Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Lampu sorot masih menyala terang, kamera menyorot Jenny yang tersenyum lebar di depan meja berisi produk skincare. Suaranya manis, penuh energi, seolah-olah sedang tidak ada masalah dalam hidupnya.
Namun suasana mendadak berubah ketika salah seorang tim kreatifnya, yang tadi sibuk memegang kamera, tiba-tiba angkat bicara.
“Kak Jenny, untuk fee aku kapan ya bisa dibayar?” tanyanya ragu, tapi jelas terdengar jengkel.
Jenny menghentikan aksinya, senyumnya lenyap seketika. Tatapannya menusuk, nada suaranya naik.
“Ya ampun, sabar dong! Ini aja kita masih bikin konten endorse. Kalian tahu sendiri lah bayaran endorse berapa. Jangan khawatir, pasti aku bayar kok. Takut banget nggak dibayar!”
Beberapa orang di ruangan itu saling pandang. Salah satu dari mereka memberanikan diri menimpali.
“Ya jangan kayak gitu juga, Kak. Dari bulan lalu kakak ngomongnya sama terus. Kalau kayak gini caranya, mending kakak urus sendiri deh. Aku berhenti. Capek-capek kerja tapi fee jarang dibayar tepat waktu.”
Kata-katanya disambut anggukan setuju dari yang lain. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung membereskan barang-barang mereka.
“Kak, kami kasih waktu dua hari ya. Kalau dalam dua hari nggak dibayar juga, jangan salahin kami kalau masalah ini jadi viral,” ujar salah seorang sebelum pergi.
Pintu tertutup keras. Sunyi. Hanya tersisa Jenny sendirian di ruangan. Wajahnya merah padam, giginya terkatup rapat menahan amarah.
“Kurang ajar!” teriaknya, lalu kakinya menendang lampu sorot. Lampu itu jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai.
Jenny duduk di kursi dengan napas terengah, rambutnya berantakan.
“Sombong banget sih mereka. Dulu aja semua pada muji-muji aku, sekarang malah ninggalin aku kayak gini,” omelnya.
Tangannya meraih ponsel di meja, membuka Instagram, melihat komentar-komentar manis dari para penggemarnya. Tapi semua itu tidak cukup untuk menutupi kenyataan bahwa kehidupannya mulai runtuh.
“Chandra juga lagi hancur. Aku udah nggak bisa lagi aku ngandelin dia,” gumam Jenny.
Hening sejenak, lalu muncul ide licik di kepalanya. Nama Adam melintas begitu saja, pria yang katanya kini jadi pemegang saham terbesar di perusahaan Chandra sekaligus musuh bebuyutannya.
Jenny menatap bayangannya di cermin ringlight yang masih menyala. Senyumnya muncul perlahan, licik, memperhitungkan semua kemungkinan di kepalanya.
“Aku harus cari tahu soal Adam. Kalau dia bisa jadi sponsor baru aku… semua bakal balik kayak dulu.”
***
Ruang kantor pengacara sore itu dipenuhi aroma kopi yang samar. Tumpukan dokumen tersusun rapi di meja kaca besar, sementara Gilang dan Sinta menatap Audy dengan ekspresi serius.
“Bu Audy yakin dengan keputusan ibu untuk mewaqafkan rumah itu?” tanya Gilang, suaranya terdengar penuh keraguan.
Sinta ikut menimpali, “Mungkin ibu bisa pertimbangkan lagi. Rumah itu cukup besar, apa nggak sayang kalau dilepas?”
Audy menggeleng mantap. “Nggak masalah. Ini memang sudah saya rencanakan sejak lama. Selain itu, di lingkungan sana belum ada masjid. Saya juga sudah bicara dengan tetangga dan pengurus RT, mereka menyambut baik. Saya ingin rumah itu jadi sesuatu yang bermanfaat.”
Gilang akhirnya mengangguk, menghela napas. “Baiklah kalau begitu, saya akan urus semuanya.”
“Oh ya, untuk sidang perceraian besok, ibu tidak perlu hadir,” sambungnya. “Saya dan Sinta yang akan datang mewakili. Prosesnya akan lebih cepat, apalagi bukti kita lebih kuat dibanding pak Chandra. Ibu tinggal tunggu kabar baik saja. Mungkin kehadiran ibu hanya diperlukan saat pembacaan keputusan.”
Senyum tipis terbit di bibir Audy. Rasanya lega, tidak harus menatap wajah Chandra lagi di ruang sidang.
Sinta lalu menambahkan, “Kami juga sudah menyiapkan gugatan kepada akun-akun gosip yang menyebarkan berita soal ibu dan Pak Dion. Tidak lama lagi kita akan tahu siapa yang membayar mereka.”
“Terima kasih,” ucap Audy tulus. Ia meraih tasnya, berdiri. “Kalau begitu saya permisi. Tolong urus semuanya.”
Audy baru saja melangkah keluar dari pintu kaca, ketika matanya menangkap sosok yang familiar berdiri tak jauh dari sana. Dion sudah menunggu, dengan hanya mengenakan kemeja putih lengan digulung, dipadukan celana jeans gelap, membuatny terlihat sedikit lebih santai daripada biasanya, tapi tetap saja pemandangan itu membuat Audy terdiam sejenak.
Dan entah kenapa, pemandangan itu membuat dada Audy terasa getir. Dia sadar, besok Dion akan berangkat ke China. Beberapa bulan memang bukan waktu yang lama, tapi juga bukan waktu yang sebentar. Ada semacam rasa tak rela, meski dia tidak berhak menahannya.
“Hai,” ucap Dion pelan.
Audy mengerjap, agak kaget. “Kamu… ngapain di sini?” tanyanya, mencoba terdengar biasa.
Dion tersenyum kecil, lalu melangkah ke mobil yang terparkir di dekat mereka. Ia membukakan pintu penumpang, gerakannya tenang, penuh wibawa.
“Masuk dulu yuk. Kita ngobrol sambil jalan.”
Untuk sepersekian detik, Audy hanya menatapnya. Ada rasa “nyess” di dadanya, sesuatu yang menusuk pelan. Besok Dion akan berangkat ke China, meninggalkannya selama beberapa bulan. Pikiran itu membuat hatinya menolak, tapi logikanya tahu—ia tidak punya hak untuk menahan.
Akhirnya ia menarik napas, lalu mengangguk pelan. “Oke.”
***
Mobil melaju pelan di sepanjang jalan kota sore itu. Lampu-lampu mulai menyala, sementara di dalam kabin hanya ada suara mesin yang halus bercampur dengan hembusan napas keduanya.
Audy menatap ke luar jendela, seolah sibuk dengan pemandangan jalan, padahal hatinya sedang berdebar tak karuan. Dion di sebelahnya beberapa kali melirik, ingin bicara, tapi selalu tertahan.
Akhirnya, Dion yang lebih dulu memecah keheningan.
“Besok aku berangkat ke China,” katanya pelan.
Audy menelan ludah. “Iya, aku tahu.”
“Dan mungkin aku akan sering nggak kasih kabar ke kamu. Jam kerjanya padat banget di sana.” Dion menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Tapi… aku nggak mau kamu salah paham. Bukan berarti aku ngelupain kamu.”
Audy tersentak kecil. Kata-kata itu seperti menusuk langsung ke dadanya. Dia mencoba tersenyum tipis.
“Kamu ini ngomong apa sih Dion, kamu nggak perlu mikirin aku disana, Dion. Kita kan cuma rekan kerja.”
Dion mendadak menghentikan mobil di pinggir jalan, membuat Audy refleks menoleh. Tatapan Dion kini serius, jauh lebih dalam dari biasanya.
“Liat aku Dy, jujur sama aku, apa aku bener-bener cuma rekan kerja dimata kamu?” suaranya nyaris berbisik.
Audy tercekat. Matanya menatap balik, namun cepat-cepat ia mengalihkan pandangan. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya—antara ingin jujur dan ingin bertahan dengan bentengnya.
“Dion kamu tahu kalau aku masih dalam proses cerai. Hidup aku berantakan. Kamu nggak seharusnya punya perasaan sama aku. Banyak perempuan lain diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku Dion” ucap Audy, nadanya bergetar.
Dion mencondongkan tubuh sedikit, jaraknya kini lebih dekat.
“Banyak perempuan diluar sana, tapi aku cuma mau kamu Dy. Aku nggak bisa nahan perasaan aku lebih lama, kita bakalan pisah cukup lama, beberapa bulan bahkan mungkin bisa sampai setahun atau dua tahun. Aku cuma pengen kamu tahu perasaan aku sekarang, masalah kamu mau nerima atau nggak itu hak kamu. Tapi yang jelas aku nggak mau nyesel pergi sebelum aku ngomong ini sama kamu.”
Jantung Audy berdetak makin cepat. Suasana mobil mendadak jadi sesak oleh rasa yang tak terucap.
“Dion…” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Sejenak, keduanya terdiam. Jarak wajah mereka semakin dekat, seolah waktu menahan segalanya agar berhenti tepat di titik itu. Audy bisa merasakan hangat napas Dion, dan hatinya meronta-ronta untuk menyerah.
Tapi tepat sebelum jarak itu terhapus, Audy memalingkan wajah. Menutup mata rapat-rapat.
“Jangan sekarang, Dion…” bisiknya lirih.
Dion menghela napas panjang, menahan perasaan yang hampir meledak. Namun alih-alih kecewa, ia justru tersenyum tipis.
“Oke, Dy, aku paham. Mungkin kamu butuh waktu buka hati kamu lagi buat aku, tapi percaya Dy, aku bakalan gedor terus pintu hati kamu, kalau nggak kebuka juga, pintu itu bakalan aku dobrak. Karena aku sesayang itu sama kamu” kata Audy.
Audy terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, tapi juga hangat sekaligus menyesakkan dada. Dia menutup matanya sebentar, mencoba menenangkan diri.
“Aku… nggak tahu harus jawab apa,” ucap Audy lirih, suaranya bergetar. “Hatiku masih penuh luka. Kalau aku jawab sekarang, mungkin itu bukan jawaban yang adil buat kamu.”
Dion tersenyum pahit, lalu menatap jalan lagi. “It's okay, semua luka memang butuh waktu untuk benar-benar sembuh”
Audy menoleh padanya, menatap profil wajah Dion yang diterangi lampu jalan. Ada keberanian, ada ketulusan, dan ada sesuatu yang membuatnya ingin menangis.
Dia ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya bisikan pelan, “Hati-hati di sana ya.”
Dion menoleh, mata mereka bertemu dalam diam yang penuh arti. Sejenak, seolah dunia berhenti. Jarak di antara mereka terasa begitu tipis, nyaris membuat mereka saling mendekat. Tapi Audy cepat-cepat memalingkan wajah, menggigit bibir, menahan gejolak yang belum siap ia lepaskan.
Dion tersenyum tipis. “Aku pasti bakalan balik, Dy. Dan aku berharap… saat aku balik nanti, hati kamu sudah siap untuk menerimaku.”
***