NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Rahasia Di Balik Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duniahiburan / Rumahhantu / Mafia / Cintapertama / Berondong
Popularitas:978
Nilai: 5
Nama Author: Ulina Simanullang

Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: Tragedi di akhir

Suasana di gudang tua itu begitu hening hingga suara tetesan air dari atap yang bocor terdengar jelas. Bau besi berkarat bercampur debu memenuhi udara. Lampu-lampu redup menggantung di langit-langit, mengayun pelan seolah enggan menerangi tragedi yang akan segera terjadi.

Stefanus diseret masuk oleh dua pria bertubuh kekar. Borgol di kedua pergelangan tangannya berdecit, menahan pergerakannya yang nyaris tak bertenaga. Bajunya lusuh, wajahnya pucat, dan mata cokelatnya penuh ketakutan.

Di tengah gudang, seorang pria berjas hitam berdiri tegak. Dialah Pak Arman, ayah Stefany, sekaligus pemimpin komplotan mafia paling disegani di kota ini. Ekspresinya dingin, tenang, tapi di balik ketenangan itu ada kekuasaan mematikan yang tak pernah diragukan oleh siapa pun.

Di sebelahnya, Boris, tangan kanan setianya, berdiri dengan tatapan tajam seperti serigala. Dialah yang memimpin pengejaran hingga Stefanus tertangkap.

Pak Arman menatap Stefanus dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menilai barang yang sudah tak berguna lagi.

“Jadi ini dia,” suara Pak Arman dalam dan berat, memecah kesunyian. “Anak muda yang membuatku harus repot beberapa hari ini.”

Stefanus menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering seperti gurun. “Pak… saya mohon… saya tidak akan bilang apa-apa… saya tidak akan cerita ke siapa pun,” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Pak Arman tersenyum tipis. “Itu masalahnya, Nak. Aku tidak bisa hanya mengandalkan janji dari seseorang yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri.”

Stefanus menggeleng cepat, langkahnya mundur sedikit, tapi dua pria di belakangnya memegang bahunya erat-erat.

“Saya tidak sengaja melihatnya, Pak. Saya hanya lewat. Saya tidak akan… saya tidak akan buka mulut. Demi Tuhan, saya bersumpah,” suaranya pecah, seperti seseorang yang melihat ajalnya semakin dekat.

Pak Arman berjalan mendekat. Sepatunya berderap pelan di lantai beton yang dingin. Ia berhenti tepat di depan Stefanus, menatap wajah muda itu lama-lama.

“Kau mahasiswa, ya?” tanya Pak Arman tenang.

Stefanus mengangguk cepat. “I-iya, Pak.”

“Kuliah di Universitas Harapan Bangsa?”

“Iya, Pak…”

Pak Arman tersenyum samar. “Anak yang pintar, katanya. Dapat beasiswa. Pacaran dengan… siapa namanya? Stefany?”

Mendengar nama itu, dada Stefanus serasa diremas. “Iya, Pak… tapi dia tidak tahu apa-apa… dia tidak ada urusan, saya mohon…”

Pak Arman menghela napas pelan. “Aku tahu anakku tidak tahu apa-apa. Tapi kau… kau sudah melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.”

Ia berbalik, berjalan beberapa langkah menjauh, lalu berkata tanpa menoleh, “Boris, kau tahu masalah terbesar dalam bisnis seperti kita?”

Boris menjawab singkat, “Saksi, Pak.”

Pak Arman menatap Stefanus lagi, senyum dingin muncul di wajahnya. “Benar. Saksi. Dan aku tidak suka ada saksi yang berkeliaran.”

Stefanus merasakan darahnya mengalir semakin cepat. “Saya tidak akan bersaksi… saya tidak akan bilang ke siapa pun… demi Tuhan… demi Stefany… saya mohon…”

Pak Arman mendekat lagi, kali ini lebih lambat, tatapannya menusuk seperti pisau. “Anak muda, dunia ini tidak bekerja berdasarkan doa dan janji. Dunia ini bekerja berdasarkan kekuasaan dan ketakutan. Kau mengerti?”

Stefanus hanya bisa mengangguk dengan wajah penuh ketakutan.

Pak Arman melirik Boris. “Kau bawa pistolnya?”

Boris mengangguk, menyerahkan pistol hitam mengilap ke tangan Pak Arman. Senjata itu tampak dingin di bawah cahaya lampu redup.

Stefanus memejamkan mata sesaat, tubuhnya gemetar hebat. “Tolong, Pak… saya masih punya mimpi… saya ingin menikah dengan Stefany… saya mohon… jangan lakukan ini…”

Pak Arman menatapnya datar. “Mimpi itu milik orang yang bisa bertahan hidup, Nak. Dan kau… kau sudah melangkah terlalu jauh.”

Suasana di gudang itu semakin mencekam. Beberapa anak buah saling pandang, tapi tak seorang pun berani bersuara. Semua tahu, sekali Pak Arman memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengubahnya.

Stefanus mulai menangis. Air matanya jatuh di lantai beton yang dingin. “Tolong… Pak… saya tidak bersalah… saya hanya mahasiswa miskin… saya bahkan tidak punya siapa-siapa selain Stefany…”

Pak Arman mendekat begitu dekat hingga Stefanus bisa merasakan napasnya. “Itu dia masalahnya. Kau tidak punya siapa-siapa. Tidak ada yang akan merindukanmu… selain anakku. Dan dia akan segera melupakannya.”

Stefanus menggeleng kuat-kuat. “Tidak… Stefany mencintai saya… dia tidak akan...

“Cinta?” Pak Arman menyeringai dingin. “Cinta tidak ada artinya di dunia seperti ini.”

Tiba-tiba pistol itu terangkat. Larasnya mengarah tepat ke dada Stefanus.

Waktu seolah berhenti.

“Pak… jangan… demi Stefany… demi Tuhan…” Stefanus memohon di detik terakhir hidupnya.

Satu tembakan meledak memecah keheningan.

Tubuh Stefanus terhuyung, darah membasahi bajunya. Ia sempat memegang dadanya, matanya membelalak tak percaya, sebelum lututnya melemah dan ia jatuh berlutut.

“Pak…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Sebuah tembakan kedua memastikan semuanya berakhir. Tubuh Stefanus ambruk di lantai beton, tidak bergerak lagi.

Pak Arman menurunkan pistolnya perlahan, wajahnya tanpa emosi.

“Bereskan mayatnya,” katanya datar.

Pak Arman menatapnya tanpa emosi. Satu tembakan lagi memastikan Stefanus tidak akan bangkit kembali. Tubuh pemuda itu ambruk sepenuhnya, matanya kini kosong, menatap ke arah langit-langit gudang yang berdebu.

Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan di luar yang terdengar, seperti irama duka untuk nyawa yang baru saja melayang.

“Bungkus mayatnya,” perintah Pak Arman akhirnya. Suaranya datar, tanpa emosi, seperti memerintahkan seseorang membersihkan meja makan setelah pesta berakhir.

Boris memberi isyarat kepada anak buahnya. Dua orang segera datang membawa terpal hitam tebal dan lakban. Dengan cekatan tapi tenang, mereka membalik tubuh Stefanus yang tak bernyawa, membungkusnya rapat-rapat. Setiap gerakan mereka seperti sudah dilatih berkali-kali: bersih, cepat, tanpa meninggalkan noda.

Seorang anak buah menutup wajah Stefanus terakhir kali sebelum terpal dilakban erat. Kini tubuh pemuda itu hanya terlihat sebagai gulungan hitam panjang—tak lagi sebagai manusia dengan mimpi dan cinta.

Boris memeriksa hasil kerja mereka, memastikan tidak ada setitik darah pun tertinggal di lantai. “Bawa ke mobil. Pastikan tidak ada yang tahu,” katanya singkat.

Dua pria mengangkat gulungan terpal itu ke luar gudang, memasukkannya ke bagasi mobil hitam.

Hujan semakin deras. Jalanan licin. Tak ada seorang pun di luar sana yang tahu bahwa di dalam mobil itu ada mayat seorang mahasiswa yang baru saja kehilangan hidupnya karena berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah.

Pak Arman menyerahkan pistolnya kembali kepada Boris. “Buang senjata itu,” ucapnya pelan.

“Siap, Pak.”

Pak Arman menatap ke arah pintu gudang yang terbuka, ke arah hujan yang mengguyur dunia di luar sana. “Hujan akan menghapus semua jejak malam ini,” katanya lirih.

mengangguk, memberi isyarat kepada dua pria lain yang segera mengangkat tubuh Stefanus yang sudah tak bernyawa. Mereka membawanya keluar gudang, menuju mobil hitam yang sudah menunggu.

Hujan mulai turun di luar, menambah kesuraman malam itu.

Pak Arman menatap langit yang mendung melalui pintu gudang yang terbuka. “Hujan akan membersihkan semuanya,” gumamnya pelan.

Di tempat lain, Stefany duduk di kamarnya, menatap ponselnya yang sunyi. Sudah empat hari tidak ada kabar dari Stefanus. Pesan-pesan yang ia kirim hanya berstatus terkirim, tak pernah dibalas.

“Stefanus… kamu di mana?” bisiknya pelan, suaranya dipenuhi rasa khawatir.

Ia tidak tahu bahwa orang yang dia cintai baru saja pergi untuk selamanya.

Dan ayahnya… pria yang selama ini dia hormati… adalah orang yang menarik pelatuk itu.

Di luar, hujan turun semakin deras.

1
Ida Bolon Ida Borsimbolon
mantap,Tetap semangat berkarya💪☺️
argen tambunan
istriku jenius bgt lah♥️♥️
argen tambunan
mantap
Risno Simanullang
mkasi kk
Aiko
Gila keren!
Lourdes zabala
Ngangenin ceritanya!
Risno Simanullang: mkasi kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!