Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Roda yang Masih Menyimpan Nama
Tempat bus pariwisata Bali yang sudah diperbaiki, tapi masih menyimpan jejak-jejak kejadian tragis. Suasana bab ini melankolis, penuh rasa ingin tahu, tapi tetap dihantui sunyi dan misteri.
Perjalanan ke tempat pool bus pariwisata itu memakan waktu hampir dua jam. Kami menumpang angkutan umum, lalu berjalan kaki melewati deretan ruko sepi, melewati ladang alang-alang yang tumbuh liar, sebelum akhirnya tiba di sebuah garasi tua bertuliskan huruf pudar:
“PT. Tirta Wisata Nusantara”
Di dalam, deretan bus berwarna biru-putih terparkir rapi, sebagian sedang disemprot air sabun oleh petugas kebersihan. Tapi mataku langsung terpaku pada satu unit di ujung kiri, yang terlihat sedikit lebih kusam meskipun bodinya sudah dicat ulang.
“Aku rasa itu,” gumamku.
Nayla menatapku. “Yang nomor 26?”
Aku mengangguk.
Bus itu berdiri diam seperti raksasa tua yang kehilangan suara. Jendelanya dibersihkan sempurna, catnya masih baru, tapi ada sesuatu yang... tidak bisa dipoles: auranya.
Kami mendekat pelan. Udara di sekitarnya lebih panas, entah karena matahari atau karena jantungku berdegup terlalu keras. Aku menyentuh bodi bus dengan ujung jari.
Dingin.
Seorang pria paruh baya berseragam operator menghampiri kami. Namanya Pak Subandi—kata resepsionis tadi, dia sopir senior yang sudah bekerja lebih dari dua dekade.
“Kalian dari kampus Wira Dharma, ya?” tanyanya pelan, seolah sudah tahu tujuan kami bahkan sebelum kami buka mulut.
Aku mengangguk. “Kami... mau tahu soal kecelakaan bus tahun lalu. Yang ke Bali. Bus ini, kan?”
Pak Subandi mengangguk berat. “Benar. Ini busnya. Sudah diperbaiki semua. Tapi... bekasnya tetap ada.”
Dia membuka pintu bus dan memberi isyarat agar kami masuk. Bau solar dan pelapis jok baru menguar samar. Tapi di balik itu, aku merasa seperti sedang memasuki lorong waktu yang ditolak kenyataan.
“Aleandro Reza Fatur,” kataku. “Dia penumpang salah satu dari rombongan waktu itu.”
Pak Subandi diam beberapa detik. Lalu berkata, “Saya ingat dia. Duduk di baris kelima dari belakang. Saya sempat ngobrol pas istirahat di rest area. Anak yang sopan. Senyumannya... tenang.”
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Nayla hati-hati.
Pak Subandi duduk di tangga bus, menatap jalanan kosong. “Waktu itu hujan deras di kawasan pegunungan. Tikungan curam. Rem mendadak blong. Saya bukan sopir bus ini, tapi rekan saya—Pak Andri—yang nyopir. Dia meninggal juga.”
Aku menelan ludah.
“Beberapa mahasiswa selamat. Ada yang luka parah. Tapi... satu jasad tidak pernah ditemukan. Jatuh ke jurang, katanya. Evakuasi dihentikan karena tanahnya labil.”
Jantungku berdetak lebih keras. “Ale?”
Pak Subandi menatapku lama. “Iya. Dia satu-satunya yang... hilang.”
Kami duduk dalam diam. Angin sore masuk dari jendela terbuka. Di tengah bangku baris lima itu, aku melihat sesuatu yang tak biasa: goresan kecil di sandaran kepala kursi.
Aku mendekat. Goresan itu membentuk huruf:
“W.A”
“Apa ini...?” Nayla ikut mendekat.
Pak Subandi melirik. “Itu baru muncul setelah perbaikan selesai. Kita semua kira teknisi yang iseng.”
Tapi aku tahu itu bukan iseng.
“W.A” —-- Wina Agustina.
Tanganku gemetar.
“Dia meninggalkan ini... untukku?”
Pak Subandi tak paham. Nayla menatapku khawatir.
Tapi saat itu, aku merasa dunia diam. Dan dalam sunyi itu, di antara suara angin yang lewat sela kaca dan denting logam, aku mendengar suara dalam hatiku suara Ale:
“Aku tidak pergi. Aku hanya menunggumu... menemukan jejak yang tertinggal.”
Bab ini membawa Wina (dan pembaca) lebih dalam ke masa lalu Ale, membaurkan dunia nyata dan rasa spiritual. Penemuan kecil seperti ukiran nama membuat misteri makin dalam namun personal.
Siap lanjut? Atau ingin rekap garis besar sejauh ini dulu?
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup