Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 4
Gubuk reot itu terasa sunyi. Bima baru saja kembali dari pasar malam dengan membawa nasi bungkus dan kerupuk untuk Dinda. Malam telah larut, dan lampu bohlam kecil di dalam gubuk memancarkan cahaya kuning redup.
"Kakak pulang," kata Bima, bergegas mendekat.
Dinda yang tadi meringkuk di sudut, menoleh. Wajah gadis kecil berusia delapan tahun itu terlihat pucat, matanya merah dan bengkak. Punggungnya menempel erat pada dinding, seolah takut ada sesuatu yang akan meraihnya dari belakang.
"Dinda?" Bima berlutut di depannya, meletakkan bungkusan makanan di lantai. "Ada apa? Kenapa kamu gemetar begini?"
Dinda tidak menjawab. Ia hanya menggeleng, lalu menunjuk ke arah pintu kayu yang baru saja diperbaiki Bima. Telunjuknya bergetar hebat.
"Tadi... mereka datang lagi, Kak," bisik Dinda, suaranya tercekat. "Mereka gedor-gedor pintu, teriak-teriak. Bilang kalau Kakak tidak bayar, mereka akan... bawa Dinda pergi."
Napas Bima tertahan. {Sial. Aku lengah. Mereka tidak akan menunggu sampai tenggat waktu.}
Meskipun Arta berhasil melumpuhkan penagih utang sebelumnya menggunakan perhitungan fisik, ia tahu rentenir itu tidak pernah bekerja sendirian. Ancaman mereka nyata, dan keberhasilan Bima menghasilkan Rp 4.000 malam ini tidak akan menghentikan sekelompok pria putus asa.
{Aku sudah melindungi keamanan fisik, tapi ancaman sosial ini jauh lebih besar. Dinda adalah aset yang paling berharga, dan aku tidak bisa mempertaruhkannya.}
Bima meraih kedua tangan Dinda yang dingin, menggenggamnya kuat-kuat. "Dengar, Kakak di sini. Tidak ada yang akan membawamu pergi. Kakak janji."
Namun, Dinda sudah terlanjur ketakutan. Air mata mengalir lagi di pipinya. "Tapi mereka bilang besok mereka datang lagi. Dinda takut, Kak. Dinda tidak mau sendirian di sini lagi."
Melihat ketakutan murni di mata adiknya, Arta di dalam tubuh Bima tahu bahwa pondasi ekonomi yang baru saja ia bangun tidak berarti apa-apa jika fondasi keamanan emosional adiknya runtuh.
{Aku tidak bisa berjuang untuk Dinda jika Dinda tidak aman. Logistiknya sederhana: pisahkan aset yang paling berharga dari zona bahaya, lalu fokus untuk menetralkan bahaya itu sendiri.}
Bima menarik Dinda ke dalam pelukannya. "Baiklah, Kakak sudah memutuskan," katanya pelan, tetapi dengan nada yang penuh tekad. "Mulai besok, kamu tidak akan di sini."
Dinda mendongak, matanya penuh tanya. "Ke mana, Kak?"
"Kita akan pergi ke tempat yang aman. Ke rumah sepupu kita, Risa. Kamu ingat Bibi Risa, 'kan?"
Risa adalah anak dari bibi Bima, yang tinggal di pinggiran kota, cukup jauh dari gubuk reot itu. Hubungan mereka renggang karena masalah ekonomi, tetapi Bima tahu Risa memiliki hati yang baik.
"Tapi... Kakak?"
"Kakak akan menyusulmu segera setelah semua masalah ini selesai. Kamu harus janji, kamu akan baik-baik saja di sana. Kamu hanya perlu sedikit bersabar untuk Kakak." Bima menyeka air mata Dinda dengan jempolnya. "Kamu harus kuat untuk Kakak, ya?"
Dinda ragu, tetapi mengangguk pelan. "Dinda janji."
"Bagus." Bima merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. "Malam ini kita tidur, besok pagi-pagi sekali kita akan pergi. Ambil semua barang yang kamu suka. Sisanya, biar Kakak yang urus."
Dengan keputusan itu, Bima menatap ke luar pintu. {Sekarang, Dinda aman. Fokus beralih. Aku akan selesaikan masalah rentenir ini sekali untuk selamanya. Mereka akan tahu bahwa Dewa Kekayaan tidak hanya menghitung uang, tetapi juga tahu bagaimana melindunginya.}
Pagi-pagi sekali, Bima dan Dinda berjalan kaki menuju halte bus. Dinda membawa tas kain lusuh berisi pakaian dan buku gambar kesayangannya.
Di halte, Bima menghitung sisa uangnya. Total ada Rp 4.000. Ongkos bus menuju pinggiran kota, tempat sepupu Risa tinggal, adalah Rp 3.000. Bima menyerahkan uang itu kepada Dinda, sambil memasukkan sisa Rp 1.000 ke saku celananya.
{Modal kerjaku kini hanya Rp 1.000. Itu adalah harga dari keselamatan Dinda. Sebuah investasi yang tak ternilai, namun menempatkanku dalam posisi ekonomi yang lebih berbahaya.}
Di halte, Bima memeluk adiknya erat-erat. "Nanti Bibi Risa akan menjemputmu. Jaga diri baik-baik, jangan nakal."
"Iya, Kak. Kakak janji datang cepat?" tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca.
"Janji. Kakak janji," jawab Bima.
Setelah melihat bus membawa Dinda pergi, Bima berdiri tegak. Ketakutan dan keputusasaan Dinda tadi malam telah mengkristal menjadi tekad yang dingin. Utang pokoknya adalah Rp 3.000.000, dan jumlah itu harus dilunasi dalam waktu yang sangat singkat untuk menghentikan teror para rentenir.
{Rp 3.000.000. Modal kerja yang kumiliki hanya Rp 1.000. Melunasi utang dengan modal sekecil ini adalah misi yang gila. Aku butuh strategi penciptaan nilai, bukan hanya penjualan jasa harian.}
Bima berjalan cepat, kembali ke gubuk reot. Sambil berjalan, otak Arta mulai bekerja dengan kecepatan penuh, memproses variabel-variabel aset yang tersisa dan kebutuhan pasar.
Aset dan Liabilities (Pasca-Dinda dititipkan):
Modal Tunai: Rp 1.000.
Aset Jangka Menengah: Benih lobak di tanah (perkiraan panen 2 minggu).
Aset Fisik: Gubuk reot dan lahan belakang yang ditumbuhi gulma.
Keahlian: Presisi analisis dan efisiensi waktu (modal tak berwujud).
Liabilities: Utang pokok Rp 3.000.000.
{Utang sebesar ini tidak bisa ditutupi dengan menjual keahlian per jam. Aku harus menciptakan aset yang memiliki nilai jual tinggi dalam waktu singkat, atau melipatgandakan modal kerja dalam siklus yang ekstrem.}
Tiba di gubuk, Bima langsung menuju ke lahan belakang. Tangan fana Bima meraih gulma-gulma liar. Ia mengamati jenis gulma yang tumbuh subur di sana.
{Tanah ini miskin hara, tetapi gulma ini tumbuh kuat. Jika aku tidak bisa menanam, aku harus menjual apa yang tumbuh secara alami.}
Gulma-gulma itu, meskipun tidak berguna bagi tanaman pangan, menunjukkan daya tahan tinggi. Sebuah ide melintas di benak Arta. Bima mengeluarkan pisau tumpul yang ia gunakan untuk memahat pasak. Dengan hati-hati, ia memotong beberapa batang gulma dengan bentuk dan ukuran yang seragam.
{Bentuknya kokoh dan lurus. Jika diolah, ini bisa menjadi aksesoris sederhana.}
Namun, ia menepis gagasan itu. Aksesori membutuhkan waktu pengeringan dan sentuhan akhir yang tidak ia miliki modalnya.
Bima beralih fokus ke modal tunai Rp 1.000.
{Jasa cepat semalam menghasilkan Rp 6.000 dari modal nol. Jika modal Rp 1.000 ini digunakan, ia harus menghasilkan minimal Rp 15.000 dalam sehari, atau siklusnya terlalu lambat untuk mengimbangi tenggat rentenir.}
Ia memikirkan pasar yang paling likuid dan paling cepat berputar. Bukan pasar malam yang beroperasi lambat, tetapi lalu lintas manusia di jalan utama.
Bima mengambil kerikil kapur yang ia temukan di dekat fondasi gubuk. Ia menghancurkannya, mencampurnya dengan sedikit air hingga menjadi pasta putih kental.
{Modal yang kecil harus diubah menjadi sarana publikasi yang besar. Aku akan menjual efisiensi informasi.}
Dengan modal Rp 1.000 yang tersisa, Bima meninggalkan gubuk. Ia menuju jalan utama, menargetkan persimpangan padat yang memiliki banyak pengendara motor dan pejalan kaki yang terburu-buru.
Di persimpangan itu, Bima mencari dinding kosong di pinggir jalan. Ia mengeluarkan pasta kapur putihnya.
Tangan Bima, meskipun kasar, kini bergerak dengan presisi ilahi. Ia menuliskan sebuah kalimat di dinding yang kosong itu. Tulisannya rapi, jelas, dan menggunakan karakter yang mudah dibaca dari kejauhan.
"JASA KURIR TERCEPAT. Radius 1 KM. 10 Menit Sampai. Jaminan Uang Kembali. (Hubungi Bima: 0812-XXXX-XXXX) - Pemasaran Rp 0."
Bima tahu ia tidak punya ponsel untuk dihubungi. Nomor itu hanyalah nomor acak yang berfungsi sebagai pemanis kredibilitas. Ia akan menunggu di dekat dinding itu dan mengandalkan panggilan fisik.
{Dalam bisnis jasa kurir, waktu adalah nilai. Pelanggan di sini adalah pedagang yang ingin memaksimalkan efisiensi, dan pekerja yang tidak ingin meninggalkan lokasi. Menjual janji "10 Menit" menciptakan nilai yang jauh lebih tinggi daripada sekadar menjual "kurir".}
Kini ia hanya perlu menunggu. Modal Rp 1.000 tidak hilang, tetapi diubah menjadi energi menunggu yang harus dimanfaatkan. Bima bersandar, matanya fokus mengawasi setiap orang yang berjalan atau berhenti di lampu merah. Ia tidak hanya menjual jasa kurir, ia menjual janji kecepatan yang diukur secara matematis.
Matahari mulai meninggi. Panas jalanan menyeruak.
Sambil menunggu, Bima tidak berdiam diri. Ia menyadari bahwa di persimpangan yang ramai, banyak pedagang kaki lima yang berebut lahan. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki tempat berteduh dan harus bergeser setiap kali Satpol PP datang.
{Mengoptimalkan aset yang ada. Modal fisik: Sepotong kawat dan kayu yang tersisa di dekat dinding. Modal tunai: Rp 1.000.}
Bima membeli satu bungkus permen seharga Rp 500. Permen itu adalah satu-satunya barang yang bisa ia beli dengan uang sekecil itu, dan ia tidak berniat menjualnya. Sisa uangnya, Rp 500, ia simpan.
Ia lantas mengambil kawat bekas yang agak bengkok. Dengan lincah, tangan Bima merangkai kawat itu menjadi gantungan sederhana yang bisa dikaitkan ke pinggir dinding.
Seorang pedagang minuman dingin di seberang jalan, yang sejak tadi mengeluh karena tempatnya sempit, melirik Bima dengan curiga.
Bima menghampirinya tanpa basa-basi. "Permisi, Pak. Saya bisa bantu Bapak menata botol-botol minuman ini agar terlihat lebih rapi dan hemat tempat, hanya dengan Rp 500."
Pedagang itu, seorang pria paruh baya berkeringat, mendengus. "Untuk apa? Mau jadi penata etalase jalanan?"
"Untuk efisiensi visual," jawab Bima tenang. "Botol yang tertata lebih menarik, dan ruang sisa di meja Bapak bisa digunakan untuk menaruh termos es. Saya punya gantungan kawat sederhana, Bapak hanya perlu membayar jasa penataan dan pemasangan sebesar Rp 500."
{Rp 500 adalah biaya yang sangat rendah untuk perbaikan tata letak. Nilai jualnya bukan gantungan, tapi solusi ruang.}
Pedagang itu berpikir sejenak. Ia melihat gantungannya, lalu menatap Bima. Ia mengeluarkan selembar uang Rp 1.000 dari dompetnya. "Baiklah. Pasang. Kembaliannya buat kamu."
Bima menerima Rp 1.000. Ia segera memasang gantungan kawat itu di tiang kecil di sebelah lapak pedagang, lalu menata botol-botol minuman dengan ketinggian yang berbeda, menciptakan tampilan yang lebih teratur dan berjenjang.
"Terima kasih, Pak," kata Bima.
{Siklus modal berjalan. Permen Rp 500 itu adalah biaya eksperimen yang harus diabaikan. Aku berhasil melipatgandakan modal kerjaku dari Rp 500 menjadi Rp 1.000 dalam waktu kurang dari lima belas menit. Sekarang fokus kembali ke jasa kurir.} Total uangnya kini Rp 1.500.
Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya dari warung sembako kecil di sudut jalan menghampiri Bima. Ia melihat tulisan kapur Bima di dinding.
"Nak, kamu yang kurir sepuluh menit itu?" tanyanya tergesa-gesa.
"Benar, Bu. Jaminan uang kembali jika lebih dari sepuluh menit dalam radius satu kilometer." Bima memastikan janji itu terdengar meyakinkan.
"Tolong, Nak. Warungku kehabisan rokok filter yang sedang laris. Jarak ke grosir sekitar 800 meter. Aku tidak bisa tinggalkan warung. Bisa ambilkan dua slop rokok? Nanti Ibu bayar rokoknya di tempat, dan kamu kuberi upah Rp 3.000."
Rp 3.000 untuk sekali jalan. Jauh lebih besar dari upah harian sebelumnya.
"Bisa, Bu," jawab Bima. Ia mengambil dompet ibu itu untuk membayar rokok di grosir.
{Uang Ibu itu bukan modal. Itu adalah barang yang harus dijaga. Kecepatanku adalah satu-satunya modal yang kumiliki saat ini.}
Bima berlari. Ia mengaktifkan presisi waktu Arta. Pikirannya menghitung jalur terpendek, kepadatan pejalan kaki, dan bahkan waktu optimal lampu lalu lintas. Ia harus memenangkan waktu kurang dari enam puluh detik untuk memastikan pengiriman berjalan mulus dan tetap di bawah batas sepuluh menit.
Ia kembali hanya dalam waktu tujuh menit dua puluh detik, terengah-engah, tetapi memegang dua slop rokok dengan utuh.
"Ini Bu. Kurang dari delapan menit. Rokoknya sudah lunas."
Wajah ibu warung itu berseri-seri. "Wah, cepat sekali, Nak. Baru kali ini ada kurir secepat ini. Ini, upahmu Rp 3.000."
Bima menerima uang itu. Total uangnya saat ini: Rp 1.500 ditambah Rp 3.000 menjadi Rp 4.500.
{Modal kerja kembali ke Rp 4.500. Dalam dua jam, aku berhasil melipatgandakan sisa uangku empat kali lipat. Namun, utang Rp 3.000.000 menuntut Rp 1.500.000 per minggu. Kecepatan ini masih terlalu lambat. Aku butuh percepatan eksponensial.}
Bima mengambil napas panjang. Ia kini memiliki cukup uang untuk makan sederhana hari ini. Tapi yang lebih penting, ia telah membuktikan model bisnisnya. Ia hanya perlu mengulang dan meningkatkan efisiensi. Ia menyadari satu hal: ia harus membeli sebuah ponsel bekas. Sebuah ponsel akan menghilangkan kebutuhan untuk menunggu pelanggan di dinding, memungkinkannya mengelola pesanan dari mana saja.