Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Licik
Lusinan menara menjulang bagai tombak yang menembus langit, dinding-dindingnya kokoh, berdiri tegak menyatu dengan tembok raksasa yang memeluk kota. Dari kejauhan, tembok itu tampak seperti naga yang melingkar, menjaga harta karun yang tak ternilai. Di dalam lingkaran itu, rumah-rumah tersusun laksana sisik naga, tak terhitung jumlahnya, dipisahkan oleh jalan-jalan lebar yang berdenyut tanpa henti oleh arus manusia.
Kesibukan di setiap sudut jalan tiada mengenal waktu. Pedagang asing menawar dengan suara lantang, kuli mengangkut barang dengan bahu yang basah oleh keringat, sementara para prajurit berzirah perunggu berpatroli tanpa henti.
Suara peluit penjaga, denting palu pandai besi, hingga alunan kecapi dari kedai-kedai teh, bercampur menjadi irama kota yang tak pernah tidur. Namun di balik riuh yang menggema, ada bisikan halus yang tak terlihat, seolah angin sendiri membawa kabar rahasia dari lorong-lorong gelap.
Dan di tengah segala hiruk-pikuk itu, berdirilah istana kerajaan. Tingginya menjulang laksana gunung emas, atapnya berlapis genting hijau yang berkilau diterpa mentari, anggun sekaligus menekan. Ia bagaikan naga yang tertidur, mata tak kasatnya seakan mengawasi setiap jengkal tanah, setiap jiwa, dan setiap nafas yang berdenyut di bawahnya.
Siapa pun yang memasuki kota ini, entah pedagang, pengembara, atau pendekar, akan merasakan hal yang sama—kekaguman bercampur gentar, seolah nasib mereka sudah tertulis di balik dinding istana itu.
Di sudut sebuah gerbang besar, Anul, Arum, Biro, dan kelompok Sayap Biru melangkah beriringan bagaikan sekawanan semut. Langkah mereka pelan namun mantap, menapaki jalan mulus yang membentang di hadapan mereka. Kemegahan Kota Awan Petir membuat napas mereka tercekat, bahkan Kota Hantu yang menyeramkan maupun Kota Gelombang yang riuh pun tak sanggup menandingi pesona agung kota ini.
“Lihat… bahkan pintu gerbangnya lebih tinggi daripada atap aula desa kita,” gumam Arum dengan suara bergetar, matanya tak lepas dari ukiran naga yang menghiasi pilar kayu raksasa.
Sedang Biro hanya bisa menelan ludah, antara kagum dan cemas, sementara langkah mereka semakin terasa kecil di tengah arus manusia yang memadati jalan.
Anul sendiri terdiam. Matanya menelusuri menara-menara tinggi, patung singa perunggu yang mengawasi, hingga bendera besar yang berkibar di udara. Dalam hatinya, ia tahu, memasuki kota ini bukan sekadar perjalanan.
"Kota Awan Petir adalah pusaran takdir, tempat di mana jalan hidup seseorang bisa terangkat menuju langit… atau ditelan ke dasar kegelapan," gumamnya pelan.
Langkah kelompok Sayap Biru yang memimpin jalan perlahan terhenti, di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan kayu bertingkat, anggun namun kokoh, seakan akar-akar tak terlihat menancap dalam menembus bumi. Ukiran halus menghiasi setiap sudut, memperlihatkan kemewahan tanpa perlu kata.
Di atas pintu masuk, sebuah papan besar berkilau diterpa cahaya senja. Huruf-huruf emas yang terukir di atasnya bersinar laksana matahari, memancarkan kemuliaan yang tak terbantahkan. Nama itu, meski hanya beberapa kata, cukup untuk membuat siapa pun menunduk dengan hormat.
Rumah Dagang Apel Emas
Ronald melangkah maju, wajahnya tenang namun sarat keyakinan. “Mari, kita masuk menemui ketua kami,” ucapnya, suaranya bergema pelan seakan menambah bobot pada undangan itu.
Ketiganya mengangguk serentak, lalu mengikuti langkah Ronald. Yolan sempat berhenti sejenak di ambang pintu, pandangannya menyapu papan nama itu sebelum akhirnya bergabung. Di luar, anggota kelompok lain berjaga rapi; beberapa di antaranya dengan sigap menuntun kereta kuda, menambatkannya dengan tertib di tempat yang telah ditentukan, seakan tak ingin menodai kewibawaan rumah dagang yang agung ini.
Pria paruh baya menatap kosong ke kejauhan. Garis ketegasan terukir jelas di wajahnya yang menua. Posturnya tegap, menunjukan kegagahannya di masa lampau. Sesekali ia menarik nafas panjang, lalu ia akan menggeleng beberapa kali.
Tok... Tok...
"Tuan, nona muda sudah kembali." lapor seorang pelayan dari luar kamar.
Wajah pria itu berubah, senyum cerah merekah di wajahnya. Bergegas ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu ruangan itu.
Yolan berdiri anggun menunggu ayahnya membukakan pintu. Pintu didepannya terbuka dengan sangat cepat dan pria paruh baya tiba-tiba memeluknya erat, membuat sesak.
"Ayah, aku sudah besar!" Mencoba melepas pelukan ayahnya, ia meronta. Pipinya memerah karena malu.
Seperti baru saja tersadar, Edward melepaskan pelukannya. Ia lalu merapikan baju dan bersikap layaknya seorang tetua yang berwibawa.
"Ehem.. Ehem.., masuklah," dengan berdeham pelan, ia menyuruh mereka masuk.
Ruangan itu lumayan luas dengan meja besar berada di sudutnya. Beberapa kursi kecil tersusun rapi mengelilingi sebuah meja besar. Beberapa jendela besar di salah satu sisi ruangan, memberikan pencahayaan yang pas untuk ruangan luas itu.
"Ayah, ini Biro. Ia yang menyelamatkanku saat dalam perjalanan pulang." Yolan memperkenalkan Biro kepada ayahnya, matanya berseri bersanding dengan pipinya yang nampak merona. Tingkahnya terlihat seperti anak gadis yang memperkenalkan calon suaminya untuk meminta restu.
Biro menyapa Edward tepat setelah Yolan berhenti berbicara, "Halo ayah mertua."
Cairan teh langsung menyembur dari mulut Arum, tepat membasahi wajah Biro yang duduk di seberangnya. Yolan dengan sigap langsung berdiri, mengelap muncratan teh yang membasahi wajah Biro dengan saputangan miliknya.
"Huahahahahaha,, terkadang tembok memang harus dibasahi agar debunya tidak beterbangan!" Anul tertawa dengan lepasnya.
Biro hanya memajukan bibirnya sedikit merespon ejekan Anul.
Edward hanya diam, ia bingung bagaimana merespon sapaan Biro. Jika dinilai dari segi fisik, pemuda ini bisa di anggap sangat tampan, dengan kulit putih, hidung mancung, mata jernih dan tubuh tegapnya. Dari segi kemampuan beladiri pun, sepertinya ia dapat di andalkan.
Tapi, pemuda bernama Biro ini sepertinya memiliki masalah dengan otaknya. Terlebih, anak gadisnya baru berusia lima belas tahun. Bagaimana mungkin ia membiarkan gadis kecilnya direbut oleh pria lain.
"Terimakasih sudah menyelamatkan anakku."
Ucap Edward tanpa menyinggung sapaan Biro tadi.
"Pak Edward, sepertinya kau salah paham." sergah Anul. Ia lalu melanjutkan, "Sebelumnya kami setuju untuk menyelamatkan anakmu dengan syarat akan ada imbalan."
Ronald berdiri cepat lalu menunduk ke Arah Edward.
"Tuan, aku saat itu memang menyetujuinya. Tapi keputusan tetap ada di tangan anda."
Edward hanya sedikit menarik nafas sebelum berbicara, "katakanlah apa yang kalian minta sebagai imbalan, tapi aku tidak bisa berjanji banyak. Kondisi kami sedang tidak terlalu baik."
Anul tersenyum kecil—senyum licik. "Untuk saat ini kami belum ada permintaan apapun. Nanti jika sudah ada, kami akan segera menyampaikannya."
Alarm 'senyum licik Anul' milik Biro dan Arum langsung memberikan peringatan, akan ada yang menderita dalam waktu dekat. Ronald dan Yolan yang sudah bersama mereka beberapa hari, secara alami sudah tahu arti dari senyum kecil Anul itu. Mereka berempat berdoa bersamaan di dalam hati masing-masing.
"Semoga bukan aku yang jadi korban."
Tambahin mandi gak di daftar itu🗿👊