JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN
Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!
Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.
Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?
Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN YANG MENDEKAT
Lima bulan berlalu sejak malam-malam penuh mimpi buruk itu. Kini, usia kandungan Zhao sudah menginjak delapan bulan lebih. Perutnya membuncit indah, langkahnya mulai terbatas, namun senyum cerianya tak pernah benar-benar pudar. Meski mimpi-mimpi mencekam itu masih setia menghantui setiap malam, Zhao sudah tak lagi rapuh. Ia belajar menenangkan hatinya karena selalu ada Pangeran Wang di sisinya.
Di dalam hatinya, ia sudah bertekad apa pun yang akan terjadi, ia akan melahirkan anaknya dengan selamat.
Pangeran Wang hari itu duduk di tepi ranjang, wajahnya menyiratkan kerisauan yang tak ia sembunyikan. Zhao, yang tengah duduk santai di kursi kayu dekat jendela, memperhatikan suaminya dengan seksama.
"Kau kenapa? Seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat," tanya Zhao lembut.
Pangeran Wang menghela napas. "Entahlah… tapi akhir-akhir ini aku merasa Pangeran Yu berubah. Ia tidak lagi seperti biasanya padaku."
Zhao sedikit terkejut. "Benarkah? Aku belum sempat bertemu dengannya akhir-akhir ini."
Pangeran Wang menunduk, jemarinya mengetuk pelan lengan kursi. "Mungkin ini hanya perasaanku. Tapi… aku mengenalnya sejak ia masih kecil. Setiap perubahan kecil dalam dirinya bisa aku rasakan."
Zhao memiringkan kepala, menatapnya dalam. "Kau memang begitu memperhatikan adik-adikmu. Tapi… aku sempat memikirkan, mungkin semua ini karena Pangeran Yu sedang memikirkan kisah ibunya yang… tak pernah ia ketahui dengan jelas."
Pangeran Wang menoleh cepat. "Maksudmu… entah ia sedang mencari tahu, atau mungkin sudah tahu alasan mengapa ibunya diasingkan?"
Zhao mengangguk pelan. "Mungkin itu satu-satunya alasan yang bisa membuat Pangeran Yu bersikap seperti itu padamu. Dia memang tak pandai mengutarakan perasaan. Tapi orang yang terlalu tenang seperti dia… biasanya menyimpan amarah yang besar ketika tahu sebuah kebenaran yang dianggapnya datang terlambat. Dan saat itu terjadi, ia tak akan mau mendengar penjelasan siapa pun."
Tatapan Pangeran Wang melembut, sedikit heran. "Semenjak hamil… kau terasa lebih dewasa."
Zhao tersenyum kecil. "Benarkah? Tapi dengar aku, Pangeran Wang. Kau harus lebih memperhatikannya. Bertanya, menjelaskan, bila perlu. Karena entah apa yang akan terjadi jika pihak lain lebih dulu menghasutnya. Pangeran Yu sama seperti Hwa jin dulu… yang juga pernah terhasut."
Pangeran Wang mengangguk mantap. "Kau benar. Aku akan memperhatikannya lagi. Terima kasih, Zhao." Senyum tipis muncul di wajahnya.
Zhao membalas senyum itu.
"Aku keluar sebentar, ada urusan," ujar Pangeran Wang sambil bangkit.
"Pergilah… itu tugasmu," jawab Zhao tulus.
Pangeran Wang menepuk pelan bahu zhao, lalu mengusap lembut perut buncitnya. "Aku segera kembali."
Zhao hanya tersenyum, mengikuti langkah suaminya dengan tatapan hangat, tanpa sadar bahwa di luar sana, arus besar sudah mulai bergerak untuk memisahkan mereka di hari yang paling penting.
Pagi itu, halaman sisi timur istana masih basah oleh embun. Pangeran Yu berjalan sendirian di jalur setapak berbatu, kedua tangannya diselipkan ke belakang. Wajahnya terlihat tenang, tapi langkahnya lambat, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dari arah berlawanan, Pangeran Chun muncul dengan senyum samar yang sulit ditebak. Ia berjalan santai, lalu berhenti tepat di hadapan sang adik.
“Ku dengar, kau tak lagi sering menemui kakak tercintamu itu?” ucap Pangeran Chun, nadanya ringan namun penuh sindiran.
“Aku sibuk,” jawab Pangeran Yu singkat, tanpa menatap lama.
Pangeran Chun tersenyum licik, mengangkat alisnya. “Ah… tenang, adikku. Jika kakak tercintamu itu menjauhimu, masih ada kakakmu yang satu ini… yang siap membantumu.”
“Membantuku? Untuk apa? Aku tak sedang membutuhkan bantuan siapa pun,” sahut Yu datar.
Chun melangkah setengah mendekat, menurunkan suaranya. “Kau bisa tanyakan padaku… tentang masalah ibumu dulu. Siapa yang membuatnya diasingkan, dan kenapa itu terjadi.”
Tatapan Yu mengeras. Ia tak suka topik itu kembali diungkit.
“Kau tenang. Aku tak seperti Kakak Wang yang tak pernah memberitahumu… hanya karena ingin melindungi ibunya,” lanjut Chun, senyumnya tipis. “Aku tahu… dia juga ibuku. Tapi tetap saja, bukan berarti dia benar.”
Yu menatapnya tajam. “Tapi dia juga ibumu. Dan itulah masalahnya.”
Tanpa menunggu balasan, pangeran Yu berbalik dan berjalan pergi.
Pangeran Chun berdiri mematung, menatap punggung sang adik yang menjauh. Senyum sinis perlahan terukir di wajahnya. “Dia memang sulit untuk diajak masuk… tapi setidaknya, dia mulai keluar dari sisi Pangeran Wang.” Gumam itu ia lepaskan nyaris tanpa suara, sebelum melangkah santai meninggalkan jalur setapak.
Menjelang siang, Pangeran Wang berjalan melewati lorong panjang istana barat bersama Chen, pengawal pribadinya. Dari kejauhan, matanya menangkap beberapa pelayan istana tengah mondar-mandir membawa peti kayu menuju arah barat. Wajah mereka tegang, gerak-geriknya terburu-buru.
“Chen,” bisiknya, tetap berjalan seperti biasa, “itu pelayan istana tengah, kan? Apa yang mereka lakukan di sini?”
Chen menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. “Benar, pangeran. Dan bukan hanya mereka. Pagi ini saya melihat beberapa prajurit istana timur berpindah tugas ke sisi barat tanpa pemberitahuan resmi.”
Pangeran Wang menyipitkan mata. “Siapa yang memberi perintah?”
“Tidak ada surat dari pihak keamanan utama,” jawab Chen hati-hati. “Saya khawatir… ini pergerakan di luar kendali kita.”
Pangeran Wang berhenti di balik tiang kayu besar, suaranya menurun menjadi nyaris berbisik.
“Dengarkan baik-baik, Chen. Mulai sekarang, kau harus memantau semua pasukan, baik di dalam maupun di luar istana. Lakukan dengan diam-diam, tanpa sepengetahuan pihak mana pun… terutama pihak yang berpotensi menjadi musuh.”
Chen menunduk, menyimak serius.
“Kirimkan surat rahasia ke pasukan luar istana. Perintahkan mereka memperketat penjagaan di setiap wilayah, termasuk perbatasan. Tidak ada satu pun yang boleh lolos keluar atau masuk tanpa izin.”
“Baik, pangeran,” jawab Chen singkat.
“Untuk pasukan di dalam istana,” lanjut pangeran Wang, “atur jumlahnya cukup untuk melakukan pengepungan kapan saja, tak peduli berapa banyak musuh yang menyerbu. Tapi…” ia menatap Chen dengan tajam, “…lakukan semuanya tanpa menimbulkan kecurigaan. Jika perlu, biarkan mereka berpikir pasukan kita juga adalah bagian dari kekuatan mereka.”
Chen mengangguk tegas. “Mengerti. Kita akan menunggu saat yang tepat untuk mengurung mereka dari dalam.”
Pangeran Wang kembali melangkah, tatapannya mengarah jauh ke timur. “Badai itu semakin dekat, Chen. Dan kita akan memastikan mereka yang memulainya… berakhir di tempat yang mereka pilih sendiri.”
Di sebuah paviliun tertutup yang terlindung dari pandangan luar, Pangeran Chun duduk santai sambil memutar cangkir teh di tangannya. Menteri Perang berdiri di depannya, dengan sorot mata penuh keyakinan.
“Bagaimana dengan semua persiapan kita? Apa sudah selesai?” tanya Pangeran Chun dengan nada santai, namun matanya tajam.
“Sedikit lagi, Yang Mulia. Bahkan sebagian istana sudah hampir dimasuki oleh pasukan penyelundup kita. Tinggal mengurus yang di luar, dan selangkah lagi kita akan memulainya,” jawab Menteri Perang dengan nada mantap.
Chun mengangguk tipis. “Dan untuk Pangeran Yu? Sepertinya orang seperti dia sangat susah untuk diajak masuk. Tapi setidaknya kerenggangan hubungannya dengan Kakak Wang cukup membantu kita.”
“Benar, Yang Mulia,” sahut Menteri Perang. “Melemahkan sebagian pasukan pangeran Wang adalah bagian dari rencana ini. Setelah itu… Yang Mulia harus mempersiapkan diri untuk mengambil alih kursi ayah Anda, sekaligus stempel kerajaan di istana ini.”
Pangeran Chun tersenyum sinis. “Aku sudah tahu itu. Dia sudah cukup lama meragukanku… dan sudah saatnya masanya berakhir.”
Menteri Perang ikut tersenyum puas, seolah seekor pemangsa yang sudah melihat mangsanya masuk perangkap. “Dan Anda yakin akan menodongkan pedang Anda padanya, Yang Mulia?”
“Tentu,” jawab Chun tanpa ragu. “Daripada repot-repot merebut tahta putra mahkota, lebih baik langsung menjadi kaisarnya.”
Keduanya bertukar senyum sinis.
"Dengan begitu… kau akan menjadi bonekaku, pangeran bodoh," batin Menteri Perang, sorot matanya menyala licik.
Sementara itu, di balik pilar paviliun, Nona Lee berdiri diam dengan tatapan tajam. Ia sudah mendengar cukup banyak. Dayang pribadinya menghampiri dengan langkah ringan.
“Apa kau sudah memastikan itu akan berhasil?” tanya Nona Lee tanpa mengalihkan pandangannya.
“Sudah, Nona. Kali ini pasti berhasil, dan Nona akan menang,” jawab sang dayang penuh keyakinan.
Nona Lee tersenyum sinis, bibir merahnya melengkung sempurna.
“Kakak Zhao… akhirnya.” gumamnya pelan, penuh kepuasan.
Angin siang itu terasa berat, seolah membawa aroma hujan dan darah yang samar. Intrik yang dibisikkan di paviliun rahasia Pangeran Chun kini mulai menjalar tak kasat mata, menembus dinding-dinding istana.
Di kediaman barat, Zhao duduk di kursi dekat jendela, tangannya mengusap perlahan perut besarnya. Senyum tipis tersungging di wajahnya saat merasakan tendangan kecil dari dalam, namun hatinya justru terasa tak tenang.
Meilan masuk membawa semangkuk sup hangat. “Nona, makanlah. Kau butuh tenaga,” ujarnya lembut.
Zhao menoleh, menerima mangkuk itu, tapi tatapannya tak lepas dari halaman luar yang terlihat sunyi… terlalu sunyi. “Meilan… kenapa terasa sepi sekali hari ini? Bahkan burung-burung pun jarang terdengar.”
Meilan melirik sekilas keluar jendela. “Mungkin karena hujan akan turun, Nona.” Namun nada suaranya tak sepenuhnya yakin.
Zhao menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi di dalam hatinya, mimpi-mimpi buruk yang terus menghantuinya selama berbulan-bulan terasa semakin nyata.
tapi ia tahu… hari ini ia harus menemui seseorang.
“Meilan,” panggilnya pelan.
Dayang itu menoleh, menunggu perintah.
“Temani aku ke kediaman Pangeran Yu.”
Meilan tampak ragu. “Sekarang, Nona? Bukankah lebih baik istirahat?”
Zhao tersenyum samar, mencoba menyamarkan alasan sebenarnya. “Bawaan bayi… dia ingin menemui pamannya.”
---
Halaman latihan Pangeran Yu dipenuhi suara gesekan logam dan bunyi anak panah yang melesat menembus sasaran. Pangeran Yu, dengan napas sedikit memburu, mengangkat wajahnya ketika mendengar suara itu.
“Pangeran Yu,” sapa Zhao, langkahnya tertahan ketika tatapan sang pangeran terasa lebih dingin dari biasanya.
“Kau kenapa ke sini? Lebih baik istirahat saja. Perutmu sudah membesar,” ucapnya, nada suaranya datar tapi menyimpan sisa kepedulian.
“Kau masih perhatian,” jawab Zhao, tersenyum tipis. “Bayi di perutku ingin menemui pamannya yang lembut ini. Apa aku salah?”
Pangeran Yu menahan senyum yang nyaris tak terlihat. “Kenapa aku? Bukan ayahnya?”
“Mana aku tahu… tanya saja pada dia,” ujar Zhao, matanya berkilat nakal.
Tiba-tiba, sebuah tarikan halus di perut membuat Zhao menahan napas. Pangeran Yu langsung meletakkan busur di tangannya. “Kau baik-baik saja?”
“Dia hanya bergerak. Tapi… Pangeran Yu, nanti kalau ayahnya terlalu sibuk, kau mau mengajarinya? Setidaknya sampai dia cukup besar?”
“Kenapa harus aku?” suaranya terdengar heran, tapi juga waspada.
“Kalau kau tak mau, aku sedih sekali…” goda Zhao sambil memiringkan kepala.
Pangeran Yu akhirnya mengembuskan napas pasrah. “Baiklah… kalau dia putra. Tapi kalau putri”
“Takut dia menyukaimu?” sela Zhao polos.
Bibir Pangeran Yu terangkat sedikit. “Bukan itu. Putri bisa belajar pada ibunya.”
“Aku tak yakin… tapi aku yakin kau, Pangeran Jaemin, Hwa jin, dan Xiao bisa mengajarinya.”
Nada itu… membuat Pangeran Yu menyipitkan mata. “Kenapa kau terdengar seperti… tidak akan ada bersamanya?”
Zhao menatapnya lekat-lekat. “Pangeran Yu… sebesar apapun kemarahanmu pada masa lalu, kuharap kau tak berubah.”
Kata-kata itu menusuk, tapi belum sempat ia membalas, warna wajah Zhao semakin pucat.
“Kau pucat sekali,” ujarnya cemas.
“Kau belum menjawabku…”
“Aku tak akan berubah,” ucap Pangeran Yu akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Tapi kau harus berjanji akan mengajarinya bersamaku.”
Zhao tersenyum lembut
"Aku akan mengantarmu" ucap pangeran yu
"Aku ingin kembali di antar oleh hwa jin" pinta zhao
"Aku akan memanggilnya" ucap pangeran yu dan berjalan pergi memanggil hwa jin
Hwa jin muncul di ujung halaman. “Kak Zhao!” serunya, lalu memapah Zhao yang mulai lemas. Meilan mengikuti dengan langkah tergesa.
Pangeran yu menatap kepergian zhao yang terlihat tidak baik baik saja
---
Kamar Zhao terasa hangat oleh sinar matahari yang menembus tirai tipis. Hwa jin membantu Zhao berbaring, sementara Meilan bergegas mengambil vitamin.
“Kau pucat sekali, Kak,” ujar Hwa jin, duduk di sisi ranjang.
“Aku tak apa… Hwa jin, terima kasih sudah menerima Pangeran Yu dengan tulus. Berjanjilah, jangan pernah meninggalkannya. Aku mencemaskannya.”
Hwa jin tersenyum lembut. “Bahkan di kondisimu yang lemah ini, kau masih memikirkannya. Tenang… aku bertekad tak akan meninggalkannya.”
Zhao memejamkan mata, senyum tipis tersisa di bibirnya
Di kejauhan, Pangeran Wang berjalan cepat menuju gerbang kediaman, ditemani Chen yang wajahnya tegang. Keduanya berbicara pelan, tapi dari raut wajah mereka… jelas ada sesuatu yang tidak baik tengah mendekat.
Pangeran Wang berhenti sejenak, menatap langit kelabu di atas atap istana. Di kejauhan, samar-samar ia merasa badai itu sudah mulai bergerak mendekat.