetapi langkahnya ikut maju beriringan dengan langkah kecil Kiara. Bola matanya membulat, menatap tangannya yang kini digenggam erat oleh gadis yang membawanya kabur entah kemana tujuannya.
Kiara tertawa, wajah cerianya berbinar saat sorot matahari pagi menerpa dirinya. Jalanan masih basah sisa hujan semalam, sepercik genangan air berhamburan saat langkah dua orang yang buru-buru—jatuh tepat di tengah genangan. Seolah menjadi saksi sepasang insan tengah lari dari kenyataan.
Tiba di sebuah gedung mall. Axel dan Kiara membungkuk terengah-engah, lalu berdiri menatap gedung yang masih tampak sepi. Pukul delapan pagi, jelas saja mall masih belum buka.
“Yahhh… belum buka mallnya,” keluh Kiara, bibirnya mulai mengerucut.
“Kita lari-larian, cuma mau ke mall?” tanya Axel, suaranya masih ngos-ngosan.
“Iya, aku mau ajakin kamu main arcade. Tapi malah belum buka mallnya.”
“Ini masih pagi. Ara… jam delapan, mall mana yang udah buka?”
“Terus gimana dong?”
Axel menegakkan bahunya, ia mengangkat tangannya, memeriksa jam tangan. “Udah jam segini, mau balik ke sekolah pun pasti udah telat.”
Axel melayangkan pandangannya, mengamati sekitar. Kebetulan ada sebuah gedung pasar tradisional di sebelah mall itu, ia mengajak Kiara untuk mendatangi pasar itu.
“Ayo, ikut aku.” Ajaknya pada Kiara.
Kiara mengangkat alisnya, menatap heran pada pria yang sudah berjalan mendahuluinya. “Kemana?” tanyanya sambil berlari kecil, mengekori Axel seperti biasa.
Tiba di sebuah pasar. Axel tersenyum tipis begitu masuk, aroma khas jajanan tradisional menyeruak, menusuk indera penciuman Axel dan Kiara.
“Wah… aroma apa ini, enak kayaknya,” gumam Kiara, netranya terus menelisik tiap sudut meja penjual.
“Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat seperti ini,” bisik Axel pelan, nyaris tak terdengar.
Kiara langsung melangkah cepat, menghampiri satu jajanan yang menarik perhatiannya. “Axel! Sini, coba ini,” serunya dengan melambaikan tangan.
Axel menyeringai tipis. “Dia terlihat senang tiap kali menemukan makanan.”
Ia segera menghampiri gadis yang terus menganga melihat banyak aneka jajanan, yang tak biasa ia temui di kantin sekolah.
Axel dan Kiara menghabiskan pagi di pasar itu, mereka berkeliling, melihat-lihat dan membeli jajanan yang sebagian membawa mereka dalam nostalgia.
“Kita waktu kecil suka makan jajan ini,” ucap Kiara saat melihat jajanan lawas dan langka, cenil namanya.
Axel tersenyum tipis, kenangan manis dahulu mendadak terlintas dalam benaknya. “Iya, kita sangat suka ini dulu.”
Kiara menoleh, menatap lekat sisi wajah pria tampan di sampingnya. Sudut bibirnya terangkat saat mendapati Axel yang tersenyum.
Hari terasa cepat berlalu saat mereka bersama. Lelah bermain berdua, akhirnya Axel dan Kiara memutuskan pulang. Mereka melewatkan jam pelajaran, tak biasanya Axel mau bolos sekolah.
Bukan memberi pengaruh buruk, Kiara hanya merasa bahwa tetangganya itu perlu ruang untuk melepas beban pikirannya. Meski tak terucap, Kiara jelas tahu—Axel tengah kalut dalam kegelisahan. Kedatangan ayahnya yang mendadak, membuat pikirannya tak karuan, ia masih belum berdamai dengan ayahnya.
Mereka berjalan sejajar, perbedaan tinggi keduanya terlihat lucu. Axel yang tampak tinggi menjulang, sementara Kiara yang pendek dan mungil saat berdampingan dengan Axel.
Perjalanan pulang mendadak hening, hanya terdengar desah berat Axel yang masih enggan untuk pulang sebenarnya. Dia tahu, ayahnya pasti masih berada di rumah.
“Ara, ayo belajar di rumahmu,” ucapnya saat menoleh pada Kiara.
“Hah? Belajar?”
“Iya.”
Kiara memiringkan kepala, sedikit bingung juga heran. Baru pertama kalinya sejak Axel pulang ke tanah air, ia mengajak untuk belajar di rumah Kiara. “Boleh,” balasnya akhirnya.
****
Tiba di depan rumah. Widia membuka gerbang. “Axel… papa mau bicara sebentar sama kamu,” ucapnya sambil menatap putranya, matanya sendu tetapi bibirnya tetap berusaha tersenyum.
Axel yang hendak ke rumah Kiara pun terhenti, ia menoleh. “Kenapa, ma?”
“Temui papa sebentar, mungkin ada hal penting.”
“Tapi, ma…”
“Axel… ada mama, ayo.” Widia berusaha meyakinkan putranya, kemudian ia menatap Kiara. “Ara… sebentar dulu, papanya mau bicara sama Axel.”
“Oh, iya tante,” jawab Kiara, sedikit ragu, lalu membiarkan pria itu masuk ke rumah.
****
Hari sudah malam. Kiara baru saja menutup pintu kamarnya. Desy menyambutnya dengan sepiring tumisan daging yang baru saja matang, ia mendekati Kiara—memintanya untuk mengantar lauk itu ke rumah tetangganya.
“Ibu dengar ayah Axel datang, kamu antar ini kesana ya, salam buat om Adi. Nanti kalau ayah kamu udah pulang bunda pasti kesana buat menyapa,” ujar Desy.
“Tapi bunda…” protes Kiara, sebenarnya ia ingin menolak, enggan datang kesana malam ini.
“Tolong sayang.”
Kiara menghela napas, ia akhirnya keluar menuju ke rumah Axel.
Baru saja menginjakan kaki ke teras rumah, suara lantang Axel terdengar dari dalam.
“Apa?! Tunangan?!” suara itu terdengar nyaring di telinga Kiara.
Deg!
Jantungnya nyaris berhenti berdetak, tubuhnya mendadak membeku, seolah sesuatu menahannya dengan kuat. Kakinya terasa berat untuk melangkah maju, bibirnya mengatup rapat, jari-jarinya menggenggam erat piring yang kini di dekapnya.
Tunangan? Axel? batinnya gusar.
Ceklek!
Axel membuka pintu, ia terlonjak mendapati Kiara yang berdiri tepat di depan rumahnya.
“Ara?”
Kiara mendongak, jantungnya berpacu. Pelupuk matanya memerah, air matanya siap jatuh.
Axel tertegun, ia diam sebentar sebelum akhirnya bersuara. “Kamu…”
“Ini, tumisan dari bunda. Salam untuk om Adi, katanya,” ucap Kiara sembari menyodorkan sepiring tumisan daging.
Setelah Axel menerimanya, ia segera berlari keluar dari gerbang. Langkahnya cepat, nyaris menyandung sesuatu, pipinya sudah di basahi dengan air mata.
Begitu sampai di rumah, ia langsung menutup pintu dengan keras lalu naik ke kamarnya. Begitu tubuhnya jatuh di atas ranjang, tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Ia meremas bantal sekuat tenaga, mencoba menahan rasa sakit di dadanya yang seakan tak berhenti menghantam.
Desy tampak bingung, ia menatap heran tangga yang baru saja dilewati putrinya dengan langkah tergesa. “Ada apa dengannya?”
...****************...
Bersambung...
Mohon Dukungannya Teman-teman Sekalian...
Jangan Lupa Like, Vote dan Coment! Untuk Menyemangati Penulis.
Salam Hangat Dari Author, 🥰🥰
yg tadinya seneng ketemu cinta pertama yg udah lama ga ketemu
pas ketemu sikapnya beda banget
hhh
🤣
ak pasti menunggunya thor
otakku baru bangun nih