Sebuah pernikahan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling tatap
Raka memejamkan matanya rapat-rapat seraya membiarkan air matanya jatuh dipundak Anindya, kemudian ia pun melepaskan pelukannya dengan perlahan, sambil menatap wanita yang begitu dicintainya itu.
Anindya pun menatap pada putranya dengan bola mata yang berkaca-kaca, lalu ia kembali menyentuh wajah Raka dengan telapak tangannya.
Dan saat itu pula, Raka mengambil telapak tangan sang ibu lalu menciumnya berkali-kali, membuat Anindya tersenyum lembut.
Dengan bola matanya yang terus mengalirkan cairan bening, Raka kemudian berkata...
"Ma, apakah Mama tahu apa yang membuat aku begitu bahagia berada didunia ini?" tanya Raka. Membuat Anindya langsung menggeleng kecil.
Raka kembali meraih tangan Anidya yang satunya lagi, kemudian menggenggamnya erat-erat, seraya mencium kedua tangan itu dengan takzim.
"Kebahagiaanku didunia ini adalah karena Allah telah mentakdirkan aku lahir dari rahim seorang perempuan yang memilki hati tulus, dan sebaik Mama."
Raka menahan isakannya, suaranya bergetar namun penuh kejujuran saat ia kembali melanjutkan perkataannya.
"Ma… aku tahu aku ini bukan anak yang selalu bisa membuat Mama bangga. Aku terlalu sering keras kepala, bersikap dingin, dan bahkan membiarkan hatiku dipenuhi oleh kebencian. Tapi semua itu bukan karena aku tidak menghargai Mama, melainkan karena aku terlalu takut… takut jika luka itu akan kembali terbuka, dan aku tidak sanggup lagi untuk menghadapinya."
Ia menghela nafas panjang, sambil menatap kedua mata Anindya yang berkaca-kaca, lalu melanjutkan dengan suara yang lirih namun sarat akan makna.
"Tapi hari ini… aku sadar akan satu hal. Mama adalah wanita paling kuat yang pernah aku punya. Mama yang dulu pernah disakiti, ditinggalkan, dan juga diremehkan… tapi tidak pernah sekalipun menyerah. Bahkan di saat dunia seakan menutup pintu untuk Mama, Mama tetap memilih berdiri, melawan arus, dan membuktikan kalau Mama bisa bangkit. Semua itu… membuat aku kagum, Ma. Kagum dan juga malu pada diriku sendiri."
Raka menggenggam tangan ibunya semakin erat, seolah ia sangat takut kehilangan sumber kekuatannya itu.
"Setiap tetes keringat Mama, dan setiap air mata yang Mama sembunyikan dariku, itu semua tidak akan pernah sia-sia. Karena dari semua itu, aku belajar bagaimana arti keteguhan. Aku juga belajar bagaimana arti cinta yang sejati. Dan aku tahu, satu-satunya alasan untuk aku bisa berdiri sampai hari ini, serta bisa memimpin perusahaan, dan juga bisa menjadi seseorang yang dihormati oleh orang lain… semua itu karena ada Mama yang selama ini tidak pernah lelah membimbingku, meskipun aku sering mengecewakan Mama."
Air mata jatuh semakin deras di pipi Raka, namun kali ini ia tidak berusaha menyembunyikannya lagi.
"Ma… kalau ada orang yang paling pantas disebut pahlawan dalam hidupku, itu bukan orang lain. Orang itu adalah Mama. Mama lah alasan kenapa aku bisa terus hidup. Mama juga yang menjadi alasan kenapa aku tidak hancur oleh masa lalu. Dan aku bersumpah, Ma… mulai hari ini, aku tidak akan lagi membiarkan kebencian merusak hatiku. Karena aku ingin hidupku… bisa menjadi hadiah terbaik untuk Mama."
Anindya terdiam dengan bibirnya yang bergetar, karena tidak kuasa menahan luapan haru yang menyesakkan dada. Ia kembali mengusap wajah Raka dengan penuh kelembutan, lalu menempelkan keningnya dikening anaknya itu.
"Raka… Nak… Mama tidak butuh apa pun darimu selain hatimu yang tenang. Mama hanya ingin kamu bahagia, bukan hidup dalam luka. Dan mendengar semua ini… sudah cukup membuat Mama merasa bahwa perjuangan Mama tidak sia-sia."
Raka menunduk lalu kembali mencium kedua tangan ibunya dengan khidmat, lalu berbisik...
"Aku berjanji, Ma… aku akan menjadi lelaki yang tidak hanya mewarisi perusahaan, tapi juga mewarisi keteguhan hati Mama. Aku ingin orang lain mengenal bahwa Raka bukan hanya sebagai seorang pemimpin, tapi juga sebagai anak dari Anindya… wanita terkuat, terhebat, dan paling tulus yang pernah ada didalam hidupku."
Suasana menjadi hening karena saat itu hanya terdengar suara isakan kecil diantara keduanya. Namun di balik tangisan itu, justru ada kehangatan yang begitu dalam, dan hanya bisa lahir dari cinta seorang ibu untuk anaknya.
Beberapa saat kemudian, Raka menghapus air matanya yang mengalir, kemudian ia menatap Ibunya kembali.
"Jika memang Mama ingin menghadiri pesta pernikahan itu, maka aku akan mengantar Mama kesana! Karena aku tidak ingin Mama menghadiri pesta itu seorang diri."
Ucapan Raka membuat Anindya terperangah, karena sebelumnya ia tidak menyadari, bahwa anaknya itu akan berkata demikian, dan memutuskan untuk menghadiri pesta pernikahan, anak dari istri mantan suaminya.
Bola mata Anindya menatap Raka lekat-lekat.
"Kamu yakin, Nak? Kamu benar-benar akan ikut dipesta itu minggu depan?" tanya Anindya, yang seolah masih tidak percaya. Dan keraguan dihatinya itu langsung sirna kala Raka terlihat mengangguk.
"Iya Ma! Seperti keinginan Mama, maka aku akan berdamai dengan masa lalu, aku juga akan berusaha menerima bahwa wanita yang merupakan anak Papa itu, adalah adikku juga.
Mendengar perkataan Raka, Anindya terlihat tersenyum sumringah.
"Baiklah Nak! Mama sangat senang mendengar hal itu. sekarang sebaiknya kamu masuk kekamar dan mandi dulu! Dari tadi Mama melihatmu begitu lelah dan tubuhmu juga terasa lengket oleh keringat."
Kata-kata Anindya itu membuat Raka langsung meraba leher dan juga lengannya.
"Oh, iya kah Ma? Apa tadi waktu Mama memelukku, tubuhku bau asem?"
Pertanyaan Raka membuat Anindya tidak bisa menyembunyikan tawanya, sehingga ia pun tertawa sambil memukul bahu putranya itu.
"Hahaha... Iya... Kamu memang bau asem. Mendingan sekarang kamu mandi, biar wangi dan boleh meluk-meluk Mama lagi."
Tawa Raka pun ikut pecah mendengar jawaban sang Mama, kemudian ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah tangga.
Saat pria itu berjalan, langkahnya terhenti sejenak dan secara tidak sengaja, tatapan matanya saling bertubrukan dengan Rosalina yang saat itu berdiri didepan pintu kamar.
Mata Raka terlihat merah karena tangisan, saat tadi ia bersama Anindya. Namun Rosalina tidak bisa menatap bola mata Raka secara berlama-lama, karena pria itu langsung menundukkan wajahnya, dan berjalan terburu-buru untuk menaiki tangga.
Rosalina hanya menatap terpaku tubuh pria tampan tersebut yang menghilang dari pandangan. Namun tidak lama kemudian, suara lembut Anindya terdengar memanggil namanya.
"Lina... Sudah sejak kapan kamu berdiri disitu, Nak?"
Pertanyaan Anindya membuat Rosalina merasa sedikit gugup. Lalu ia berjalan dengan langkah pelan, dan berdiri dihadapan perempuan paruh baya itu.
"Apakah kamu mendengar pembicaraan saya dan Raka tadi, ya Lin?"
Rosalina pun mengangguk pelan, dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, karena ia khawatir jika Anindya akan marah sebab dia sudah lancang mendengar percakapan perempuan itu dengan anaknya.
"Ma-maaf, Bu! Aku tidak bermaksud mendengarkan semua obrolan Ibu dengan Mas Raka. Aku benar-benar tidak sengaja... Tadi aku cuma.... Cuma ingin..."
Rosalina berusaha menjelaskan semuanya dengan perkataan yang tersendat-sendat dan juga terputus-putus.
Bersambung...
Love you mba Sriii 😘😍