Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulit diakhiri
“Huek!”
Suara muntah Naura terdengar jelas dari ruang tamu, memecah ketenangan sore itu.
Kinanti yang sedang membereskan meja makan sontak menoleh panik. Sisa aroma tumisan sayur yang memenuhi udara bercampur dengan bau asam yang menusuk dari arah Naura.
“Ra kamu kok masih mual terus?” tanya Kinanti cepat, sambil berjalan menuju adiknya. “Kamu belum sembuh masuk anginnya? Sejak kemarin nggak berhenti-berhenti mual.”
Naura yang duduk di ujung sofa mengangkat wajah pucatnya. Mata sayu, pipi tirus, dan keringat tipis membasahi pelipisnya. “Iya, Mbak…” jawabnya lirih, suaranya nyaris tenggelam.
Kinanti hendak memegang kening Naura untuk memeriksa suhu tubuhnya. Namun sebelum sempat menyentuh, suara berat seorang pria terdengar dari arah kamar.
“Beib kamu belum buatin Mas teh hangat sejak Mas pulang kerja,” ujar David sambil melangkah keluar.
Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos putih bersih. Rambutnya masih sedikit acak-acakan, tanda baru saja berbaring.
Gerakannya santai, tapi sorot matanya singgah sesaat pada Naura, terlalu singkat untuk dianggap perhatian, tapi cukup dalam untuk memberi arti bagi yang mengerti.
Kinanti menoleh. “Oh iya, Mas, Mauren masih tidur?” tanyanya sambil mengangkat alis.
David tersenyum tipis. “Iya, Sayang, masih,” jawabnya cepat, seperti ingin segera mengalihkan pembicaraan.
Kinanti menambahkan sambil melangkah ke dapur, “Sayang, sekalian aku buatin cemilan ya. Mau apa?”
David menatap sebentar, pura-pura berpikir. “Kentang goreng krispi kayaknya enak.”
“Siap, tunggu sebentar.”
Begitu Kinanti menghilang di dapur dan suara panci mulai berbunyi, ruang tamu terasa berbeda. Sunyi. Hanya ada David dan Naura, duduk berjarak setengah meter di sofa yang sama.
David menoleh. “Kamu kenapa lagi? Lemas gini terus.”
Naura menatapnya, matanya berkilat dengan sesuatu yang bukan sekadar sakit. Ia meraih tangan David, meletakkannya di atas perutnya yang masih rata. “Anak ini kayaknya pengen dekat sama papanya, tapi papanya malah menghindar terus.”
David menarik napas dalam. “Naura, jangan bicara gitu di rumah ini.”
“Kenapa? Takut Mbak Kinanti dengar?” suara Naura meninggi. “Atau takut sama rasa bersalah kamu?”
“Bukan gitu… aku ini suami Mbakmu. Kita harus hati-hati, kamu juga sebenar lagi mau menikah dengan Yusuf."
“Pernikahan itu cuma tameng, Mas,” potong Naura cepat. “Nggak akan merubah cinta kita. Anak ini juga kangen papanya.”
David menunduk, memijat batang hidungnya. “Naura, kamu akan menikah sama Yusuf. Kamu harus fokus sama itu.”
“Aku nggak peduli,” ucap Naura, tatapannya dingin. “Kalau anak ini yang minta dekat sama kamu gimana, Mas? Kalau aku bilang semuanya ke Mbak Kinanti, Mas bisa apa?”
Darah David seperti berhenti mengalir sesaat. “Naura… jangan ancam Mas.”
“Aku nggak ngancam, cuma mengingatkan,” jawabnya santai, tapi senyum di bibirnya penuh makna. “Aki sudah berkorban banyak, Mas yang merenggut kegadisanku. Itu bukti kalau aku sayang sama Mas setulus hati. Hargai cintaku.”
Suara Naura mulai bergetar. Air mata jatuh, satu demi satu, membasahi tangannya yang menggenggam jari David.
David terdiam lama, lalu berkata pelan, “Iya… maaf.” Ia menarik Naura ke pelukannya, menepuk punggungnya lembut. “Kamu lelah. Ayo istirahat di kamar.”
Naura mengangguk. Mereka berjalan menuju kamarnya, tapi sebelum masuk, Naura menahan lengan David. “Mas masuk sebentar.”
David ragu, tapi tetap melangkah masuk. Begitu pintu tertutup, Naura langsung menempelkan bibirnya ke bibir David. Ciuman itu agresif, penuh desakan. Tangannya melingkar erat di tengkuk David.
Dari ruang keluarga, suara Kinanti memanggil.
“Mas! Mas David! Kentangnya udah mateng, Mas! Kamu di mana? Mumpung masih anget, Mas!”
David melepaskan diri sedikit. “Naura, itu Mbak Kinanti.”
“Biarin. Mas di sini sebentar aja.”
“Ra… Mas harus keluar. Nanti Mbakmu curiga.”
Naura tersenyum miring. “Panggil aku ‘sayang’ dulu.”
“Sayang, Mas keluar dulu,” ucap David pasrah.
“Cium Dede di perut.”
David berlutut sedikit, menempelkan bibirnya di perut Naura. “Sayang, istirahat, ya. Jangan rewel,” ucapnya lembut.
Naura tersenyum puas. “Baiklah, Mas.”
David berdiri dan keluar. Turun dari tangga, ia langsung disambut Kinanti yang membawa piring kentang goreng.
“Mas kamu dari mana?” tanya Kinanti.
“Telepon di balkon tadi,” jawab David cepat.
“Naura mana? Aku udah selesai bikin kentang gorengnya.”
“Kayaknya istirahat.”
Kinanti mengangguk, lalu menyodorkan piring. “Makan, Beib, mumpung masih hangat.”
David mengambil satu potong, tapi pikirannya gelisah. Ia tahu, rahasia mereka semakin tipis jaraknya dari terbongkar.
David mengunyah kentang goreng perlahan, mencoba menenangkan degup jantung yang masih berantakan. Dari sudut matanya, ia melirik ke arah tangga, khawatir kalau Naura tiba-tiba muncul dan melakukan sesuatu yang bisa memancing kecurigaan Kinanti.
Kinanti duduk di sampingnya, menaruh piring di meja. “Mas kelihatannya pucat. Kerjaan di kantor banyak, ya?”
“Biasa,” jawab David singkat. “Tadi lembur sedikit.”
Kinanti menghela napas sambil mengusap lengannya. “Mas jangan terlalu capek. Aku juga khawatir. Apalagi…” Ia melirik ke arah tangga. “Naura belum sembuh-sembuh mualnya.”
David menghindari tatapan istrinya. “Mungkin cuma masuk angin.”
“Tapi mualnya lama banget. Aku takut itu tanda-tanda yang lain,” gumam Kinanti, matanya penuh kekhawatiran.
David berdehem, pura-pura fokus pada kentang goreng di tangannya. “Yaudah nanti aku anter dia periksa kalau perlu.”
Kinanti tersenyum tipis. “Makasih, Mas. Kamu memang perhatian sama adikku.”
Kata-kata itu membuat David nyaris tersedak. Perhatian, tapi bukan dalam arti yang Kinanti bayangkan. Ia buru-buru minum air putih, menelan rasa bersalah yang makin menyesakkan dada.
Di lantai atas, Naura duduk di tepi ranjang sambil memeluk bantal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meski matanya masih sembab. Ia mengusap perutnya, seolah berbicara pada seseorang yang tak terlihat.
“Nak, kamu lihat kan? Papa kamu datang tadi. Dia nggak akan bisa jauh dari kita.”
Ia merebahkan diri, membayangkan masa depan yang penuh drama. Di kepalanya, ia yakin, cepat atau lambat, David akan meninggalkan Kinanti demi dirinya. Lagipula, bukankah cinta sejati harus diperjuangkan?
Malam itu, hujan turun deras. Kinanti sudah tertidur di kamar utama, tapi David masih duduk di ruang kerja kecilnya, menatap layar laptop tanpa fokus. Pikiran tentang Naura dan ancamannya terus berputar.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Naura masuk.
Naura : “Mas, aku nggak bisa tidur. Dede kangen papa. Ke kamar aku bentar aja.”
David menutup mata, mencoba menahan dorongan untuk membalas. Tapi jarinya bergerak sendiri.
David: “Mbak kamu udah tidur?”
Naura: “Udah. Cepet, Mas. Aku tunggu.”
David menatap pintu kamar kerja. Ia tahu ini gila. Sekali saja ia membuat langkah yang salah, semua bisa berakhir. Tapi rasa takut dan ketertarikan itu anehnya saling bertaut, membuatnya berdiri dan berjalan ke arah kamar Naura.
Begitu pintu terbuka, Naura sudah berdiri di sana, mengenakan gaun tidur tipis warna krem. Rambutnya tergerai, wajahnya lembut diterangi lampu meja.
“Kamu datang,” ucapnya pelan, tapi matanya berbinar.
David melangkah masuk, menutup pintu perlahan. “Ra, kita nggak boleh begini terus.”
Naura menatapnya dalam. “Kenapa nggak? Mbak Kinanti tidur, nggak akan tahu.”
“Bukan soal itu,” bisik David. “Aku takut… takut kehilangan semuanya.”
Naura tersenyum miring. “Kamu nggak akan kehilangan apa-apa kalau tetap di sisiku. Justru aku yang akan kehilangan kalau kamu pergi.”
Ia mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Tangannya menyentuh pipi David. “Mas… aku sayang kamu. Dan aku nggak akan biarin kamu pergi dari hidupku.”
David terpaku, lalu menghela napas panjang. “Kita harus hati-hati.”
Naura mengangguk, tapi senyum liciknya tak hilang. “Selama Mas nggak ninggalin aku, aku akan diam.”
Malam itu David terjebak di kamar Naura, David kembali melakukan kesalahan yang ingin sekali diakhiri. Apalagi Naura sudah memancingnya dengan baju jaring laba-laba.
____
Keesokan paginya, suasana rumah tampak biasa. Kinanti sedang membuat sarapan, David duduk di meja makan membaca berita di ponsel, dan Naura… berdiri di dapur, membantu Kinanti memotong buah.
Namun di sela tawa kecil dan obrolan ringan, sesekali Naura melirik David dengan pandangan yang terlalu intens untuk sekadar adik ipar. Pandangan yang membuat David gelisah setiap kali mata mereka bertemu.
Kinanti tak menyadari itu. Ia malah berkata sambil tersenyum, “Mas, nanti sore temenin aku belanja, ya. Kita mau bikin acara kecil-kecilan di rumah, kumpulin keluarga. Biar semua senang.”
David menatap istrinya, lalu sekilas melirik Naura yang sudah menahan senyum. “Iya… tentu,” jawabnya, meski hatinya tak tenang.
Di dalam kepalanya, ia tahu hari itu mungkin akan menjadi awal dari masalah yang tak bisa lagi ia kendalikan.