Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
"Siapa yang kamu bilang psikopat?" Yusuf melangkah, mendekati Sani dan Bi Wati.
Sani agak gugup, parno sendiri, takut jika Yusuf benar-benar seorang psiko.
"Siapa?" ulang Yusuf, berhenti tepat di depan Isani, menatapnya tajam.
Sani benci dengan respon tubuhnya yang mendadak gemetar. Enggak, dia gak boleh takut dengan Yusuf. "Kamu," ucapnya sedikit ragu-ragu.
Yusuf tergelak, menarik kursi lalu duduk. "Kamu sudah tinggal nama kalau aku beneran psikopat," tersenyum menatap Sani, kedua lengannya dilipat di dada.
"Dia ini sebenarnya psikopat enggak sih?" gumam Sani dalam hati. 3 tahun kenal Yusuf, pria itu terlihat normal, namun kemarin dan hari ini... ah, dia jangan pusing sendiri menerka-nerka.
"Dimana Mamaku?" Sani memberanikan diri bertanya.
"Ngapain cari dia? Mau sungkem, atau mau belajar caranya godain laki-laki kaya?"
Sani menghela nafas panjang. "Ngapain belajar, aku udah jago. Buktinya sekarang, suamiku kaya raya."
Yusuf tersenyum miring, tangannya menarik mangkok berisi buah, lalu mengambil garpu yang ada disana.
Sani merinding melihat cara Yusuf memainkan garpu, seringainya juga sangat menakutkan. Ah, kenapa dia jadi parno gini sih, padahal kemarin-kemarin biasa saja kalau lihat Yusuf.
"Em.. Tuan Yusuf mau sarapan? Bibi bisa menyiapkan di meja makan," Bi Wati mencoba untuk membantu Sani yang terlihat ketakutan. "Em... Bibi masak kepiting kesukaan Tuan."
Yusuf tak mempedulikan Bi Wati, ia berdiri, dengan garpu di tangan, mendekati Isani.
"Mau apa kamu?" Sani mundur, tubuhnya makin gemetaran, wajahnya pucat.
"Menurutmu?" Yusuf tersenyum devil, tanganya masih terus memainkan garpu.
"Mati, aku, mati." Sani menelan ludah susah payah, tenggorokannya terasa sangat kering, dan jantungnya berdetak begitu cepat. Ia terus mundur untuk menghindari Yusuf.
"Tuan, Tuan Yusuf bukannya harus segera ke kantor?" Bi Wati ikut panik, bingung bagaimana caranya membantu Sani lepas dari Yusuf.
Namun lagi-lagi, Yusuf tak menghiraukan ucapan Bi Wati, laki-laki itu terus maju ke arah Sani. Tatapannya tak lepas dari kedua manik mata Isani. Ia sudah seperti seorang pemburu yang bersiap memangsa buruannya.
Dug
Mata Sani melotot saat punggungnya terhantuk dinding. Ia tak bisa bergerak lagi sekarang, sementara Yusuf, laki-laki itu sudah tinggal sekitar 3 jengkal saja di depannya.
Dengan kaki gemetar, Isani bergeser minggir, namun nahas, lengan Yusuf begitu cepat bertumpu pada dinding, mengunci gerakannya.
"Mau kemana kamu tikus kecil?" Yusuf menyeringai, mendekatkan wajahnya ke wajah Isani.
Sani rasanya mau pingsan, jarak wajahnya, hanya sekita 2 centi dari wajah Yusuf. Ia bahkan bisa merasakan sapuan hangat nafasnya.
"Tu-tuan, Tuan, tolong lepaskan Nyonya Isani," Bi Wati yang khawatir, memohon meski suaranya kemungkinan tak didengar. "Tolong lepaskan Nyonya Isani. Di-dia sudah janji, gak akan kemana-mana, tetap disini dan patuh pada Tuan."
"Enggak!" teriak Sani sambil menggeleng cepat. "Enggak, aku gak pernah janji." Ia masih bisa berfikir waras meski merasa terancam.
"Jadi, kau tidak mau menuruti semua perintahku?" Yusuf menyentuh pipi Sani dengan ujung garpu, menggerakkan naik turun sampai wajah Sani pucat pasi. Sungguh, ia menyukai pemandangan tersebut.
Sani menggeleng, namun beberapa detik kemudian mengangguk. Sumpah, ia bingung sekali.
"Mau atau tidak?" bentak Yusuf.
"Aku, aku.... "
"Baiklah kalau begitu. Selamat tinggal Isani!" Yusuf mengangkat tangannya yang memegang garpu.
"Aaaa!" teriak Isani sambil memejamkan mata. Namun, hingga beberapa saat, ia tak merasakan sakit. Jangan-jangan, ia sudah mati. Pelan-pelan, Sani membuka matanya. Ia menutup mulutnya yang menganga lebar dengan telapak tangan saat melihat Yusuf masih ada di depannya. Ia lalu meraba dada, turun ke perut. Tak ada garpu yang menancap ditubuhnya, ia belum mati.
Klunting
Sani melihat ke bawah mendengar suara nyaring benda jatuh. Yusuf menjatuhkan garpunya ke lantai.
"Aku bukan psikopat," Yusuf tersenyum puas, menarik tangannya lalu menjauh.
Tubuh Sani merosot ke lantai, lututnya terasa seperti jeli, lemas. Sialan, ternyata dia di prank. Tapi untung juga sih cuma di prank, bagaimana jika tadi beneran, garpu itu menancap di tubuhnya, bisa-bisa dia sudah masuk IGD.
Bi Wati tergopoh-gopoh mengambil air, lalu memberikan pada Sani.
Yusuf kembali ke tempat duduknya semula. "Irene akan pindah kesini hari ini, bersihkan rumah," Menuang air di teko ke dalam gelas, lalu meneguknya. "Satu lagi, siapkan makanan untuk kami makan malam, juga bersihkan paviliun, buang bangkai-bangkai tikus yang kamu bunuh semalam." Yusuf menatap Isani, tersenyum miring. "Ternyata kamu kejam juga ya, puluhan tikus kamu bantai dalam semalam. Sebenarnya disini, aku atau kamu yang psikopat?"
Kedua telapak tangan Isani terkepal kuat. Enggak, dia gak boleh takut. Sepertinya benar apa yang dikatain Bi Wati, Yusuf bukan psikopat, jadi ia tak perlu takut. Kalau ia takut, Yusuf akan semakin mempermainkannya seperti tadi. Pria itu pasti suka sekali melihatnya ketakutan. Sani bangkit, berjalan mendekati Yusuf. "Aku gak mau melakukannya."
"Ternyata masih ada nyali ngomong gitu?" Yusuf menyeringai. "Terus, maumu apa?"
"Aku mau pergi dari sini!" tekan Isani dengan mata melotot.
"Gak takut diejek Yumi?" Yusuf meremehkan.
"Enggak."
"Udah punya 1M untuk ganti mahar?"
"Aku bisa cari."
"Mau jadi bintang por no?"
"Siapa takut. Kali aja ada produser Ja v yang ngeliat, terus aku dijadiin artisnya." Sani tak mau berfikir terlalu panjang, yang penting saat ini, dia bisa lepas dari Yusuf, itu yang paling utama.
"Dasar gila," Yusuf berdecak, tersenyum simpul. "Baiklah, pergilah."
Kening Sani mengkerut, merasa aneh, kenapa tiba-tiba, Yusuf semudah ini melepaskannya.
"Pergilah!" ujar Yusuf kembali. Ia mengambil mangkok berisi buah potong, memangkunya sambil memakan santai tanpa beban.
Sani bergeming, memperhatikan raut wajah Yusuf yang sulit diartikan. Apa yang sebenarnya direncanakan laki-laki itu? Ah, persetan dengan rencananya, tak mau membuang kesempatan, lebih cepat keluar dari rumah ini, lebih baik.
"Nyonya, Nyonya jangan pergi," Bi Wati masih berusaha menahan Isani saat wanita itu memakai ransel berisi barang-barangnya.
"Maaf Bi, aku gak bisa. Aku gak bisa bersama laki-laki kejam, bisa-bisa nyawaku jadi taruhannya, " melirik Yusuf.
"Gak usah lebay," celetuk Yusuf. "Nyawamu gak ada harganya, untuk apa dipertaruhkan."
Sani mendengus kesal. Ia menggendong tas ranselnya, berjalan meninggalkan dapur sambil menyeret plastik sampah warna hitam berisi barang-barangnya.
Yusuf tak mencegah, ia hanya senyum-senyum sambil terus makan buat. Baru beberapa saat, Sani sudah kembali lagi. "Ngapain balik?" ia tersenyum mengejek.
"Mana ponselku?" Sani menengadahkan telapak tangan.
"Udah aku buang ke kolam. Ambil sendiri kalau mau."
Sani menggeram tertahan, telapak tangannya mengepal kuat. Ia kembali meninggalkan dapur. Urusan ponsel, ia bisa beli lagi.
Ceklek ceklek ceklek
Sani mengumpat saat ternyata pintu dikunci. Pantas saja Yusuf tak menghalanginya, ternyata laki-laki itu sudah mengunci pintu. Dengan langkah yang diseret karena lelah, Sani kembali ke dapur.
"Ngapain balik lagi?" Yusuf terlihat menahan senyum.
"Mana kunci pintu depan?"
"Bi, berikan kuncinya."
"Hah!" Bi Wati tampak terkejut. Apa Tuannya tidak sedang salah bicara? Namun beberapa saat kemudian, ia berlari ke kamar, mengambil kunci lalu menyerahkan pada Isani.
"Awas balik lagi!" seru Yusuf. "Kalau sampai kamu balik lagi, itu artinya, kamu memang ingin bersamaku. Dan aku pastikan, seumur hidupmu, akan kamu habiskan bersamaku."
"Cih, jangan mimpi," balas Isani. "Jangankan seluruh hidup di dunia, di akhirat pun, aku ogah bersamamu. Ah, tapi tak mungkin kita bersama di akhirat, karena kamu masuk neraka, sedang aku masuk surga. Selamat tinggal! Aku bersumpah tak akan kembali apapun yang terjadi," ia pergi setelah mengatakan itu.
"Jangan yakin dulu, takutnya hatimu tertinggal disini dan kamu putuskan untuk kembali," teriak Yusuf.
"Mimpi saja sana!" teriak Isani.
Yusuf tersenyum, memakan satu persatu potongan buah yang disiapkan Bi Wati untuk Isani. Sementara Bi Wati masih bingung dengan sikap Yusuf.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup