Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokter Amora
“Tiongkoknya sebelah mana? Setahun sekali aku ke sana,” tanya Renata, tatapannya menusuk.
“Gawat… kenapa asal ceplos saja sih mulut ini?” ucap Amira dalam hati, mulai bingung dengan kebohongan yang sudah ia buat.
Renata masih menatap tajam ke arahnya.
Sementara itu, Viona menggeram dalam hati. “Dasar Amira! Padahal jawab saja di Indonesia. Rencananya aku sudah mau menyetting keluarganya seolah-olah dari golongan orang kaya: sewa rumah mewah, sewa mobil, supaya tampak berkelas. Tapi sekarang… kebohongannya malah tidak realistis.”
“Aku yakin dia dari kalangan rakyat miskin. Mampus kau,” pikir Ferdi dengan puas.
“Kenapa diam? Tiongkoknya sebelah mana?” Renata kembali mendesak.
Sebelum Amira sempat merangkai jawaban, Renata mengambil cangkir teh di depannya. Perempuan tua itu menyesap perlahan—namun tiba-tiba terbatuk keras.
“Uhuk! Uhuk!”
Cangkir di tangannya bergetar, teh tumpah ke meja. Semua orang terlonjak kaget. Wajah Renata memerah, suaranya tersendat, dan dalam hitungan detik tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Oma!” teriak Ferdi panik.
Renata ambruk di kursi. Napasnya terputus-putus, matanya hampir terpejam.
Amira refleks bangkit. Tanpa berpikir panjang, ia menyingkirkan kursi lalu merunduk di samping Renata. Dengan sigap, Amira membuka kancing baju Renata dan menekan bagian dada serta punggungnya.
“Vampir! Apa yang kamu lakukan?” teriak Ferdi.
“Singkirkan tanganmu!” sahut Anton, pura-pura panik.
“Bodoh! Lepaskan dia!” bentak Laudia.
Namun perlahan, napas Renata mulai membaik, meski matanya masih terpejam dan belum sepenuhnya sadar.
Ferdi bergegas menghampiri, siap menghajar Amira. Tetapi dengan gerakan gesit, Amira justru mengangkat tubuh Renata, menggendongnya dengan mantap, lalu berlari keluar menuju mobil.
“Vampir! Mau kamu bawa ke mana Oma?” teriak Ferdi, suaranya pecah.
Teriakan itu tak dihiraukan Amira. Ia terus berlari.
“Buka pintunya cepat!” serunya kepada pria yang berdiri di dekat mobil—sepertinya sopir keluarga.
Amira memasukkan Renata ke dalam mobil. Tanpa ragu, ia merebut kunci dari tangan sopir.
“Hey! Kuncinya!” protes sopir itu.
“Kelamaan!” balas Amira, lalu menendangnya hingga terjengkang ke tanah.
Amira memutar mobil itu seperti seorang pembalap. Ban berdecit keras hingga mengeluarkan asap putih.
“Tettttttt!” Ia membunyikan klakson berkali-kali.
Sambil membuka jendela, Amira berteriak, “Buka, bego! Nyonya dalam bahaya!”
Penjaga gerbang panik. Tergopoh-gopoh ia membuka pintu gerbang secepat mungkin.
Sementara itu, Ferdi dan Viona kalang kabut. Mereka berlarian mencari mobil, orang-orang ikut panik seperti tanpa arah.
“Bruk!” Ferdi menendang pot bunga. “Cepat, kuncinya mana, bego?!” serunya frustrasi.
Akhirnya kunci mobil berhasil ditemukan, tapi terlambat. Mobil yang dikendarai Amira sudah melesat jauh.
Dengan kecepatan penuh, Amira menyalip kendaraan lain dengan lincah. Ia melaju zigzag, membuat beberapa pengendara berteriak marah kepadanya. Namun Amira sama sekali tidak peduli.
“Brengsek! Awas saja kalau sampai terjadi apa-apa dengan Oma,” gerutu Ferdi, wajahnya tegang.
Padahal ia sendiri jago mengendarai mobil; di waktu luang Ferdi sering ikut balapan. Tapi kali ini, melihat Amira yang begitu lihai di jalan, membuatnya frustasi dan tak berdaya.
Amira membawa Renata ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Mobil melaju kencang memasuki area rumah sakit.
Security yang berjaga panik. Lewat intercom ia berseru, “Mobil Nyonya Renata memasuki rumah sakit! Harap semua bersiap!”
Berita dari pos keamanan segera sampai ke ruang manajemen.
“Siapkan pelayanan terbaik!” ucap seorang pria dengan nada panik, langsung memberi perintah.
Mobil berhenti di depan ruang IGD. Para petugas sudah siap dengan brankar, dokter-dokter pun berjaga di pintu.
“Tolong! Tolong pasien ini!” teriak Amira, wajahnya cemas.
“Kami mengerti,” jawab salah seorang dokter cepat, lalu bersama timnya mengangkat Renata ke atas brankar.
Amira menarik napas lega. “Sepertinya memang beda kalau orang kaya yang datang,” gumamnya lirih.
Ingatan itu membawanya kembali pada saat ayahnya pernah mengalami hal serupa. Waktu itu pelayanan rumah sakit begitu lambat, tak ada kepanikan apalagi kesiapan seperti hari ini.
Tak lama kemudian, Ferdi juga tiba. Rumah sakit mendadak penuh hiruk-pikuk. Semua perhatian tertuju pada Nyonya Renata. Para dokter dan perawat tahu, jika mereka gagal menyelamatkan sosok penting itu, maka habislah karier mereka.
Amira duduk di ruang tunggu dengan tenang. Banyak pasang mata menatapnya dengan pandangan aneh. Wanita cantik berkulit putih itu memiliki wajah khas keturunan Tionghoa dan Indonesia. Lehernya penuh bercak merah, pakaiannya pun mencolok: kaus kebesaran bergambar Doraemon dan celana pendek dengan motif karakter kartun, ditambah sandal yang juga kebesaran.
“Orang kaya memang agak lain busananya,” bisik beberapa pengunjung. Meski penampilannya tampak sederhana, bahkan aneh, wajah Amira sama sekali tidak memperlihatkan ciri dari kalangan bawah. Justru banyak yang menganggapnya wanita kaya eksentrik.
Tak lama kemudian, Ferdi masuk dengan langkah terburu-buru. Napasnya terengah, sisa lelah karena tadi sempat mengejar. Begitu matanya menangkap sosok Amira, sorotnya langsung menyala penuh amarah.
“Vampir gila!” teriak Ferdi, membuat para pengunjung yang tadinya berbisik-bisik kini tertegun menatapnya. Tuan muda tampan yang mereka kenal kini tampak meledak emosinya.
Ferdi mendekati Amira dengan wajah merah padam.
“Kamu kira kamu siapa? Membawa Oma seperti orang kesetanan!” bentaknya.
“Tolol kamu! Bego!” teriak Ferdi panik, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Amira.
“Diamlah,” ucap Amira dengan tenang. “Berdoalah yang tenang, semoga Oma tidak terjadi apa-apa.”
Anton datang dengan napas tersengal, bersama istrinya, Laudia.
“Awas kalau terjadi apa-apa dengan ibuku!” ucap Anton dengan ekspresi pura-pura marah.
“Kalian sabarlah. Kalau bukan Amira, mana mungkin Oma bisa cepat sampai rumah sakit?” Viona yang baru tiba langsung membela.
“Tapi, Mah—” protes Ferdi.
“Cukup, Ferdi! Yang penting Oma sudah ditangani oleh dokter,” tegas Viona.
Suasana mendadak hening. Semua orang terdiam. Renata sedang ditangani tim dokter profesional yang bekerja serius di ruang IGD.
Menunggu hasil pemeriksaan terasa seperti menunggu malaikat hendak memanggil. Ferdi gelisah, berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.
“Mau ke mana kamu?” tanya Ferdi saat melihat Amira berdiri dan melangkah.
“Mau ke toilet, mau ikut?” balas Amira santai.
“Jangan coba-coba kabur kamu!” ucap Ferdi kesal.
“Sudah cukup, Ferdi,” potong Viona tegas.
Lampu hijau di atas pintu IGD menyala. Tak lama, seorang dokter berjilbab keluar dengan masker menutupi wajahnya.
“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” tanya Viona cemas, sementara Ferdi berdiri di belakangnya.
Dokter itu melepas maskernya. Senyumnya lembut.
“Oma baik-baik saja, Tante,” ucap dokter perempuan itu.
“A… Mora?” Viona terpaku.
“Hehehe, Tante masih kenal sama aku,” jawab Amora, matanya berbinar.
“Walau sekarang kamu berhijab, Tante tetap mengenalmu, Sayang,” ucap Viona haru.
Ferdi menyipitkan mata, menatap lama. “Amora… siapa ya? Tapi kenapa matanya mirip si vampire,” gumamnya dalam hati, curiga.
“Ferdi, ini Amora, loh. Waktu kecil kamu sering bilang kalau sudah besar mau menikahinya,” ucap Viona sambil tersenyum, mencoba mengingatkan.
“Astaga, Amora… kok kamu sudah besar. Padahal dulu kamu cengeng sekali,” ucap Ferdi, matanya melebar tak percaya.
Amora tersenyum geli. “Ah, ternyata kakak tampanku ini masih ingat aku.”
Viona menyela cepat. “Bagaimana kondisi Oma?”
“Ah, untung sekali dibawa tepat waktu. Dan yang lebih penting, ada pertolongan pertama yang sangat efektif,” jawab Amora mantap.
“Pertolongan pertama?” gumam Viona, keningnya berkerut.
“Iya, Tante. Memangnya siapa yang memberi pertolongan pertama?” tanya Amora penasaran.
Viona menoleh ke sekeliling, matanya mencari-cari. “Ferdi, Amira mana?”
“Aku nggak tahu, Mah,” jawab Ferdi acuh.
“Cepat cari Amira, Ferdi,” perintah Viona dengan suara tegas.
“Ah, males,” sahut Ferdi asal.
“Ferdi!” Viona melotot tajam.
Ferdi mengangkat tangan pasrah. “Iya, iya… aku cari.”
Amora kembali tersenyum sopan. “Tante, Oma sudah bisa dijenguk. Aku harus visit pasien lain dulu ya.”
“Iya, Nak. Nanti sempatkan ketemu Tante lagi kalau ada waktu senggang,” ucap Viona lembut.
“Baiklah, Tante.” Amora menunduk hormat, lalu melangkah pergi dengan tenang.
..
..
“sekarang ke pasien mana?” Tanya amora pada seorang perawat
“pasien atas nama yono bu” jawab perawat
fer kecintaan buangttt ma Kunti