Aditya patah hati berat sebab Claudia—kekasihnya— memilih untuk menikah dengan pria lain, ia lantas ditawari ibunya untuk menikah dengan perempuan muda anak dari bi Ijah, mantan pembantunya.
Ternyata, Nadia bukan gadis desa biasa seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Sayangnya, perempuan itu ternyata sudah dilamar oleh pria lain lebih dulu.
Bagaimana kisah mereka? Ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Akhir pekan, Nadia pulang ke kampung halaman. Dia sangat merindukan Ijah dan Nada, adiknya. Terlalu lama hidup di kota yang sibuk, dia ingin menikmati udara kampung yang nyatanya lebih panas daripada Bandung di hari biasanya.
Tapi bagi Nadia, kota kelahirannya akan selalu dirindukan meski dia bepergian sejauh mana.
Tok tok tok.
“Assalamualaikum, Bu? Ibu,” Nadia mengetuk pintu yang ternyata dikunci itu.
Tidak lama, suara seseorang dari dalam terdengar mendekat. Pintu terbuka, Ijah yang membukanya.
Wanita paruh baya itu melotot, mulutnya menganga yang lantas ditutupnya dengan kedua telapak tangan.
“Ya Allah, Nduk! Kamu pulang tapi gak bilang-bilang?” kata Ijah yang memeluk dan mencium kepala Nadia.
“Kangen sama ibu!” Nadia menangis di pelukan Ijah, dia terlampau rindu di pelukan wanita itu.
“Ibu sehat?”
“Sehat, Nduk. Kamu sehat? Dimana A Adit, kamu datang sendiri, Nduk?” Ijah mencari-cari ke belakang tubuh Nadia, benar anaknya itu datang seorang diri dengan ojek.
Sayangnya, Nadia menggeleng. Dari matanya, Ijah sebagai ibu bisa melihat ada kesedihan yang dibawa serta Nadia bersama dengan kepulangannya yang seorang diri.
“Kenapa, Nduk?” tanya Ijah lembut dan lirih, ia mengerti ada sesuatu yang sedang dipendam putrinya.
Kedua usapan tangan Ijah di kedua lengan Nadia semakin membuat wanita muda itu tidak bisa menyimpan lebih rapat rahasia rumah tangannya.
“Bu, maaf, Bu,” panggil nadia sambil mewek, ia yang tiba-tiba ingin menangis seba Ijah tidak berhenti menatapnya dengan penuh pengertian.
Ijah langsung memeluknya, benar dugaannya seperti ada yang tidak beres dengan putrinya.
Ijah merangkul lengan Nadia dan menuntunnya membawa masuk untuk duduk di sofa.
“Kenapa, ada masalah apa, Nduk? Cerita sama ibu.”
.
.
“Benarkah itu keputusanmu, Nduk? Sudah dipikirkan matang-matang, sekali lagi?” Ijah mengusap kepala putrinya. Pagi hari, mereka masih berkumpul di meja makan.
Nadia menerima sepiring pisang goreng diberikan Ijah yang baru matang dari penggorengan.
Nadia mengambil garpu dan menusuk salah satunya, meniup lalu mencicipnya.
“Bukankah setiap orang punya masa lalu, Nduk? Nggak semua peristiwa masa lalu itu indah, bukan?”
Nadia mengulum bibirnya. Tangannya terlipat di atas meja. Garpu masih digenggamnya. Ia mendengarkan apa kata ibunya dan ucapannya memang benar, tidak semua peristiwa itu berjalan indah sesuai harapan.
Ijah duduk di sebelah Nadia, meletakkan garpu itu ke sisi piring, lalu mengenggam kedua tangan putrinya itu, lalu ditangkupnya.
Ijah menatap lekat putrinya, lalu tersenyum seraya berkata.
“Nduk. Kalau sudah menjadi suami atau istri itu, kita bukan hanya menerima kelebihannya saja, tapi juga kekurangan, termasuk kadang masa lalunya yang begitu kelam ... karena yang kita terima bukan hanya cinta dan raganya, tapi juga hati, pemikiran, sifat, dan semua tentang masa lalunya.”
Nadia merasakan panas pada matanya, pisang goreng di dapannya terlihat buram sebab bola matanya telah tergenang oleh air mata.
“Tinggal pilih saja, lebih besar mana antara ego diri atau rasa cinta yang tulus menerima lebih dan kurangnya pasangan.”
Ijah tahu apa yang dirasakan Nadia saat ini, perempuan itu tengah dilema.
Sebagai seorang wanita, Ijah dapat memahami jika putrinya hanya ingin menjadi wanita satu-satunya di kehidupan pria yang bernama suami. Seperti dirinya yang dulu, Ijah memahami benar jika setiap wanita, siapapun orangnya tidak ingin diduakan dengan alasan apapun.
“Jadi, pesan ibu. Cobalah untuk berbicara dengan hati sekali lagi. Dan buktikan, mana yang lebih baik, perbaikan atau pengakhiran.” Ijah menuding dada Nadia dengan lembut.
“Ini ujian kamu, Nduk. Ujian kan gak ada habisnya, datang silih berganti sama seperti kesabaran, akan terasa indah jika keduanya telah menemukan satu garis finish yang sama. Ujian terlewati dan kesabaran akan semakin tebal, pada akhirnya yang paling sabar akan jadi pemenangnya,” terang Ijah yang membuat hati Nadia melunak oleh kata-katanya.
“Bisa jadi akhir dari ujian ini, akan ada sejuta kebaikan yang menanti.”
“Nadia cuma takut, Bu. Takut jika ini bukan hanya sekali, mungkin di tengah jalan nanti, A Adit akan perlakukan Nadia dengan cara yang sama karena dia pria bisa memilih wanita siapa saja. Apakah kalau Nadia saja di hidupnya gak akan cukup, Bu? Apa semua pria memang begitu tabiatnya, Bu? Apa bedanya sama ayah kalau suami Nadia pun begitu?”
“Hussh, jangan menangis, Sayang. Ibu tahu perasaanmu, ibu tahu.” Ijah menarik Nadia ke dalam pelukannya.
“Nadia gak pernah dan gak akan minta apa-apa pada A Adit. Nadia cuma ingin melihat cinta yang nyata. Selama ini yang Nadia tahu jika kata cinta yang dikatakan pria itu pamrih. Cintanya ayah ke ibu Nadia, itu bukan benar-benar cinta. Ada sesuatu yang diincarnya, karena ibu Nadia cantik, karena ibu Nadia kaya, karena ibu bisa membantu melancarkan bisnisnya. Banyak yang ayah inginkan dari ibu. Lalu, setelah ibu gak berdaya, berakhir dibuang begitu saja. Apa semua pria akan melakukan itu, Bu?”
“Hush, hush. Tidak, tidak semuanya begitu, Sayang.”
“Bagaimana jika A Adit begitu sama Nadia?”
“Tidak! Aku tidak begitu.” Bukan Ijah yang menjawab, melainkan Aditya yang tiba-tiba datang entah sejak kapan dia ada di rumah.
Nadia melotot, dia melepaskan diri dari pelukan Ijah.
“A? Kok dia ada di sini, Bu?”
semangat /Determined/
ayuk Up lagiih hehee
aditi Aditia kocak beud masak masih amatiran