NovelToon NovelToon
Khilaf Semalam

Khilaf Semalam

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Persahabatan
Popularitas:12.3k
Nilai: 5
Nama Author: ayuwidia

Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -


Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.

Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.

Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.

Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.

'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 35 Rasa Yang Tersimpan Di Dalam Hati

Happy reading

Dira mulai membuka lembaran baru, menutup kisah kelam yang membuatnya pilu.

Ia bersyukur karena Kirana berhasil meluluhkan hati ayah dan bundanya, sehingga mereka mau memaafkan kekhilafan yang pernah dilakukannya bersama Dariel.

Tidak hanya memaafkan, mereka juga menerima keadaannya yang tengah berbadan dua dan malah memberi motivasi. Bukan menyalahkan ataupun menghakimi.

Tentang Dariel, Dira sudah merelakannya.

Ia meyakini, Dariel sudah hidup bahagia bersama Maria--putri seorang artis terkenal yang tak bisa dinafikan kecantikannya.

Toh, Dariel berhak mencintai wanita lain yang seiman dan se-amin. Hidup bahagia, tanpa menengok masa lalu. Seperti yang pernah dikatakannya dulu pada Dariel.

Dira menyadari jika dirinya dan Dariel tidak mungkin bisa hidup bersama karena faham yang tak sejalan.

Bagaimana pun juga, keyakinan harus dipertahankan. Bukan malah dikorbankan hanya demi kesenangan duniawi.

Untukku agamaku, dan untukmu agamamu.

Dira sungguh tidak mengetahui nasib malang yang menimpa Dariel beberapa bulan lalu, karena semua orang yang menyayangi-nya sengaja merahasiakan hal itu.

Mereka kompak menutup mulut, sampai waktu yang mereka sepakati bersama. Setidaknya, setelah Dira melahirkan bayi yang dikandungnya.

Jika saat itu Dira mengetahui nasib malang yang menimpa Dariel, bisa dipastikan Dira akan tenggelam dalam kesedihan dan mengalami stres yang mungkin bisa berakibat fatal.

Keguguran. Itulah yang ditakutkan oleh mereka jika nekat memberi tahu Dira.

Bukan hanya kehilangan janin yang dikandungnya. Dira juga bisa kehilangan nyawa.

Selama sembilan bulan, Dira menjalani hari-hari yang terasa berat.

Ia berusaha sabar dan ridho dengan alur cerita yang sudah ditulis oleh Sang Penulis Skenario.

Dira yakin, Allah akan menyentuhkan bahagia di hidupnya meski tanpa ada lagi Dariel di sisi.

Serasa sulit dan menyakitkan, tapi itulah goresan takdir yang harus diterima dan dijalani.

Dira selalu mengingat ayat yang mampu menguatkan dirinya, dikala hati kembali resah dan hampir putus asa.

fa inna ma‘al-‘usri yusrâ

Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.

Hujan yang sedari tadi turun membasahi bumi, kini mulai reda.

Langit yang semula gelap, perlahan kembali cerah seiring tangisan bayi yang terdengar melengking.

Haru memeluk jiwa, mencipta kristal bening yang membingkai sepasang jendela hati. Melukis sebaris senyum bahagia di wajah lelah.

"Selamat datang jagoan, Bunda." Bibir Dira bergetar saat mengucap rangkain kata itu.

Tersirat rasa syukur dan kebahagiaan yang tiada terkira dari kecupan lembut yang dilabuhkan di kening bayi-nya.

Sakit dan lelah yang dirasa, kini terbayarkan oleh kehadiran malaikat kecil berparas tampan yang mirip sekali dengan ayah biologisnya, Dariel Ananta.

"Ra, selamat ya. Kamu sudah menjadi seorang ibu." Suara Humaira sedikit tertahan, karena rasa haru yang membuncah.

Dialah saksi perjuangan Dira, dari awal kehamilan sampai melahirkan bayinya.

"Makasih, May." Dira berucap lirih disertai senyuman yang masih terlukis di wajah.

"Iya, Ra. Bayimu sangat tampan. Mirip sekali dengan --" Humaira urung melanjutkan ucapan dan menahan bibirnya agar tidak lancang menyebut satu nama yang akan membuat Dira kembali teringat pada ayah biologis bayinya.

"Mirip seperti Dariel." Dira menimpali ucapan Humaira dan tersenyum getir.

Dadanya serasa sesak setiap kali menyebut nama Dariel, apalagi mengingat khilaf terlarang yang pernah mereka lakukan.

Ia memang sudah merelakan Dariel, tetapi sulit baginya untuk menghapus ingatan tentang pria itu.

"Ra, maaf --" Humaira menyesal karena telah salah bicara dan melukis sendu di wajah sahabatnya.

"Nggak pa-pa, May."

"Yang kuat, yang tabah, jadilah ibu yang hebat untuk anakmu."

"Iya, May. Aku akan berusaha menjadi ibu yang hebat untuk anakku."

Humaira memeluk singkat tubuh Dira yang masih terbaring di atas ranjang, lalu membantu sahabatnya itu untuk melakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini).

"Siapa nama jagoanmu ini, Ra?" Humaira bertanya pada Dira sambil mengawasi bayi yang tengah berjuang mencari pu-ting su-su.

"Nama jagoanku ... Dida Putra Ananta." Dira menjawab ragu.

"Nama yang bagus. Kamu sendiri yang memberinya nama itu?"

"Bukan."

"Lalu, siapa?"

"Ayah dan Bunda. Mereka berpesan untuk memberikan nama itu."

"Bukankah nama Ananta --"

"Nama panjang Dariel. Dariel Ananta."

"Apa mungkin, ayah dan bundamu terinspirasi dari nama Dariel karena dia ayah biologis bayimu?"

"Entahlah, May. Aku cuma menuruti amanat mereka dan nggak mau bertanya macam-macam, apalagi menghubungkannya dengan nama Dariel."

"Ya sudah, Ra. Kita nggak usah membahasnya lagi. Lebih baik kamu fokus memberi ASI untuk bayimu dan jangan memikirkan sesuatu yang membuatmu stres. Kasihan bayimu."

"Iya, May." Dira mengangguk lemah.

Benar yang dikatakan oleh Humaira, ia harus fokus memberi ASI untuk bayinya dan sebisa mungkin menghindari stres.

Setelah dirasa cukup melakukan IMD, Humaira mengangkat baby Dida lalu menyerahkannya pada salah seorang perawat ber-nametag Aira.

Humaira berpesan pada Aira supaya membawa baby Dida ke ruang bayi.

Sementara dia sendiri yang akan membawa Dira ke ruang rawat inap.

"Ra, pelan-pelan," ucap Humaira sambil membantu Dira duduk di atas kursi roda.

Dira merasa teramat bersyukur karena memiliki sahabat sebaik Humaira, yang dengan keikhlasan hati mengulurkan tangan dan selalu menguatkannya.

Humaira mulai mendorong kursi roda dan membawa Dira melewati lorong rumah sakit, menuju ruang rawat inap yang berada tidak jauh dari taman.

"May, makasih ya," ucap Dira--memecah suasana hening yang sejenak tercipta di antara mereka.

"Makasih? Untuk apa?"

"Untuk segala kebaikan-mu dan ketulusan mu."

"Kata makasih nggak akan pernah cukup meski kamu mengucapkannya ribuan kali untuk membalas kebaikan dan ketulusan-ku, Ra." Humaira menanggapi ucapan Dira dengan melontarkan candaan dan mengiringinya dengan tawa renyah.

"Lalu, aku harus membalasnya dengan apa?"

"Dengan mendoakan aku, supaya cepat bertemu jodoh."

"Itu pasti, May. Kamu ingin bertemu jodoh yang seperti apa?"

"Seperti Opa Abimana atau Papi Rangga. Dua pria yang mendekati kata perfect. Bisa menjaga setia dan tulus mencintai pasangannya."

"Aku juga ingin sekali memiliki jodoh yang seperti mereka, May."

"Bagaimana ... kalau aku menjodohkan mu dengan Azam? Kembaranku itu juga mendekati kata perfect, meski sedikit menyebalkan." Humaira kembali melontarkan candaan.

Dira menggeleng pelan dan tertawa kecil. "Nggak, May. Aku nggak mau."

"Loh, memangnya kenapa?"

"Dulu, aku sudah pernah menolaknya dan pasti ... dia masih sakit hati."

"Nggak lah. Azam bukan seorang pria pendendam yang mudah sakit hati. Jika kamu bersedia dijodohkan dengan Azam, aku akan segera menyuruhnya pulang, Ra."

"Nggak, May. Saat ini, aku belum siap dijodohkan dengan siapa pun, tak terkecuali dengan Azam. Karena --"

"Karena apa, Ra?"

Dira terdiam. Ia serasa enggan menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir Humaira.

Namun batinnya terus memaksa untuk berkata jujur dan mengutarakan rasa yang selama ini tersimpan di dalam hati.

"Karena aku masih mengharapkan dia," ucapnya yang mendorong Humaira untuk menggali makna yang tersirat dari rangkaian kata itu.

Humaira lantas menghentikan laju kursi roda, kemudian membawa tubuhnya bersimpuh di hadapan Dira.

"Ra, jelaskan padaku ... apa maksud ucapanmu tadi," pintanya sembari menatap lekat manik mata Dira yang terbingkai sendu.

"May, aku --"

"Ra, please! Jelaskan padaku."

"Baiklah. Akan aku jelaskan --" Dira menggantung ucapannya dan membalas tatapan Humaira.

"Sebenarnya, aku masih mengharapkan Dariel. Meski aku tau, jika itu salah," jelasnya--berterus terang.

"Kamu mencintainya?"

Dira mengangguk pelan. "Iya, aku mencintainya. Jujur, aku mencintai Dariel sejak kami duduk di bangku SMA. Tepatnya, sejak pertama kali kami bertemu. Tetapi dulu ... aku berhasil menghempas perasaan itu." Dira menjeda sejenak ucapannya, lalu menghela napas dalam. Mengumpulkan pundi-pundi kekuatan untuk melanjutkan rangkaian kata yang ingin dituturkan.

"Setelah khilaf yang kami lakukan, rasa cinta itu kembali tumbuh dan teramat sulit untuk aku hempas. Bahkan sampai detik ini, rasa itu masih ada untuknya. Meski, dia bukan untukku. Dia ... milik Maria. Wanita yang seiman dan se-amin dengannya."

"Aku sudah merelakannya, May. Tapi rasa ini tidak bisa aku nafikan." Suara Dira terdengar bergetar, diiringi kristal bening yang jatuh dari kedua sudut netra.

Rangkaian kata yang dituturkan oleh-nya mencipta denyut nyeri dan kian menumbuhkan rasa empati.

"Ra, aku mengerti apa yang kamu rasakan --" Humaira berucap lirih dan merengkuh tubuh Dira untuk dibawanya ke dalam pelukan.

Sungguh, ia tidak tega melihat Dira meneteskan air mata dan berkawan dengan duka. Terlebih jika Dariel yang menjadi penyebab-nya.

Ra, maafkan aku. Aku belum bisa memberi tau yang sebenarnya tentang Dariel. Maaf. Bisik batinnya, disertai pelukan yang semakin mengerat.

🌹🌹🌹

Bersambung

1
Machan
minta disleding ni dokter
Machan
betul itu. makanya kita serahkan semua hanya pada-Nya
Machan
berarti perasaan Dira emang sama ma Dariel, cuma.... yaudah lah terserah othor aja
Machan
Dariel, apa pikiran kita sama🤔🤔
Machan
aku diajak dong makan mie Jawa, udah lama gak makan itu🥲
Nofi Kahza
Karya cantik dengan alur yang menarik. Pemilihan kata dalam menyampaikan cerita juga mudah dipahami. Semangat terus ya Thor🥰😘
Ayuwidia: makasih, akak
total 1 replies
Reni Anjarwani
gagal
Reni Anjarwani
doubel up thor
Machan
nah, mending ma Dariel aja udah biar aman.
Machan
dirawat dokter baik kek Dira mah langsung sembuh pasien
Machan
simbok keceplosan😀
Machan
udah takdir dari sang othor, Dira. terima aja/Grin/
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up thor
Reni Anjarwani
doubel up thor
Machan
aku juga bakal bingung harus jawab apa
Reni Anjarwani
lanjut thor dubel up thor
Najwa Aini
Ingat sama pembacaku yg komen paling gak suka dengan bab kesalahpahaman. ternyata membaca kisah tentang salah paham memang semenjengkelkan itu.
Baru paham gue rasanya.
Ayuwidia: Aku harus ketawa kaya' nya /Sob/
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
Reni Anjarwani
doubel up thor
Reni Anjarwani
akhirnya dira dan dariel bersatu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!