Setelah menumbangkan Tuan Tua, James mengira semuanya sudah selesai. Namun, di akhir hidupnya, pria itu justru mengungkapkan kebenaran yang tak pernah James duga.
Dalang di balik runtuhnya keluarga James bukanlah Tuan Tua, melainkan Keluarga Brook yang asli.
Pengakuan itu mengubah arah perjalanan James. Ia sadar ada musuh yang lebih besar—dan lebih dekat—yang harus ia hadapi.
Belum sempat ia menggali lebih jauh, kemunculan lelaki tua secara tiba-tiba:
Edwin Carter, penguasa Pulau Scarlett yang ternyata adalah ayah kandung Sophie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AGAK LUCU!!!
Hari itu berlalu dengan ritmenya sendiri. Van tinggal cukup lama untuk bertemu keluarganya. Sophie, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada pria yang telah merawat putranya. Dan begitu saja, Komandan Van dari The Veil meninggalkan Crescent Bay.
Pagi yang lain. Hari yang lain.
James mengarahkan mobilnya menyusuri jalan menuju kantor. Lalu layar dasbor berkedip. Sebuah panggilan.
Dia menekannya. “Ya, Kak. Ada apa?”
Suara Paula terdengar tajam. “Bos, aku sudah memeriksa berkas yang kau kirim. Kurasa aku pernah mendengar tentang mereka sebelumnya.”
James memperlambat mobilnya, menepikan ke sisi jalan. Ekspresinya berubah. “Kapan?”
“Di Pulau Scarlett,” kata Paula.
Jari-jarinya mengencang di setir. “Apa? Apakah kau punya bukti yang kuat tentang mereka?”
“Tidak juga,” ia mengakui, “tapi aku tahu seseorang yang mungkin mengetahui ini. Aku harus pergi ke pulau itu.”
Rahang James mengeras. “Apakah kau yakin ingin pergi kesana?”
“Tenang saja, Boss. Bukan berarti aku akan tinggal di sana. Aku akan mengerjakan tugasku, mengumpulkan apa pun yang bisa tentang The Web, bertemu Kakek, lalu kembali.”
Ia mengembuskan napas pelan. “Baiklah. Tapi berhati-hatilah.”
Paula terkekeh lembut. “Tak ada yang berani menyentuh keluarga Carter, Boss.”
“Ya. Sampaikan salamku pada orang tua itu,” gumam James.
“Dia juga kakekmu, tahu.”
“Tidak sampai Mamaku menerimanya,” jawab James datar. “Untuk sekarang, dia hanyalah seorang pria tua.”
Paula mendengus tertawa di seberang sana. “Baiklah, baiklah, adik kecil.”
Panggilan berakhir.
James menekan pedal gas, membiarkan mobil melesat. Tak lama kemudian ia meluncur masuk ke parkiran bawah tanah Brook Enterprises. Mesin dimatikan.
Ia berjalan melewati lobi. Lalu matanya tertuju pada sesuatu—seseorang—yang duduk di area tunggu.
Seorang gadis.
Dia duduk tegak, tangan terlipat ringan di pangkuannya. Saat menyadari kehadirannya, pandangannya terangkat. Kilatan pengenalan muncul.
James melambat, langkahnya membawanya mendekati gadis itu.
Gadis itu berdiri saat ia mendekat, bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis.
James berkedip sekali, mengenali gadis itu. “Sayaka?”
Sayaka, dari klan Snow Women—yang pernah ia hadapi dalam Turnamen Suksesi Seni Bela Diri.
Dia menundukkan kepala sedikit, suaranya lembut. “Jeimu-san...”
James tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Jeimu-san? Panggil aku James.”
“Tapi... kau adalah calon suami Pemimpin Klan Tertinggi,” kata Sayaka lirih.
James menghela napas, bibirnya sedikit terangkat. “Apa? Dia menyebarkan itu? Bagaimanapun, kau tidak perlu terlalu formal. Kita seumuran. Ucapkan—James. Jeeeaames.”
Sayaka mencoba, bibirnya melingkari suku kata yang asing. “Jeimu...”
“Bukan Jeimu, James.”
Dia menyipitkan mata, berkonsentrasi. “Jeeeaames...”
James tertawa lagi. “Cukup dekat. Itu aksen Austinnya. Agak lucu, sebenarnya.”
Wajahnya langsung memerah, ketenangannya retak.
“Baiklah,” kata James ringan, mengembalikan suasana. “Jadi... Pasti Yurei yang mengirimmu, kan?”
Sayaka menegakkan tubuh, nadanya mengeras. “Ya. Guru mengirimku untuk tugas yang sangat penting.”
Ekspresi James menjadi lebih serius. “Ayo, kita ke kantorku.”
Dia memimpin jalan menuju lift pribadi. Sayaka mengikuti, tatapannya tertahan pada jendela-jendela besar saat mereka naik. Kota terbentang di bawah, laut berkilau di cakrawala. Dia menempelkan tangannya ke kaca, menikmati pemandangan itu, lalu menarik napas dalam.
Pintu terbuka, dan mereka melangkah ke lantai atas.
Bisikan-bisikan terdengar di kantor saat para karyawan melihat tamu yang tak dikenal.
“Selamat pagi, Boss,” sapa Jasmine dengan senyum tenangnya.
“Selamat pagi, Jasmine,” jawab James.
Pandangan Jasmine beralih ke Sayaka. “Dan ini...?”
James memberi isyarat. “Jasmine, ini Sayaka.”
Jasmine membeku sesaat, pengenalan berkilat. Ia segera menegakkan diri. “Hai, Nona Sayaka.”
Sayaka membungkuk pelan, suaranya halus. “Hai.”
James tak berlama-lama. Dia mengantarnya masuk kedalam ruangannya. Di dalam, dia menarik kursi untuknya. “Silakan duduk.”
“Terima kasih,” ucap Sayaka saat ia duduk.
Seorang staf datang sambil membawa nampan, menuangkan teh ke cangkir-cangkir. Uap melingkar di udara, lalu pintu tertutup di belakang mereka.
James condong ke depan, siku bertumpu di meja. “Jadi. Katakan—apa yang ingin disampaikan Lady Yurei?”
Sayaka meraih ke dalam lengan bajunya, mengeluarkan sebuah amplop bersegel. Ia meletakkannya perlahan di atas meja dan menggesernya ke arah James.
James membuka segel, matanya menelusuri tulisan tangan yang rapi.
Rahangnya mengencang, wajahnya menggelap saat ia membaca.
Akhirnya, suaranya memotong keheningan, “Apa—?”
Sayaka tiba-tiba bangkit dari kursinya, membungkuk rendah, suaranya bergetar, “Tolong, ini sebuah permintaan... kau akan diberikan imbalan yang sangat besar.”
James berkedip, terkejut oleh formalitas mendadak itu. Ia mengangkat tangan dengan lembut. “Hei, tolong... duduklah. Angkat kepalamu.”
Dia ragu-ragu sejenak namun menuruti, kembali duduk. Jarinya melengkung ringan di pangkuannya, ketenangannya kembali, meski pipinya masih memerah karena malu.
James bersandar di kursinya, mengamatinya dengan saksama. “Mengirim kau secara pribadi untuk menyampaikan ini… aku mengerti betapa pentingnya hal ini.”
Sayaka mengangguk sekali.
“Tapi,” lanjut James sambil sedikit memiringkan kepala, “kenapa kau tidak meminta bantuan dari klan lain? Aku yakin mereka akan ikut turun tangan. Ini terdengar seperti sesuatu yang seharusnya tidak dibebankan kepada orang luar.”
Ekspresi Sayaka menegang. “Guru berkata kami tidak boleh melibatkan klan lain dalam urusan ini.”
James mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, lalu berpikir. “Aku menghormati kebanggaan klan Snow Women, tapi… kenapa aku? Kau sudah tahu aku punya hubungan dengan Shadow Weavers. Bukankah itu membuat segalanya menjadi lebih rumit?”
Kali ini Sayaka menatap matanya langsung. “Guru percaya pada karaktermu. Dia mengatakan kau adalah… orang yang baik.” Suaranya melembut sedikit, namun ia melanjutkan. “Dan selain itu, dia tahu kau entah bagaimana telah mempelajari teknik bertarung khas dari semua klan.”
James membeku, tangannya terangkat ke dahi. Tawa kering lolos dari bibirnya—seperti pencuri yang akhirnya tertangkap basah. “Hm. Jadi rahasianya sudah terbongkar.”
Sayaka memiringkan kepala, mengamatinya dengan saksama.
Dia menegakkan tubuh, “Baiklah. Aku akan membantu. Tapi aku punya satu syarat.”
Sayaka duduk lebih tegak. “Apa pun itu, kami akan memenuhinya.”
James sedikit condong ke depan, suaranya tenang. “Kalau begitu, sudah diputuskan. Kapan kita akan berangkat?”
Bibir Sayaka melengkung membentuk senyum tipis, lega. “Dimulai dua hari lagi. Jadi semakin cepat kita berangkat, semakin baik.”
James mengembuskan napas perlahan, menggosok pelipisnya. “Hm. Baiklah. Biarkan aku menyelesaikan beberapa hal dulu disini. Kita akan berangkat pagi.”
Untuk pertama kalinya sejak masuk, Sayaka membiarkan dirinya rileks, bahunya mengendur, ketegangan meleleh dari wajahnya. Ia menunduk sekali lagi.
“Terima kasih,” bisiknya.
James membalas dengan senyum kecil, “Jangan berterima kasih dulu. Simpan itu sampai semuanya selesai.”
Di Suatu Tempat Dekat Pesisir
Ruangan itu berbau minuman alkohol basi dan lemak makanan pesan antar. Botol-botol kosong anggur dan wiski mahal berguling-guling di lantai, bercampur dengan bungkus makanan kusut dan sisa makanan yang setengah dimakan dan dibiarkan membusuk.
Kyle Brook tergeletak lunglai di sofa, kemejanya kusut, matanya cekung karena kurang tidur. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, janggut tipis tumbuh tak rata di rahangnya. Ia tidak bercukur, tidak mandi dengan layak, bahkan tidak peduli.
Selama beberapa saat dia tetap di sana, sambil menatap langit-langit. Lalu, dengan susah payah, dia mendorong dirinya bangkit. Langkahnya goyah, kakinya tak stabil, saat dia berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi.
Di dalam, lampu redup di atas wastafel berkedip-kedip. Kyle bertumpu pada meja, menatap cermin.
Da menatap. Lebih lama. Lebih dalam. Ekspresinya berubah. Kekosongan berubah menjadi amarah, amarah menjadi geraman.
“Sialan…”
Tangannya menghantam cermin.
KRAK!
Cermin pecah menjadi jaring laba-laba bergerigi. Pecahan kaca berhamburan ke wastafel, darah mengolesi kaca saat buku-buku jarinya terbelah. Dia mengeluarkan jeritan kasar yang menggema didalam kamar mandi.
Terengah-engah, dia menekan tangan berdarahnya ke meja. Beberapa menit berlalu sebelum ia tenang. Perlahan, dia membuka keran, membiarkan air dingin mengalir di atas luka. Ia membalutnya seadanya dengan handuk, lalu memaksa dirinya mencukur janggutnya yang berantakan.
Saat dia kembali ke ruangan, seorang petugas kebersihan sudah masuk, mengumpulkan botol dan menyapu bungkus-bungkusan dengan cekatan dan senyap. Dia menundukkan kepalanya, tak berkata apa-apa. Kyle berjalan melewatinya, mengabaikan kehadirannya.
Di kamar tidur, dia duduk di tepi ranjang dan dengan hati-hati mengoleskan salep pada tangannya. Rasa perih langsung terasa, walaupun hanya sejenak.
Ponselnya yang mati masih tergeletak di meja samping. Dia menyambungkannya ke pengisi daya. Layar menyala. Notifikasi bermunculan satu demi satu—panggilan tak terjawab, pesan belum dibaca, pesan suara yang diabaikan. Jarinnya melayang di atasnya, namun ia membiarkan ponsel mengisi daya dan berpaling.
Sebaliknya, ia menarik laci di bawah meja samping tempat tidur.
Bagian dasar palsu laci terlepas dengan bunyi klik.
Dia mengeluarkan sebuah kotak hitam.
Saat dibuka, memperlihatkan pistol yang tertata rapi, sebuah magazen, dan deretan peluru tersusun rapi. Namun di sampingnya ada sesuatu yang lain—sebuah kartu berwarna merah tua. Dengan lambang laba-laba tercetak di atasnya.
Bibir Kyle menipis saat ia mengambil pistol itu. Matanya menyipit pada nomor seri terukir di sisinya. Ia menghafalnya, meraih ponselnya, dan mengetik urutan itu ke dalam pemanggilannya
Sambungan tersambung.
Suara terdistorsi menjawab. “H… h… halo…”
Tangan Kyle yang berdarah mengencang di sekitar ponsel.
Semangat buat Author..