Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Menjemput Arumi
Bab 35. Menjemput Arumi
POV Dimas
Aku tidak tenang meninggalkan Arumi kali ini. Apalagi Renata dengan berani datang ke rumah tempat tinggal kami.
Ku percepat semua jadwal kerjaku agar bisa selesai lebih awal dari jadwal sebelumnya. Rasa lelah yang begitu menyiksa tidak aku pedulikan demi bisa bersantai setelahnya.
Urusan di Jambi sudah selesai sore ini. Malamnya, aku dan Arif langsung terbang ke Sulawesi. Di jadwal harusnya aku kembali ke Bandung. Tapi ku urungkan untuk kembali ke Bandung setelah semua pekerjaan beres saja.
Arif masuk ke kamar hotel dimana aku menginap. Sama sepertiku, dia juga memiliki lingkaran mata panda di wajahnya. Aku terkekeh melihatnya. Namun senyumku segera memudar karena Arif tak kunjung ikut bercanda. Wajahnya tetap serius menatapku dan malah terlihat ada kegelisahan disana.
"Ada apa?" Tanyaku beralih pada mode serius.
"Ada kabar kurang baik dari Pak Hasan."
Keningku berkerut. Apalagi Arif menggantung kalimatnya sehingga membuat ku penasaran saja.
"Apa?"
"Nona Renata datang ke rumah setelah bertemu dengan Bapak."
Posisi duduk ku langsung berubah tegak.
"Dan..."
"Jelaskan!" Perintahku.
Arif terlihat menghela napas berat.
"Dia mengancam Bu Arumi dengan hutang agar segera berpisah dengan Bapak."
Tanganku terkepal dan rahangku mengeras.
"Bibi memberi tahu itu kepada Pak Hasan. Dan hari ini, Pak Hasan mengantarkan Bu Arumi bertemu dengan Nona Renata lagi. Entah apa yang terjadi di pertemuan itu, Bu Arumi menangis sedih di dalam mobil. Bahkan untuk menghibur hati, Bu Arumi minta untuk berkeliling sebelum pulang ke rumah."
Aku menunduk, merasakan dada ku sakit seperti terluka.
"Tapi, setelah tiba di rumah, ada Nyonya besar juga Bu Yuni."
Kembali wajahku terangkat menatap Arif dengan tajam mendengar Mama dan Tante Yuni datang ke rumah.
"Mereka terlibat perdebatan dan Ibu Arumi di tuduh.... emm... "
"Katakan!!" Ucapku mulai di liputi emosi.
"Di tuduh selingkuh dengan mantan suaminya sehingga di usir dari rumah. Dan Ibu sudah meninggalkan rumah membawa kopernya."
"Haah!"
Aku tersandar lemah. Bisa-bisanya terjadi masalah yang begitu besar di sana selama aku pergi hanya dalam sehari. Aku yakin itu cuma tuduhan Tante yang memang ingin aku berpisah dengan Arumi. Dan Mama pasti ikut-ikutan termakan omongan Tante Yuni. Shit!!
Aku mengusap wajahku dengan kasar, lalu kembali menatap Arif.
"Dimana Arumi?"
"Kata Pak Hasan, Ibu kembali ke rumah orang tuanya."
Ku sandarkan tubuhku sejenak. Mencoba mendinginkan kepala dan berpikir untuk mengatasi masalah ini sebelum semuanya terlambat.
Aku tidak ingin kehilangan Arumi. Seperti itulah batinku berkata saat ini.
"Pesawat jam berapa?"
"Pesawat terakhir, jam 8 malam."
Ku lihat arloji di tangan, waktu menunjukan pukul 17.35.
"Sudah pesan hotel?"
"Sudah. Hotel Aston di Makassar, dekat dengan lokasi cabang perusahaan dan pertemuan klien kita disana."
"Pesan lagi Hotel yang lain. Cari pemandangan yang dekat dengan pantai. Pesan 3 kamar. Untuk ku, kau dan Arumi.
"Bapak mau Ibu Arumi menyusul ke Sulawesi?"
"Ya. Suruh Pak Hasan menjemputnya pagi besok. Pesanakan tiket untuk mereka di jam 10 pagi. Lalu pesan lagi tiket di sore harinya untuk Pak Hasan. Dia harus tetap mengawasi rumah. Jangan lupa berikan dia tips."
"Baik Pak."
"Dan jika Arumi menolak, cari alasan yang bisa membuatnya terbang ke Sulawesi tanpa di paksa."
Arumi harus selalu berada di sampingku saat ini. Setidaknya, dia akan aman kalau bersama ku.
"Baik Pak."
Untuk perintah terakhir ku, Arif menggaruk belakang kepalanya. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas Arumi harus ada di sana bersamaku nanti.
Sudah cukup sabar aku menunggu Arumi untuk bercerita masalah yang dia hadapi. Tapi mendengar dari cerita Pak Hasan bahwa nyatanya masalah itu berhubungan dengan ku, aku pun tidak bisa tinggal diam lagi.
Pantas saja dia murung. Rupanya dia diancam dengan hutang. Wisnu... Kau pasti dalang di balik semua ini! Aku tidak akan tinggal Diam.
Tangan ku terkepal, geram.
***
POV Arumi
Aku terbangun dan langsung duduk di atas tempat tidur. Masih setengah nyawa ku terkumpul sempat bingung melihat suasana yang berbeda.
Ah, ya. Ini kamarku, di rumah orang tuaku. Sesaat aku lupa sudah keluar dari rumah Dimas. Aku tidur sedikit lebih lama pagi ini, karena berhalangan masih ada sisa flek.
Aku beranjak bangun. Sedikit limbung karena nyeri di kepala akibat terlalu banyak menangis. Ku lihat gambar diri ini di depan cermin. Kelopak mata ku bengkak dan area seputar mata sembab.
"Haaah..."
"Tok... Tok...!"
"Rum, sudah bangun?"
"Sudah Bu."
"Ada yang mencarimu dan menunggu di ruang tamu."
Sepagi ini? Siapa?
"Suruh tunggu sebentar ya Bu."
"Jangan lama loh, Rum?"
"Iya Bu. Arumi mandi sebentar."
Tidak enak menemui tamu dengan muka bantal seperti ini. Segera aku mandi dengan cepat. Dan berpakaian rapi seperti biasanya. Masih penasaran siapa tamu yang datang ini, aku segera menuju ruang tamu untuk melihatnya.
"Pak Hasan? Ada apa kesini Pak?" Tanyaku sembari duduk di salah satu kursi di ruang tamu.
Sedikit terkejut karena yang datang adalah Pak Hasan. Ada apa ini?
"Maaf Bu. Saya mendapat perintah dari Bapak, pagi ini menjemput Bu Arumi untuk pergi bersama saya ke Sulawesi ke tempat Bapak."
"Apa?"
Lagi-lagi aku di buat sedikit terkejut. Ada apa ini? Tidak bukan itu yang penting. Saat ini, aku tidak boleh bertemu Dimas sesuai perjanjian yang sudah aku tanda tangani.
"Maaf Pak, tapi saya tidak bisa." Tolak ku.
"Ini penting Bu. Bapak berharap Ibu bisa datang."
Tapi kalau penting, kenapa dia tidak telepon saja? Hal penting apa sebenarnya?
"Maaf Pak..."
"Bapak kecelakaan Bu..."
"Apa?!"
Sontak aku berdiri saking terkejutnya mendengar ucapan Pak Hasan yang tertunduk dan terlihat gelisah.
"Kecelakaan?" Ulang ku.
Pelupuk mata yang masih bengkak pun mulai menghangat menghadirkan embun yang terus berkumpul dan menjadi air mata yang siap tumpah.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya ku dan tumpah sudah air mata ini.
Dada ku memburu, rasa gelisah dan tidak tenang menyelimuti hati dan pikiran.
"Saya tidak bisa jelaskan disini. Lebih baik, Ibu melihat keadaan Bapak saja langsung."
Aku tertegun. Bagaimana ini? Aku begitu khawatir dengan keadaan Dimas. Tapi aku sudah menandatangani surat perjanjian."
"Pak Arif sudah memesan tiket untuk saya dan Ibu. Saya ditugaskan untuk mengantarkan Ibu ke sana." Kata Pak Hasan lagi.
Ku remas jari jemari tangan yang bertumpuk di atas pangkuanku. Bingung dan ragu untuk mengambil keputusan. Lalu ku pejamkan mataku sesaat.
"Baiklah Pak. Kita akan berangkat. Pesawat jam berapa?"
"Jam 10 pagi ini Bu."
Aku melihat jam di dinding ruang tamu yang menunjukan pukul 08.13 sekarang masih ada waktu untuk ku mengemas barang bawaanku.
"Kalau begitu, saya bersiap dulu. Tunggu sebentar ya Pak."
Aku beranjak bangun dari duduk ku.
"Loh, mau kemana Rum?" Tanya Ibu yang keluar dari dalam membawa nampan berisi sepiring gorengan dan segelas kopi.
"Dimas kecelakaan Bu, Arumi mau menyusulnya ke Sulawesi. Dimas meminta Arumi ke sana."
"Apa? Kok bisa? Bagaimana kejadiannya?" Tanya Ibu sembari meletakkan nampan di atas meja.
"Ibu tanya Pak Hasan saja apa yang terjadi. Arumi mau bersiap dulu."
"Berangkat jam berapa memangnya Rum?"
"Jam 10 pagi ini Bu." Jawab ku sembari melangkah.
"Silahkan di minum Pak, juga di makan gorengannya. Bagaimana keadaan Nak Dimas?"
Masih bisa ku dengar samar-samar ucapan Ibu sembari menuju kamar ku.
Namun gerak ku, ku percepat dan bergegas meraih koper yang belum sempat aku buka isinya.
Barang bawaan ku dari rumah Dimas masih utuh di koper. Aku pun mengeluarkannya dan memasukan kembali beberapa pakaian dan barang-barang lain yang aku perlukan selama di Sulawesi nanti.
Rasa gelisah di hati ini masih belum bisa hilang jika belum melihat keadaan Dimas. Bahkan ujung jariku mulai dingin membayangkan sesuatu yang buruk terjadi kepada Dimas.
Tuhan, lindungi orang yang aku cintai ini. Meski tidak bisa memilikinya, setidaknya beri dia kesehatan dan umur yang panjang agar aku bisa melihat meski dari kejauhan nanti.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Nanti dapat piala Citra
moga aja dimas terselamatkan dr rencana ular betina itu... 🤧🤧
arif mna arif... rif tolongin bosmu rif.. bosmu mau di mangsa ular betina😩😩😩
apa ini... jgn bilang ini akal2an renata n mau jebak dimas.. mau bikin huru hara itu kayaknya si ulet bulu🙄🙄🙄 moga arif bisa nolong dimas andai semua ini jebakan si renata