Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam itu suasana rumah Audy seharusnya tenang. Lampu-lampu taman menyala temaram, angin membawa aroma bunga kamboja dari pekarangan. Jam mulai menunjukkan pukul tujuh lewat sedikit ketika sebuah mobil mewah, berhenti mulus di depan gerbang. Audy turun dengan langkah santai, rambutnya masih rapi, wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja.
Namun, di dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari sana, sepasang mata penuh bara sudah menunggu.
Begitu melihat Dion turun dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu, darah Chandra langsung mendidih. Tanpa pikir panjang, dia merangsek keluar dari mobilnya, menderapkan langkah keras ke aspal, wajahnya merah padam.
“Bagus ya!” bentaknya lantang, suaranya memecah udara. “Suami kamu lagi kesusahan, kamu malah senang-senang sama pria lain!”
Audy tertegun, lalu menegang. Jengah, marah, dan jijik bercampur jadi satu di wajahnya. “Mau apa lagi kamu ke sini, Mas?” katanya dingin. “Aku sudah bilang, aku nggak mau ketemu kamu lagi sampai proses perceraian selesai. Kalau ada yang mau kamu omongin, bisa lewat pengacara aku.”
Chandra mendengus, matanya liar. “Siapa yang bilang aku mau cerai, hah?! Aku nggak akan pernah ceraikan kamu, Audy! Kamu itu istri aku!” teriaknya, urat lehernya menegang. “Dan aku minta, kamu tarik keputusan gila kamu itu! Jual saham, narik investasi—kamu mau hancurin aku? Iya?! Kamu mau liat aku jatuh?!”
Sebelum Audy sempat membalas, Dion maju selangkah, tubuhnya berdiri tegas di depan Audy. “Cukup. Saya sudah cukup melihat Anda bertindak tidak sopan. Lebih baik Anda pergi sekarang. Jelas sekali Bu Audy tidak nyaman dengan kedatangan Anda.”
“Alahhh… bacooott!!!” Chandra meraung, dan dalam sekejap tangannya melayang.
“Buaghhh!” Sebuah pukulan mendarat tepat di wajah Dion, membuatnya terhuyung.
“Dion!!!” teriak Audy panik, meraih lengannya. “Kamu nggak apa-apa?”
Dion mengangguk pelan, meski darah tipis merembes dari sudut bibirnya. Tidak lama, pukulan balasan mendarat di wajah Chandra, pria itu jatuh terhuyung.
"Berhenti!! Cukup, Chandra, aku minta kamu pergi dari sini sekarang"
"Dion, kita masuk dulu, kita obati dulu luka kamu didalam" ucap Audy
Chandra menatap mereka dengan pandangan gila, dadanya naik turun. “Kamu lebih belain dia, Dy?! Aku suami kamu!!! Aku!!!” Chandra berusaha menggapai tangan Audy, berniat menjauhkannya dari Dion. Tapi Audy bergerak cepat menghindar.
Audy sudah tak bisa menahan amarahnya lagi. Tangannya gemetar, tapi nadanya penuh keberanian. “Cukup, Chandra!!! Kamu sudah keterlaluan!” Tanpa ragu dia meraih ponsel, menekan nomor cepat. “Halo, Pak, tolong segera ke rumah saya sekarang juga. Ada orang yang membuat keributan di rumah saya.”
Tak lama, suara langkah cepat terdengar. Beberapa petugas keamanan komplek datang bersama aparat yang kebetulan sedang berpatroli di dekat sana.
Chandra berontak, berteriak seperti orang kesetanan ketika tubuhnya digiring menjauh. “Dy!!! Jangan berani-berani ninggalin aku!!! Kamu nggak akan pernah bisa bebas dari aku!!!”
Audy berdiri terpaku, dadanya sesak, tangannya masih menggenggam erat tangan Dion. Malam itu, dia sadar—Chandra tidak akan berhenti begitu saja. Dan badai yang lebih besar pasti akan datang dalam hidupnya.
...***...
Diruang tamu, Audy mengobati luka Dion dengan pengobatan pertama sederhana.
Dia menatap Dion dengan sorot mata penuh rasa bersalah. Tangannya refleks menyentuh pipi pria itu, jemarinya terasa hangat di atas kulit yang mema, dan bibirnya yang sedikit berdarah. “Ya Tuhan, Dion… aku minta maaf. Semua ini gara-gara aku. Kamu jadi babak belur begini” Suaranya lirih, bergetar, hampir pecah.
Dion menggeleng pelan. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang berdarah. “Kenapa kamu yang minta maaf Dy, Kamu nggak salah apa-apa. Yang salah calon mantan suami kamu itu” Tangannya terulur, menangkup tangan Audy yang masih menempel di wajahnya. Sentuhan itu sederhana, tapi mampu meredakan gejolak di dada Audy.
Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya luruh. “Aku bener-bener capek, Dion… capek harus terus berhadapan sama dia. Rasanya aku cuma pengen tenang, pengen hidup normal tanpa harus diganggu sama bayang-bayang dia lagi.”
Dion menarik Audy ke dalam pelukan tanpa ragu. Hangat tubuhnya menyelimuti Audy, menutup segala resah yang tadi ditorehkan Chandra. “Udah kamu tenangin diri kamu dulu. Yang penting kamu sekarang baik-baik aja, aku akan bantu kamu sebisa mungkin biar laki-laki itu nggak gangguin kamu lagi” Ucapannya terdengar tulus, tapi nadanya lembut seperti janji yang lahir dari lubuk hati terdalam.
Audy memejamkan mata, menyandarkan kepalanya di dada Dion, mendengar detak jantung yang berdetak penuh irama. Detak itu bagai musik pengantar yang menenangkan, membuatnya merasa aman untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ketika Audy mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Ada sesuatu yang bergetar di antara keduanya—bukan sekadar simpati, tapi perasaan yang lebih dalam, yang selama ini berusaha mereka abaikan.
“Terima kasih, Dion,” bisik Audy dengan suara parau.
Dion tersenyum hangat, ibu jarinya menyapu perlahan air mata yang masih tersisa di pipi Audy. “Aku yakin kamu bisa lewatin ini kok.” dia menatapnya dalam, “kamu perempuan hebat Dy..”
...***...
Mata mereka masih saling bertaut. Audy bisa merasakan napas Dion begitu dekat, hangatnya menyapu kulit wajahnya yang dingin karena air mata. Ada magnet tak kasat mata yang perlahan menarik mereka lebih dekat, seolah dunia mengecil hanya pada ruang kecil di antara keduanya.
Dion menunduk sedikit, jemarinya masih bertengger lembut di pipi Audy. Sorot matanya penuh keragu-raguan, tapi juga keinginan yang tak bisa lagi dia sembunyikan. Sementara Audy, dalam hatinya berkecamuk rasa yang sulit dijelaskan—antara ingin menyerah pada ketenangan yang Dion tawarkan, namun dia masih terpaku pada bayangan luka lama yang masih membelenggunya.
Detik itu, jarak mereka nyaris tak ada lagi. Bibir Dion hanya tinggal beberapa sentimeter dari bibir Audy. Audy bisa merasakan jantungnya berdegup begitu kencang, seperti hendak meledak.
Namun tepat sebelum bibir mereka bertemu, Audy refleks menoleh, membuat ciuman itu tertahan.
“Maaf.... Dion. Aku nggak bisa” Suaranya pelan, nyaris berbisik, tapi cukup untuk memecah ketegangan yang barusan terjalin. Matanya berkaca-kaca, menatap lantai seakan mencari keberanian untuk jujur. “Lebih baik kamu pulang sekarang, aku nggak mau ada omongan nggak enak dari tetangga. Saat ini status aku masih menjadi istri orang.”
Dion terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam. Dia tidak menunjukkan kekecewaan, hanya menatap Audy dengan penuh pengertian. Tangannya turun, menggenggam tangan Audy erat, seakan ingin mengatakan kalau dia tak akan pergi hanya karena ditolak.
“Maaf, sepertinya aku yang kurang peka sama kondisi kamu,” ucap Dion lembut, senyumnya tipis tapi tulus. “Aku pulang dulu, kamu istirahat aja sekarang. Kalau ada apa-apa, kamu tahu harus hubungin aku kemana”
Audy menatap Dion, hatinya belum pulih, dia tidak ingin hanya karena kenyamanan sesaat akan membuat semuanya berantakan.
Selepas Dion pergi, Audy termenung dikamarnya. Bayangan dirinya dengan Dion, praktis membuatnya sulit memejamkan matanya.
"Aku nggak boleh terlalu terbawa perasaan. Dion pantas bersama perempuan lain yang jauh lebih baik" ucapnya dalam hati.
...****************...