Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
“Mas Mahesa darimana?” tanya Maman yang kebetulan tengah membersihkan teras depan yang basah. Pria itu terkejut saat melihat anak majikannya berdiri di depan rumah dengan kondisi menggigil dan basah kuyup karena hujan.
Maman meletakkan pembersih lantai begitu saja, lalu menghampiri Mahesa dengan cepat.
“Tidak apa-apa, Man. Aku hanya sedikit kehujanan,” jawab Mahesa santai meski bibirnya terlihat sangat pucat karena kedinginan.
“Aduh, kenapa tidak berteduh dulu sih, Mas,” rasa panik dalam diri Maman masih sangat besar, pria itu bahkan memeriksa jaket hitam yang dipakai oleh Mahesa. Dingin, dan pasti terasa sangat berat karena basah.
“Hujan itu menyegarkan, tidak ada salahnya kehujanan sesekali,” Mahesa justru terkekeh ringan.
Maman menoleh, lalu memberikan tatapan tajamnya pada Mahesa. Tuan mudanya ini memang terlalu santai dalam menanggapi apapun, sedangkan jika sampai Mahesa sakit, maka Maman juga yang akan susah.
Bayangkan saja, saat Mahesa sakit, maka pekerjaan Maman akan bertambah banyak. Termasuk merawat, juga membantu segala keperluan tuan mudanya itu.
Maman mengatakan agar Mahesa melepas jaket hitamnya yang telah basah. Pria itu juga bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil handuk bersih, sementara Mahesa masih berdiri di tempatnya semula. Takut jika tetesan air yang berasal dari pakaiannya akan membasahi seluruh lantai.
Tak berapa lama kemudian, Maman kembali dengan membawa handuk bersih, juga pakaian ganti agar tidak terlalu dingin. “Ini handuknya, Mas,” ucap Maman saat memberikan benda berwarna putih itu.
“Terima kasih, Man,” katanya dengan lirih. Sejenak, Mahesa merasa jika rumahnya terlalu sepi, tidak seperti biasanya. “Ayah sama Ibu kemana?” tanyanya pada Maman.
“Ibu sama Bapak pergi ke kota, katanya mau bertemu dengan keluarganya Mbak Mirna.”
Mahesa memejamkan mata dengan begitu malas saat mendengar jawaban dari Maman. Ucapannya beberapa waktu yang lalu, memang tidak ditanggapi sama sekali oleh Ayahnya. Mereka tetap bersikeras untuk menjodohkannya dengan Mirna.
“Apa aku harus pergi ke luar negeri saja, agar batal menikah dengan Mirna?” gumam Mahesa pelan pada dirinya sendiri.
“Mas Mahesa mau ke luar negeri?” tanya Maman antusias. Senyumnya melebar saat mendekat ke arah tuan mudanya. “Saya ikut ya, Mas.” ia melanjutkan dengan suara penuh keyakinan.
Suasana hati Mahesa yang tengah kacau karena tindakan egois orang tuanya, seketika berubah saat mendengar permintaan konyol dari pekerja di rumahnya itu. Matanya menoleh dengan lengkungan senyum di wajahnya. “Kamu yakin mau ikut aku ke luar negeri, Man?”
“Yakin dong, Mas!” jawabnya tanpa ragu. “Nanti saya bisa naik pesawat.”
“Tapi disana, tidak ada singkong. Kamu yakin, bakalan betah tinggal di sana?” tanya Mahesa lagi, kini nadanya sedikit menggoda ke arah Maman.
“Lah, kok tidak ada singkong sih, Mas? Terus saya makannya apa?”
“Roti dan keju lah, masa mau makan singkong terus?”
“Ya sudah, nggak jadi saja, Mas. Saya mau di sini saja,” jawabnya polos. Nada suaranya melemah, tidak seantusias tadi.
Mahesa sukses dibuat tertawa terbahak oleh pria itu. Bahkan, ia menepuk pundak Maman berulang kali karena tidak bisa menahan tawanya. “Man…Man, belum berangkat sudah berubah pikiran lagi,” ucap Mahesa sambil menggelengkan kepalanya.
“Daripada saya mati kelaparan di sana, mending saya tetap di sini, Mas.”
“Memangnya kalau tidak makan singkong, kamu bakalan mati?” Mahesa masih saja terkekeh ringan menghadapi tingkah konyol tersebut.
Sedangkan Maman memilih untuk diam, membiarkan Mahesa yang terus menggodanya. Sejenak matanya mengarah pada kamera milik Mahesa yang diletakkan diatas meja rotan persis di teras rumah. “Kameranya basah ya, Mas? Saya keringkan dulu, takut rusak.”
Saat tangan Maman hendak meraih kamera itu, Mahesa langsung mencegahnya. “Tidak apa-apa, kamera ini tahan air kok.”
“Memangnya Mas Mahesa pergi memotret apa sih tadi, sampai tidak tahu jika hujan akan segera turun?” ucap Maman, ingin tahu.
“Sepasang biawak yang sedang mesra-mesraan. Maklum ini kan musim kawin,” Mahesa meraih kameranya di atas meja, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah untuk segera membersihkan diri.
“Biawak yang sedang kawin?” Maman menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan jawaban yang diberikan oleh Mahesa tadi.
Sesaat setelah sampai di kamar, Mahesa kembali memeriksa hasil foto yang diambilnya. Menatap sejenak ke arah dua orang manusia tidak tahu malu yang telah membuatnya merasa marah.
Meski tidak terlalu mengenal Luna maupun suaminya, tapi Mahesa bisa membayangkan betapa sakitnya menjadi seseorang yang setia, namun justru dikhianati oleh pasangannya.
“Pria ini memang sampah.” ucapnya saat meletakkan kamera di atas meja samping ranjang dengan kasar.
Mahesa mendekat ke arah jendela yang menghadap langsung ke arah jalan di depan rumahnya. Menatap air hujan yang mengalir membasahi kaca, membawanya kembali pada ingatan di masa lalu.
Sekitar 5 tahun yang lalu, Mahesa meletakkan hatinya pada seorang wanita, memperlakukannya dengan sangat baik. Sayangnya, wanita itu justru memutuskan untuk berpisah dengan alasan telah menemukan pria yang lebih baik darinya.
Mengingat kejadian pahit tersebut, membuat Mahesa merasa jika dirinya begitu bodoh. Kenapa begitu percaya pada seorang wanita yang jelas-jelas telah berselingkuh di belakangnya.
Hal ini pula yang membuatnya enggan untuk menjalin kasih dengan wanita lain lagi, dan lebih memilih untuk hidup sendiri tanpa ikatan pada siapapun.
Semua rasa sesak itu kembali saat dirinya melihat perselingkuhan lagi tepat di depan matanya. Bahkan si pria telah menikah dan memiliki dua orang anak, membuat Mahesa geram dan menganggapnya sebagai hal yang tidak pantas untuk dimaafkan.
“Haruskah aku mengatakannya pada Luna?” gumamnya pelan.
***
Hari sudah malam, hujan mulai reda dan hanya menyisakan rasa dingin yang merasuk ke dalam tubuh.
Bu Galuh yang tengah duduk di ruang tengah, berulang kali melihat ke arah jendela samping rumah. Memastikan jika saja David telah pulang ke rumah. Ini sudah larut malam, tidak biasanya ia pulang terlambat.
Matanya menoleh saat mendengar sebuah langkah kaki yang nyaring menyentuh lantai. Rupanya itu adalah menantunya, Luna. Wanita itu terlihat membawa payung dan juga senter di kedua tangannya.
“Mau kemana kamu?” tanya Bu Galuh.
“Mau mencari David, Bu. Saya khawatir, ponselnya bahkan tidak bisa dihubungi.”
“Oh begitu, ya sudah sekarang saja kalau mau pergi,” tukas Bu Galuh dengan tatapan sinis.
Luna kemudian berjalan cepat ke arah pintu keluar. Belum sempat membukanya, ia sudah dikejutkan oleh sosok suaminya tersebut.
“Luna…” ucap David yang tak kalah terkejut ketika melihat Luna tepat di hadapannya. Saat melihat senter dan payung yang dipegang istrinya, David bingung lalu bertanya, “Kamu mau pergi?”
“Tadinya aku mau mencarimu karena belum pulang sampai malam begini,” sahut Luna. “Tapi, syukurlah sekarang kamu sudah sampai di rumah.”
Melihat wajah Luna, membuat David gemetar seketika. Tangannya sedingin es yang membeku, merasa menjadi orang paling bersalah pada sang istri. Belum pernah David merasakan hal seperti ini, mungkin juga untuk yang pertama kalinya.
“Kamu sudah makan?” tanya Luna.
David terkejut hanya karena mendengar suara dari Luna. Bahkan tubuhnya berjingkat akibat perasaan aneh yang dia sendiri tidak mengerti.
“Kamu kenapa?” Luna mengernyitkan kening karena bingung melihat tingkah David yang aneh, tidak seperti biasanya.
“Bajuku sedikit basah. Jadi, aku harus ke kamar mandi sekarang,” David mulai berlalu dengan cepat dari hadapan Luna.
Saat itulah, Luna kembali mencium aroma manis yang sama. Aroma vanilla yang sempat tercium dari kemeja David siang tadi. Membuat Luna berpikir, apakah David memang telah mengganti aroma parfumnya atau…ini adalah aroma dari parfum milik orang lain?
BERSAMBUNG