NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:437
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19

Malam itu, Carissa terhanyut dalam mimpi yang aneh dan memukau. Ia berdiri di tengah hamparan bintang yang tak berujung, dikelilingi oleh galaksi yang berputar-putar. Tiba-tiba, dari tengah gemerlap bintang, muncul sesosok dewi yang anggun dan bercahaya. Dewi itu tersenyum lembut dengan tatapan familiar pada Carissa. Wajah yang tidak asing dan kedekatan yang aneh, Dewi tersebut lalu berkata dengan suara yang bergema, “Takdirmu telah tiba, Carissa. Pilihlah dengan bijak, dan jangan sampai salah memilih lagi.” Sebelum Carissa sempat bertanya apa maksudnya, dewi itu menghilang, meninggalkan Carissa seorang diri di tengah keheningan bintang. Ia melihat sekeliling, dan tiba-tiba terdengar suara dirinya sedang berbicara. Suara yang mirip dengan suaranya, namun bukan berasal dari hatinya, melainkan dari milyaran bintang-bintang yang mengelilinginya. Suara-suara itu berisik dan kacau, membuatnya sulit untuk fokus pada setiap kata yang terdengar. Ia merasa kebingungan dan kewalahan.

Carissa tersentak bangun, matanya terbuka lebar dengan napas terengah-engah. Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, berusaha menenangkan diri. Biasanya, ia jarang sekali bermimpi, dan kalaupun bermimpi, ia tidak pernah bisa mengingatnya dengan jelas setelah bangun. Namun, kali ini berbeda. Wajah dewi yang muncul dalam mimpinya masih terpatri jelas di benaknya, seolah-olah baru saja terjadi. Ia bisa mengingat setiap detailnya: raut wajahnya yang lembut namun tegas, ekspresinya yang penuh kasih sayang, pakaian warna-warni perpaduan pink dan peach yang berkilauan, perhiasannya yang mewah, model rambutnya yang anggun, dan selendang sutra berwarna kuning pastel yang melambai-lambai lembut. Ada perasaan aneh yang menyelimutinya. Ia merasa seperti mengenal dewi itu dengan sangat baik, meskipun ia yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

“Takdirmu telah tiba, Carissa. Pilihlah dengan bijak, dan jangan sampai salah memilih lagi.” Kata-kata itu terus terngiang di benaknya, membuatnya semakin gelisah. Takdir? Pilihlah dengan bijak? Apakah sebelumnya ia pernah salah memilih? Kalimat itu terasa begitu familiar, seolah pernah mendengarnya di suatu tempat. Carissa berusaha keras mengingat-ingat, lalu tiba-tiba sebuah ingatan muncul: orang tua peramal yang ia temui saat berlibur di Thailand beberapa tahun lalu. Peramal itu juga pernah mengatakan hal yang serupa tentang jodoh dan pilihan yang harus diambil dengan hati-hati. Pikiran Carissa semakin kacau dan dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Instingnya mengatakan bahwa ini bukanlah sekadar kebetulan, melainkan sebuah pertanda dan peringatan yang serius. Untungnya, ia tidak terlalu terkejut dengan hal-hal ajaib semacam ini. Sejak kecil, ia sudah menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan unik untuk berkomunikasi dengan hewan-hewan dan menumbuhkan tanaman dengan mudah. Namun, Carissa tidak pernah ingin memanfaatkan kemampuannya untuk pamer atau mencari keuntungan. Ia hanya ingin menjalani hidup normal seperti orang lain.

***

“Gimana kalau kamu balik aja ke Thailand, terus cari peramal itu lagi?” usul Sarah di balik telepon dengan nada bersemangat yang membuat Carissa mengernyitkan dahi.

“Niat banget, Rah,” balas Carissa sambil tertawa hambar, membayangkan perjalanan jauh dan belum tentu membuahkan hasil. “Kalau aku beneran ke Thailand, terus nggak nemu peramal itu gimana? Kan udah lewat beberapa tahun,” lanjutnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya kalau nggak ketemu, anggap aja sekalian refreshing,” jawab Sarah sambil tertawa renyah, seolah tidak ada beban pikiran sama sekali.

Carissa terdiam sejenak, menggigit bibir bawahnya, menimbang-nimbang usulan Sarah. Ia memang penasaran dengan makna mimpinya, tapi ia juga harus realistis. Mengingat sekarang ia sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai caddy Henry, ia tidak bisa sebebas dulu untuk pergi berlibur. “Tapi aku kan harus nemenin Henry ke lapangan,” ujarnya dengan nada menyesal, sambil membayangkan wajah kecewa Henry jika ia tiba-tiba menghilang.

“Ya udah, ajak aja sekalian Henry ke Thailand! Di sana juga banyak lapangan golf bagus, kok. Siapa tahu dia mau,” celetuk Sarah tanpa berpikir panjang, membuat Carissa terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya.

Ide Sarah yang kedengaran seperti lelucon, tiba-tiba terlintas di benak Carissa. Mengganti suasana latihan Henry dengan lapangan baru di Thailand, bukan ide yang buruk."

Matahari bersinar terik di atas lapangan golf, namun Carissa tidak merasakan kehangatannya. Ia berjalan gontai di belakang Henry, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan tentang bagaimana cara membujuk Henry untuk pergi ke Thailand bersamanya. Ia menghela napas panjang, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri.

“Carissa, bagaimana dengan anginnya? Apakah ada perubahan?” tanya Henry, menghentikan langkahnya.

Carissa tersentak kaget, lalu menatap Henry dengan tatapan kosong. “Anginnya… masih sama, Pak. Dari arah timur laut,” jawabnya dengan nada lesu.

Henry menatap Carissa dengan tatapan khawatir. Ia menyadari bahwa Carissa sedang tidak baik-baik saja. Biasanya, Carissa selalu bersemangat dan penuh perhatian, tapi hari ini ia tampak linglung dan tidak fokus.

Tiba-tiba, seekor kelinci liar mendekat ke arah Carissa, seolah merasakan kesedihannya. Carissa tersenyum tipis, lalu berjongkok dan menggendong kelinci itu dengan lembut. Ia mengusap-ngusap bulu kelinci itu sambil berjalan menuju ke arah bola yang baru saja dipukul oleh Henry.

“Kelinci… bantuin aku dong,” bisik Carissa pada kelinci itu dengan nada putus asa. “Aku pengen banget ngajak Bapak ke Thailand, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Aku takut dia nolak… Aku takut dia mikir aku aneh…”

Henry diam-diam memperhatikan interaksi Carissa dengan kelinci itu dari kejauhan. Ia merasa heran dan penasaran. Apa yang sedang dilakukan Carissa? Dan kenapa ia terlihat begitu sedih?

"Henry berdiri di dekat bola, menatap Carissa dengan tatapan menunggu. “Ke mana aku harus memukul sekarang?” tanyanya dengan nada serius.

Carissa yang sedang mendengarkan keluh kesah mama kelinci tentang susahnya mencari wortel segar di sekitar lapangan golf, tiba-tiba tersentak kaget mendengar pertanyaan Henry. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir suara-suara hewan yang memenuhi benaknya. Dengan cepat, ia kembali mengamati kondisi lapangan dan merasakan perubahan arah angin. Sekawanan capung yang sedari tadi terbang berputar-putar di sekitarnya berbisik pada Carissa bahwa sebentar lagi angin akan berhenti berhembus dan mereka bisa dengan asyiknya terbang bermain di sini tanpa gangguan.

“Tunggu sebentar lagi, Pak,” ujar Carissa dengan nada yakin. “Angin akan segera berhenti berhembus. Jadi, Bapak bisa langsung memukul bola lurus ke arah green.”

“Kali ini siapa yang memberitahumu kalau angin akan berhenti berhembus?” tanya Henry dengan nada menggoda, matanya menatap Carissa dengan senyum geli. “Kelinci kah yang berbisik padamu?”

Carissa mengalihkan pandangannya ke Henry. Angin yang masih bertiup sepoi-sepoi menerbangkan rambut Henry di bawah sinar matahari yang tidak begitu menyengat, menciptakan siluet yang indah. Carissa terpesona dengan ketampanan Henry yang terpancar alami. Ia sampai lupa apa yang baru saja ditanyakan Henry.

“Carissa, fokus!” bisiknya dalam hati, berusaha mengendalikan dirinya.

“Ehh… Kelinci tidak tahu arah mata angin, Pak,” jawab Carissa dengan gugup, sambil menunjuk ke arah kawanan capung yang terbang berputar-putar di atas mereka.

Mata Henry mengikuti arah telunjuk Carissa, lalu mengerutkan kening. “Capung maksudmu?”

Gadis di depannya mengangguk dengan penuh keyakinan dan tersenyum bangga, membuat Henry semakin terpesona. Ia mengakui bahwa Carissa memang memiliki kemampuan yang luar biasa, sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya. Walaupun sampai detik ini ia masih sulit untuk percaya bahwa ada orang yang benar-benar bisa berbicara dengan hewan, namun beberapa kali Carissa berhasil membuatnya takjub dan membuktikan bahwa ada hal-hal di dunia ini yang sulit dijelaskan dengan logika.

 Detik berikutnya, angin benar-benar berhenti berhembus. “Sekarang, Pak! Shoot dengan sekuat tenaga!” seru Carissa dengan penuh semangat.

Henry tersadar dari lamunannya dan merasakan sendiri bahwa angin memang telah berhenti bertiup. Ia kembali dibuat takjub dengan kemampuan Carissa. Dengan keyakinan penuh, ia mengambil posisi kuda-kuda yang mantap dan memukul bola dengan sekuat tenaga seperti yang diinstruksikan caddy-nya.

Taaak!

Dari kejauhan, terlihat bola meluncur dengan cepat dan jatuh tepat di atas green, hanya sekitar satu meter dari hole. Pukulan yang luar biasa, hanya bisa dilakukan oleh seorang pegolf sejati. Senyum merekah menghiasi wajah Henry dan Carissa.

“Kamu hebat, Pak!” puji Carissa.

Henry berbalik dan mengelus kepala kelinci yang berada di gendongan Carissa. “Terima kasih, ya,” ujarnya lembut, seolah berterima kasih pada kelinci itu.

Mata mereka berdua bertemu dan saling bertaut selama beberapa detik. Cukup untuk membuat wajah Carissa memerah karena tersipu, bukan karena terik matahari yang menyengat.

Pukulan terakhir mulus masuk ke hole.

Henry merasa khawatir melihat Carissa yang tampak lesu dan tidak bersemangat. Ia ingin menanyakan apa yang sedang terjadi, tetapi ia takut akan mengganggu privasinya. Ia memutuskan untuk mengajak Carissa beristirahat sejenak.

Mereka menaiki golf cart yang terparkir di dekat green dan melaju menuju restoran yang terletak di dekat club house. Sepanjang perjalanan, Henry diam-diam mengamati Carissa yang sedang berbisik-bisik dengan kelinci putih besar yang selalu ia bawa. Ia merasa penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

Mereka memilih untuk duduk di area outdoor restoran. Carissa menolak untuk meninggalkan kelincinya sendirian, jadi ia membawanya bersamanya dan menempatkannya di bawah meja.

“Kelinci kamu udah jinak banget ya,” ujar Henry, mencoba untuk memulai percakapan.

Carissa tersenyum dan menjawab, “Iya, dia lagi hamil, jadi manja banget.” Ia mengelus-elus kepala kelinci itu dengan sayang.

“Kamu beneran bisa berbicara dengan hewan?” tanya Henry dengan nada penasaran, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia tahu pertanyaannya terdengar di luar nalar dan mungkin akan membuat Carissa merasa aneh.

Seketika, Carissa merasa dilema. Jika ia jujur, Henry pasti akan menganggapnya gila dan aneh. Tapi jika ia berbohong, maka akan ada kebohongan-kebohongan lain yang harus ia lakukan untuk menutupi kebohongan yang pertama.

Setelah berpikir sejenak, Carissa memutuskan untuk mencoba jujur. “Iya. Aku bisa,” jawabnya dengan nada mantap.

Henry tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Dari raut wajah Carissa, tidak terlihat sedikit pun tanda-tanda bahwa ia sedang bercanda atau berbohong.

“Luar biasa,” ujar Henry dengan nada kagum.

“Mau bukti?” tantang Carissa dengan senyum misterius.

“Boleh juga. Aku juga penasaran selama ini,” jawab Henry sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan bersandar di kursi. Ia menunggu keajaiban apa yang akan dilakukan oleh Carissa, meskipun dalam hatinya ia masih tidak percaya dengan kemampuan aneh yang dimiliki oleh gadis itu.

“Lihat di pohon sebelah sana. Ada dua ekor tupai yang sedang menatap kita dari tadi. Aku akan memanggil salah satunya kemari sambil membawa bunga yang ada di vas bunga di meja itu,” ujar Carissa dengan nada penuh keyakinan.

Henry tertawa kecil, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Carissa mengayunkan tangannya seperti sedang memanggil seseorang dari kejauhan. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memeragakan beberapa isyarat tangan yang aneh. Kemudian, ia tertawa jahil, seolah sedang merencanakan sesuatu yang lucu.

Beberapa detik kemudian, seekor tupai tiba-tiba mendarat di bahu Henry dengan gerakan lincah sambil menggigit setangkai bunga daisy kecil di mulutnya."

Carissa tersenyum puas melihat ekspresi Henry yang terkejut dan takjub. “Gimana? Udah percaya sekarang? Atau kamu masih butuh bukti yang lain?” tanyanya dengan nada menggoda.

Henry masih terpaku menatap tupai yang bertengger di bahunya. Ia merasa sedikit takut dan tidak nyaman. “Bisa kamu suruh dia turun sekarang?” pintanya dengan nada gugup.

Carissa terkekeh melihat ekspresi Henry yang ketakutan. Ia mengulurkan tangannya dan berkata dengan lembut, “Sini,”

Tupai itu seolah mengerti dengan ucapan Carissa. Ia langsung melompat dari bahu Henry ke tangan Carissa dengan gerakan yang lincah dan cepat.

Jantung Henry berdegup kencang melihat tupai itu melompat ke tangan Carissa. Ia merasa lega karena tupai itu sudah tidak berada di dekatnya lagi. Namun, ia juga merasa kagum dengan kemampuan Carissa yang luar biasa.

Pertunjukan akrobat tupai berakhir ketika seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan mereka. Henry dan Carissa mulai menikmati hidangan makan siang mereka. Namun, di tengah keheningan itu, Henry tiba-tiba bertanya kepada Carissa dengan nada serius.

“Jadi, apa yang membuatmu kurang fokus hari ini?” tanya Henry dengan nada lembut, namunMenusuk.

Carissa tersentak kaget mendengar pertanyaan Henry. Ia merasa gugup dan tidak tahu harus menjawab apa. Ia mencoba mengulur waktu dengan mengunyah makanannya dengan perlahan. Ia berharap Henry tidak akan menyadari kegugupannya.

“Sebenarnya… emang ada sesuatu yang pengen aku omongin sama kamu,” ujar Carissa akhirnya dengan nada hati-hati.

“Apa itu?” tanya Henry dengan nada lembut. Henry tampak sabar menunggu jawaban dari Carissa. Ia meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring dan menatap Carissa dengan tatapan penuh perhatian lalu menyandarkan punggungnya di kursi dan bersiap untuk mendengarkan cerita Carissa.

“Emm… Sebenarnya… aku pengen ngajak kamu ke Thailand,” ujar Carissa dengan nada gugup. Ia tidak berani menatap mata Henry. “Eh, maksudnya… di sana kan banyak lapangan golf bagus, jadi kita bisa latihan di sana. Terus… sekalian aja aku ada urusan pribadi yang pengen aku lakuin di sana,” tambahnya dengan nada cepat dan berusaha terdengar meyakinkan.

"Henry tampak berpikir sejenak, lalu mengangkat bahunya dan bertanya dengan nada santai, “Cuma itu aja?”

Carissa mengangguk dengan cepat, berusaha meyakinkan Henry bahwa ia tidak menyembunyikan apa pun. “Iya, cuma itu aja,” jawabnya dengan nada gugup.

“Ya udah, oke aja sih. Kapan kita berangkat?” jawab Henry dengan nada enteng.

Carissa terkejut mendengar jawaban Henry. Ia tidak menyangka bahwa pria itu akan menyetujui ajakannya dengan begitu mudah. “Beneran? Kamu mau? Kamu nggak keberatan?” tanyanya dengan nada tidak percaya.

Henry tersenyum dan berkata, “Iya, aku mau ikut. Lagian, nggak ada salahnya kan nyoba latihan di tempat yang baru? Aku sih nggak masalah latihan di mana aja, asalkan ada kamu.”

Deg!

Jantung Carissa berdebar kencang mendengar ucapan Henry. Ia merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya. Kata-kata Henry yang sederhana itu telah berhasil menyentuh hatinya. Ia merasa sangat bahagia sampai tidak bisa menahan senyumnya yang merekah dengan lebar.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!