"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
"Ke mana, Pa?" Revano sudah stand by di tempat duduknya, bertanya pada Tama yang duduk berdua dengan Nathalie di belakang.
"Kantor polisi," jawab Tama singkat. Dia kini tengah disibukkan dengan handphone-nya, mengabaikan tatapan istrinya yang tidak suka.
"Om Putra ada di kantor polisi, Pa?" Reno yang duduk di sebelah Revano bertanya.
Semuanya memang ikut menemani Tama, selain Rifki dan Reyna. Rifki saat ini tengah membawa Reyna jalan-jalan, menenangkan adik bungsunya itu.
"Iya."
Mobil sudah berjalan. Revano tidak banyak bersuara, fokus ke depan, Reno pun sama. Nathalie terus menatap tidak suka pada Tama. Suaminya ini, kenapa tidak bisa lepas dari kerjaan sehari saja? Sebal juga dia melihat Tama yang sibuk dengan ponselnya itu.
"Putra sudah menolong Papa, kenapa dia bisa ada di kantor polisi? Papa berniat berterima kasih dengannya atau memenjarakan dia?" Nathalie bertanya, nada suaranya jelas ketus sekali. Selain Nathalie, tidak ada yang berani melawan Tama, mungkin Revano dikecualikan.
Tama melirik tidak suka pada Nathalie, menurunkan HP-nya dan menggenggam tangan Nathalie erat.
"Dia sedang membawa pelaku yang menembak dan melukai perut Papa ke kantor polisi. Mama jaga pandangan bila bertemu nanti, ini pertemuan pertama kalian setelah puluhan tahun tidak berjumpa," ucap Tama tajam.
Revano dan Reno saling tatap. Mereka tadi melirik orangtuanya dari kaca kecil yang digantung di atas mobil, menggelikan sekali ucapan papanya ini.
Berbeda dengan anaknya, Nathalie malah bersemu ketika mendengar ucapan suaminya. Biasanya Tama akan bermanja dengannya ketika berdua di kamar.
Ucapan suaminya tadi ia anggap bermanja, dan itu ditonton oleh kedua putranya. Walaupun terdengar tajam, tapi Nathalie menangkap nada cemburu dari kalimat suaminya itu.
Hp Tama terdengar berdering. Dengan cepat ia mengangkatnya tanpa melepaskan genggaman tangan dari Nathalie.
"Bagaimana?"
Tama terlihat mengangguk-anggukan kepalanya, mendengar penjelasan seseorang di seberang sana. Wajahnya terlihat tenang, tatapannya tetap tajam.
"Bereskan tikus-tikus itu. Dan jangan lupa, lakukan perintah yang saya tulis di pesan tadi."
Revano dan Reno kembali saling melirik. Memilih diam.
"Ya, semuanya. Saya tidak ingin mendengar perusahaan itu kekurangan dana. Jangan hanya di Kalimantan, perusahaan di kota lain juga harus menerima investasi dari kita."
Sambungan telepon selesai beberapa menit kemudian. Di menit-menit terakhir Tama hanya menjawab singkat, 'ya, tidak, hmm, lakukan'.
"Siapa, Pa?" Reno bertanya. Keingintahuannya yang besar tidak bisa menahan pertanyaan itu.
"Orang suruhan Papa," Tama menjawab singkat, menatap ke depan. Gedung kantor polisi sudah terlihat.
"Papa merencanakan apa?" Nathalie bertanya.
"Sesuatu yang menguntungkan semuanya." Tama menatap Nathalie, tangannya menggenggam dengan erat.
***
Dua orang itu berdiri berhadapan. Tatapannya sama-sama datar. Tidak ada lagi aura permusuhan dari tatapan Tama. Nathalie setia di samping Tama, menggenggam tangannya dan memeluk lengannya.
"Terimakasih."
Satu kata yang bernilai positif keluar dari mulut Tama. Berpuluh tahun mengenal Tama, Putra tidak pernah mendengar kalimat itu terucap dari bibir Tama.
"Terimakasih sudah menolong saya. Jika tidak ada anda, mungkin kepala saya sudah hancur berkeping. Jika anda tidak mendorong orang itu, mungkin pisau sudah menancap di perut saya. Bukan hanya jahitan, mungkin donor organ harus saya dapatkan. Sekali lagi terimakasih ... teman."
Tama menyodorkan tangannya, berniat menjabat tangan Putra. Tangan itu ditatap datar oleh Putra. Dulu, saat Tama masih menjadi sahabatnya, belum pernah ia berterimakasih seperti ini.
Dalam kamus hidup Tama, baru Putra-lah satu-satunya orang yang mendapat kata terimakasih darinya. Miris memang, bahkan orang yang merawatnya sedari kecil tidak mendapatkan kata itu. Sekali pun orang itu sudah meninggal, bahkan dendam masih tumbuh dalam dirinya.
Riswan. Orangtua tunggal yang menghidupi Tama dari kecil, orang yang tanpa sadar membuat dendam dalam hati lelaki itu. Belum pernah mendengar kata terimakasih dari anaknya.
"Maaf karena memusuhimu selama ini. Aku terlalu cemburu karena Papa selalu membandingkanku denganmu. Aku ...."
Ucapan Tama terhenti. Putra memeluk Tama, itulah yang membuat ucapannya mengambang.
***
"Aku datang ke sini untuk menjenguk putriku. Dia masuk rumah sakit," ucap Putra memulai percakapan.
Revano, Tama, dan Putra kini ada di kafe di sebelah kantor polisi. Mereka tengah menyambungkan kembali tali silahturahmi yang terputus selama berpuluh tahun.
Permasalahan yang sepele. Hanya ego masing-masing yang membuat dendam itu semakin membara tiap detiknya. Ego yang besar yang dimiliki Tama membuatnya baru menyadari pentingnya Putra saat kejadian itu.
"Revano ini pandai sekali. Dia membantuku di Kalimantan saat perusahaanku hampir gulung tikar. Dia mewarisi kepintaranmu," ucap Putra sambil tersenyum menatap Revano dan Tama bergantian.
Sedikit ego juga ada dalam diri Putra. Tidak sebesar ego Tama, tapi mampu membuatnya membenci Tama dan berniat tidak akan berhubungan lagi dengannya jika Tama tidak meminta maaf dengannya terlebih dahulu.
"Lebih tepatnya mewarisi kepintaran Kakeknya. Kamu tahu sendiri, aku tidak lebih pandai darimu," ucap Tama. Wajahnya yang datar berubah lebih ceria. Mungkin dia juga tertekan memendam dendam selama berpuluh tahun terhadap Putra, sahabatnya.
Keduanya berbincang dengan hangat. Revano lebih banyak diam. Dia hanya menjawab seperlunya saat ditanya Putra.
"Revano, apa terjadi sesuatu denganmu? Wajahmu terlihat bengkak," ucap Putra sedikit menelisik wajah Revano.
Lebam di wajah Revano memang sudah tidak terlalu terlihat. Namun, Putra yang sangat memperhatikan bisa melihatnya, lumayan jelas.
Revano hanya diam. Tidak mungkin ia menajwab, putra sulungnya lah yang membuat Revano seperti ini.
"Ada apa dengnmu, Revano?" Tama kali ini bertanya, wajahnya juga sama terkejutnya dengan Putra.
"Bukan apa-apa. Aku hanya membantu seseorang semalam, pertarungan kecil," jawab Revano. Alasan yang sama saat Nathalie bertanya.
"Bukan Bagas yang membuatnya, 'kan?" tanya Putra.
Revano sedikit terkejut, kenapa dia bisa tahu?
Tama mengerutkan keningnya. "Siapa Bagas?"
"Putra sulungku. Pasti dia yang membuatmu seperti ini kan, Revano?" Putra mengeluarkan HP-nya. Berniat menelpon Bagas sebelum mendapat jawaban dari Revano.
Dering HP Putra terdengar.
"Bagus. Anak ini sebelum ditelpon sudah menghubungi duluan," ucap Putra sedikit mengomel.
"Hallo, Bagas. Jadi orang yang kamu beritahu Papa akan kamu habisi itu adalah Revano?" tanya Putra saat teleponnya sudah tersambung.
"Memangnya kenapa, Pa? Belum apa-apa Papa udah marahin Bagas aja. Bagas mau kasih tahu hal penting ini," ucap Bagas di seberang telpon.
"Kenapa kamu bilang? Revano ini pernah membantu perusahaan kita ya, Bagas. Selain itu, Revano ini anak teman Papa, sahabat kecil Papa. Kamu tahu nggak?"
"Bukannya Papa marah sama Revano, ya? Ya karena ... Papa bilang apa? Sahabat kecil? Bukannya Papanya Revano itu--"
"Itu dulu, bukan sekarang. Sekarang Papa minta, kamu minta maaf sama Revano," ucap Putra tegas.
"Tapi?"
"Sekarang, Bagas!"
"Caranya gimana, Pa? Bagas harus nyusul Papa ke Surabaya gitu?" tanya Bagas sedikit kesal.
"Revano ada di sini sekarang, kamu minta maaf lewat telpon aja," ucap Putra.
"Revano, aku minta maaf," ucap Bagas cepat. "Udah kan, Pa? Nah, sekarang aku mau kasih tahu kabar gembira buat Papa."
"Kamu niat minta maaf nggak, Bagas! Jangan buat Papa malu, ini ada Papanya Revano asal kamu mau tahu."
Tama tersenyum kecil, menggeleng pada Putra.
"Ya Allah, Pa ...."
"Bagas!"
"Revano, maaf untuk kejadian semalam, ya. Entah dapat mukjizat dari mana, Papa kok bisa jadi baik sama kamu. Padahal Papa bilang--"
"Bagas!"
Tama dan Revano tertawa pelan. "Sudahlah, Putra. Biarkan Bagas menyampaikan pesan bahagia itu," ucap Tama.
"Nah, itu pasti suaranya Papanya Revano." Suara Bagas kembali terdengar. "Om, padahal Papa bilang Om itu jahat. Intinya itu aja. Tapi sekarang aku tahu Papa salah, yang jahat itu Papa bukan Om. Teganya Papa malu-maluin anaknya di depan orang lain."
"Bagas!"
"Sudah, Putra. Sudah," ucap Tama sambil tersenyum tipis.
"Katakan apa yang mau kamu sampaikan, Bagas," ucap Putra.
"Oiya. Ada perusahaan yang menyumbangkan dana di perusahaan kita, Pa. Itu bisa membantu kita untuk menstabilkan kekurangan dana di perusahaan. Ada perusahaan lainnya juga yang mengajak kerja sama perusahaan kita. Perusahaan besar, apa kita terima, Pa?"
Putra menatap Tama. "Perusahaan-perusahaan itu milikmu, Tama?"
Tama tertawa pelan, memukul bahu Putra. "Tebakanmu sedikit meleset. Perusahaan yang memberikan investasi memang milikku, tapi perusahaan yang mengajak kerja sama adalah milik putraku." Tama gantian memukul bahu Revano, pelan.
"Tama, itu ...."
"Tidak masalah. Pertemanan kita harus terus berlanjut. Mungkin dengan aku membantu sedikit, bisa lebih menguatkan pertemanan kita," ucap Tama. Kalimat yang tidak pernah disangka keluar dari si egois Pratama, Papa dari Revano.
"Tama, ini berlebihan ..." Putra mematikan teleponnya sepihak, menatap Tama.
"Tidak ada yang berlebihan, Putra. Itu tidak cukup untuk kamu yang menyelamatkan nyawaku," ucap Putra.
Sejenak mereka hanyut dalam keharuan. Revano hanya melihat dan mendengarkan. Tidak pernah ada dalam fikirannya Papanya akan seperti ini. Lelaki egois itu ... sudah hampir berubah.
"Selain mengunjungi Putriku, aku juga akan membahas acara pertunangannya. Bisakah kamu datang satu minggu lagi?" Putra bertanya.
"Satu minggu? Acara pertunangan Risya dengan Dimas?" tanya Tama memastikan.
"Ya, Risya dan Dimas. Ini masih acara pertunangan biasa. Acaranya di rumahku di Surabaya. Aku terlalu sibuk dengan bisnis di Kalimantan, maka dari itu pertunangan mereka dipercepat. Lagian, mereka juga memintanya semalam."
"Tentu. Aku akan membawa keempat anakku," ucap Tama sambil tersenyum.
"Baguslah. Kamu akan datangkan, Revano?" Putra menatap Revano, bertanya.
Revano terdiam. Enggan sekali rasanya untuk mengangguk. Satu minggu? Apa ... apa tidak ... apa dia sudah tidak punya kesempatan untuk memiliki Risya? Ingin Revano berteriak begitu.
"Tentu. Aku akan datang."
Kalimat itu, satu minggu kemudian Revano mengingkarinya.
••••
Bersambung