NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19, aku bahkan membunuh lebih dari 30 orang

Malam turun dengan cepat, lebih cepat dari biasanya. Angin berhembus dari utara membawa aroma dingin dan getir yang membuat lentera di balkon kamar Elara bergoyang pelan.

Di dalam kamar, Elara berbaring di ranjang dengan wajah pucat pura-pura lemah. Di atas meja, segelas air hangat dan botol obat herbal tampak rapi, seolah ia benar-benar sakit.

Namun di bawah selimut sutra biru itu, tangannya memegang belati kecil yang disembunyikan di balik lipatan kain.

Kaen duduk di kursi dekat pintu, berusaha terlihat santai tapi matanya awas.

“Kau yakin Mira akan datang malam ini?” tanyanya pelan.

Elara menatap langit-langit, suaranya dingin.

“Kalau aku mengenalnya dengan baik, dia takkan bisa menahan diri.”

“Dan kalau dia datang bersama orang lain?”

“Maka kita akan tahu siapa dalangnya.”

Hening sejenak. Di luar kamar terdengar suara langkah pelan terlalu lembut untuk ukuran penjaga biasa.

Kaen berdiri, tapi Elara memberi isyarat agar diam.

Pintu berderit perlahan. Seseorang masuk dengan langkah ringan, membawa nampan berisi teh herbal. Wajahnya tertunduk dalam cahaya redup.

“Yang Mulia… aku membawakan obat untuk Anda,” katanya lembut.

Suara itu… Elara mengenalinya.

“Mira.”

Pelayan itu menunduk makin dalam.

“Saya mendengar Anda sakit, jadi saya—”

“Menemui seseorang yang seharusnya tidak tahu kalau aku sakit?” potong Elara datar.

Mira menegakkan kepala. Mata cokelatnya bersinar samar, tapi ada dingin yang tak manusiawi di sana.

“Anda terlalu pintar, Yang Mulia,” katanya perlahan. “Sayang sekali.”

Belati meluncur cepat dari balik lengan bajunya. Tapi sebelum ujungnya sempat menyentuh kulit Elara cling!

Kaen sudah lebih dulu menahan dengan pedang. Suara logam memantul di udara.

“Kau kira aku tidak menunggumu?” Kaen mendesis.

Mira melompat ke belakang, gerakannya gesit seperti pemburu. Tangannya menarik bubuk hitam dari saku dan melemparkannya ke arah mereka bom asap.

Ruangan langsung dipenuhi kabut pekat.

Elara menutup hidung, tapi matanya tetap fokus. Ia mengenali bau itu: bukan racun, tapi zat pembius ringan. Mira ingin mereka pingsan, bukan mati belum.

“Kaen, jendela!”

Kaen menghantam kaca jendela, membiarkan angin malam menerobos masuk. Asap menipis, memperlihatkan Mira yang berlari ke arah balkon.

“Kau takkan lolos!”

Kaen hendak melompat, tapi Elara menahan tangannya.

“Biarkan.”

“Apa?”

“Aku sudah menandai bajunya dengan bubuk merah. Kita akan tahu ke mana dia pergi.”

Kaen menatap Elara, sedikit tak percaya.

“Kapan kau—”

“Sebelum dia masuk,” jawab Elara santai. “Aku selalu siap, Kaen.”

Ia berjalan ke balkon, menatap langit malam yang suram. Di kejauhan, bayangan Mira berlari melintasi taman istana, lalu menghilang ke arah barat.

“Ke arah barak kosong di tepi istana,” gumam Kaen. “Tempat itu sudah ditutup sejak perang.”

“Atau justru tempat mereka bersembunyi.”

Beberapa jam kemudian, di ruang kerja Kaisar, Kaelith mendengarkan laporan Kaen dengan wajah serius.

“Jadi Mira berhasil kabur.”

“Untuk sementara,” jawab Kaen. “Tapi Elara menandainya.”

Kaisar menatap peta besar di dinding di situ terlihat lingkaran merah di sisi barat, dekat gudang senjata lama.

“Kita akan bergerak malam ini.”

Kaen mengangguk.

“Aku akan menyiapkan pasukan kecil.”

Namun Elara yang sejak tadi berdiri di tepi ruangan tiba-tiba berkata,

“Tidak. Jangan kirim pasukan besar.”

Kaelith menatapnya.

“Kenapa?”

“Mereka akan kabur sebelum kita tiba. Kita harus membuat mereka merasa aman dulu.”

Kaisar terdiam lama, lalu berkata pelan,

“Lalu apa yang kau usulkan?”

Elara tersenyum samar.

“Aku akan pergi sendiri.”

Kaen hampir membentak,

“Tidak mungkin! Itu jebakan”

"Tepat sekali,” potong Elara cepat. “Dan aku tahu bagaimana menghadapi jebakan.”

Kaelith menatapnya tajam, tapi matanya mengandung sesuatu yang lain: khawatir.

“Elara, kalau ini gagal—”

“Kau masih punya kerajaanmu,” jawabnya pelan. “Tapi kalau aku berhasil… kita akan tahu siapa musuh yang bersembunyi selama ini.”

Tengah malam. Elara mengenakan jubah hitam, rambutnya dikuncir tinggi. Langkahnya nyaris tak bersuara saat menembus taman belakang istana.

Di kejauhan, bayangan Mira tampak samar, berlari menuruni jalan setapak menuju gudang tua.

Elara mengikuti dalam diam.

Saat sampai di sana, ia melihat cahaya redup dari dalam bangunan tua itu. Suara beberapa orang terdengar berbisik.

“Rencana sudah siap. Besok malam, Kaisar akan menghadiri jamuan musim gugur. Saat itu, kita menyerang dari dalam.”

Elara menatap tajam.

Mereka bukan sekadar pembunuh. Mereka mata-mata dari utara.

Tapi sebelum ia bisa mundur, tangan kasar menutup mulutnya dari belakang.

“Kau pikir bisa mengintai kami semudah itu, Yang Mulia?”

Suaranya… Mira.

Elara menatap ke depan lima orang bertopeng keluar dari kegelapan.

Dan salah satunya mengenakan cincin dengan lambang naga simbol bangsawan tinggi.

“Jadi bukan hanya pelayan biasa,” gumam Elara dingin. “Ini konspirasi.”

Mira tersenyum miring.

“Lebih dari itu. Ini permulaan akhir dari kekuasaanmu."

Udara di gudang tua itu berat dan pengap, dipenuhi bau karat dan debu senjata yang sudah lama tak disentuh. Lentera redup menggantung di tengah ruangan, cahayanya memantulkan bayangan aneh di dinding batu.

Elara berdiri di tengah, tangan terikat dengan tali kasar, namun matanya tetap tenang. Mira dan lima orang bertopeng mengelilinginya, seolah seekor serigala sedang mengepung rusa hanya saja, kali ini rusa itu menyimpan taring.

“Kau pikir dengan mengikatku, semuanya selesai?”

Suara Elara pelan tapi penuh ancaman.

Mira tersenyum dingin.

“Tidak, Yang Mulia. Ini baru permulaan. Besok pagi seluruh istana akan tahu bahwa Permaisuri mereka mati bunuh diri karena malu telah mengkhianati Kaisar.”

“Skenario yang indah,” jawab Elara datar. “Sayang sekali… itu terlalu lemah untuk tipu daya sepertimu.”

Salah satu pria bertopeng maju, menampar Elara keras hingga bibirnya berdarah.

“Diam! Kau tak berhak bicara!”

Elara menunduk sebentar, darah menetes ke lantai. Tapi ketika ia mendongak lagi, mata birunya berkilat tajam bukan milik korban, tapi predator.

“Kau baru saja menandai kematianmu sendiri.”

Dalam sekejap, Elara memutar tubuhnya, menjatuhkan kursi yang ia duduki. Tali yang menahan tangannya terlepas karena sejak awal, simpulnya ia buat sendiri, longgar di bagian tengah.

“Tangkap dia!” teriak Mira.

Terlambat. Elara sudah bergerak lebih cepat dari kilat.

Belati kecil yang disembunyikan di dalam lengan jubahnya berputar, mengenai pergelangan tangan pria pertama. Ia menjerit, senjatanya terjatuh, lalu Elara menendangnya ke arah dinding batu.

Dua orang lainnya menyerang bersamaan, tapi Elara merunduk, memanfaatkan rantai tua di lantai. Ia menariknya, membuat keduanya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

“Kau pikir aku perempuan istana yang lembek?” katanya tajam. “Aku dilatih bertarung sebelum kau bisa berjalan tegak.”

Mira mundur satu langkah, tapi segera menarik belatinya.

“Aku bukan pelayan biasa, Elara. Aku pernah membunuh tujuh orang tanpa berkedip.”

Elara tersenyum samar.

“Cuma tiga? Aku bahkan pernah membunuh tiga puluh,bahkan lebih . Mari lihat siapa yang masih bisa berdiri di akhir.”

Mereka saling menerjang.

Cahaya lentera memantul di bilah pisau. Suara logam beradu memenuhi udara.

Mira menyerang dengan cepat dan akurat, tapi Elara lebih licin, menangkis dan menyerang balik dengan presisi. Saat Mira berusaha menusuk, Elara memutar tubuh dan menendang pinggangnya hingga ia tersungkur.

“Kau kalah, Mira,” katanya dingin, menodongkan belati ke leher lawannya.

“Kau tidak akan berani membunuhku.”

“Kau belum tahu siapa aku.”

Elara menekan belati itu tapi tak sampai menembus. Ia hanya melukai sedikit, cukup untuk membuat Mira gemetar.

“Kau akan bicara. Siapa yang memerintahkanmu?”

Mira menggertakkan gigi, menahan sakit.

“Kau pikir aku akan mengkhianati tuanku?”

Elara menatap tajam, lalu menyelipkan pisau ke luka kecil di bahunya.

“Tidak perlu kau bicara. Tubuhmu sudah cukup memberi tahu.”

“A… apa maksudmu?”

“Racun. Kau pakai racun ringan untuk membuat tubuhmu kebal terhadap rasa sakit, tapi itu juga membuat nadimu bergetar tak beraturan. Hanya satu tempat yang punya racun seperti itu markas utara, Benteng Lethra.”

Wajah Mira menegang. Itu cukup sebagai pengakuan.

Elara berdiri, menatapnya dingin.

“Kau akan tetap hidup. Aku butuh saksi.”

Tepat saat itu, pintu gudang meledak terbuka.

Kaen dan Kaelith masuk dengan pasukan khusus di belakangnya.

Kaen langsung menghampiri Elara, matanya lega sekaligus marah.

“Aku bilang jangan sendirian!”

“Dan kalau aku dengar kata-katamu, kita takkan tahu kalau musuh datang dari Lethra,” jawab Elara tenang.

Kaelith berjalan ke depan, menatap Mira yang sudah terikat di lantai.

“Bawa dia ke ruang bawah. Jangan biarkan siapa pun mendekat tanpa izin dariku.”

Pasukan mengangguk dan menyeret para penyerang pergi.

Saat semuanya tenang, Kaelith mendekati Elara.

“Kau terluka.”

“Bukan pertama kalinya.” Ia tersenyum kecil, meski darah masih menetes di sudut bibirnya.

Kaisar menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di matanya antara kagum dan takut kehilangan.

“Kau tahu, Elara,” katanya akhirnya, “kadang aku tak tahu mana yang lebih berbahaya: musuh-musuhku… atau kau.”

Elara menatap balik, senyum tipis di bibirnya.

“Kalau aku ingin menjatuhkanmu, Kaelith… aku takkan menunggu malam.”

Keheningan menyelimuti ruangan.

Kaen hanya menggeleng pelan dia tahu, keduanya sedang bermain api.

Namun di luar sana, di puncak menara istana, seseorang mengamati mereka dari jauh dengan teleskop kecil.

Di tangan orang itu, sebuah surat bertuliskan segel naga merah.

“Permaisuri masih hidup,” gumamnya. “Menarik. Mari kita ubah rencananya"

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!