NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31

Suasana hangat yang tadi penuh tawa kini berubah menjadi hening penuh ketegangan.

Andrew mencoba meraih tangan Nindya, tapi ia menarik diri. Untuk pertama kalinya sejak menikah, jarak yang nyata terbentang di antara mereka.

Malam itu rumah terasa sepi. Yudith sudah terlelap di kamarnya, tapi di kamar utama, Nindya dan Andrew duduk saling membelakangi.

Suasana hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Andrew akhirnya membuka suara pelan,

“Nindya... jangan salah paham aku hanya—”

“Jangan salah paham?” potong Nindya cepat, nadanya bergetar. Ia berbalik menatap Andrew, matanya berkaca-kaca.

“Kamu nyuruh kami diam, seakan kami ini orang asing. Apa salahku sampai aku harus disembunyikan dari keluargamu?”

Andrew bangkit berdiri, berjalan gelisah di dalam kamar.

“Nindya tolong jangan mendramatisir”

Andrew terdiam. Diam yang justru menusuk lebih dalam.

Air mata Nindya akhirnya jatuh.

“Jadi selama ini aku disembunyikan? Apa aku begitu memalukan didepan keluargamu Drew?.”Cecar Nindya.

Andrew meraih bahunya.

“Bukan begitu Nindya...”

Nindya menatapnya dengan mata basah. “Tapi justru sikapmu berkata begitu, kalau aku tidak kamu sembunyikan seharusnya kamu perkenalkan aku dengan Mama sebagai menantu.”

Andrew terdiam, wajahnya menegang antara ingin menjelaskan tapi juga tahu bahwa alasannya rapuh. Ia memeluk Nindya erat, seakan takut ia pergi.

Namun dalam hati Nindya, benih keraguan itu sudah tumbuh. Cinta besar yang mereka bangun kini mulai retak, dan hanya waktu yang bisa membuktikan .

Andrew duduk lama di tepi ranjang, menatap punggung Nindya yang kaku. Lampu kamar hanya tersisa cahaya redup, menambah sesak di dada.

Ia ingin menyentuh, ingin menarik Nindya ke dalam pelukannya, tapi tangannya menggantung di udara lalu jatuh begitu saja.

"Nindya..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

"Percayalah, aku tidak bermaksud menyakitimu."

Namun Nindya tak bergeming. Air matanya sudah kering, tapi hatinya masih bergetar menahan kecewa. Ia memilih diam, menarik selimut hingga ke bahunya, dan membelakangi Andrew seolah ada dinding tak kasatmata di antara mereka.

Andrew menghela napas panjang, menundukkan kepala. Untuk pertama kali sejak bersama Nindya, ia merasakan jarak yang benar-benar menusuk.

Dan di kesunyian malam itu, hanya hembusan napas mereka yang terdengar—dua hati yang bersebelahan, namun terasa begitu jauh.

Pagi itu, rumah terasa dingin meski matahari sudah terlihat di ufuk timur , Nindya tetap menyiapkan sarapan seperti biasa, menyuapi Yudith, memastikan semua berjalan normal.

Andrew memperhatikan gerak-geriknya, tapi tak ada satu kata pun terlontar. Hanya suara sendok dan gelas yang beradu menjadi latar.

Di mobil menuju kantor pun, situasinya sama. Andrew beberapa kali mencoba membuka percakapan ringan, namun Nindya hanya menjawab seperlunya. Senyumnya yang dulu hangat kini tergantikan dengan datar, membuat Andrew makin gelisah.

Sore harinya, Nindya mengirim pesan

"Kamu nggak usah tunggu aku, Drew aku ada janji sama sahabat," tulisnya singkat, lalu menonaktifkan ponselnya sebelum Andrew sempat menanggapi.

Malam itu, di sebuah kafe kecil tempat ia sering bertemu sahabat dekatnya, Nindya akhirnya menceritakan beban hatinya. Tangannya menggenggam cangkir hangat, namun suaranya bergetar.

"Nia ...apa pendapat kamu kalau kamu disuruh tidak bersuara saat ibu mertuamu menelfon" Ujar Nindya membuka percakapan.

"kalau dari sisi aku aku berpikir ada dua kemungkinan Nind.." Timpal Nia sambil menjabarkan alasannya.

"Tapi kalau aku di posisimu ,kemungkinan besar aku berpikir sama dengan kamu."Ucap Nia hati hati ia tidak ingin memperkeruh suasana

Sahabatnya menatap penuh simpati.

"Sabar... Tidak ada yang baik baik saja di dunia ini Nind."

Nindya mengangguk, air mata yang sejak tadi ditahannya perlahan jatuh.

"Aku nggak tahu harus gimana... Apa aku ini benar-benar bagian dari hidupnya, atau dia cuma jadikan aku pelarian."

"Hussh! nggak boleh ah ngomong gitu itu namanya Su'udzon kita harus selalu tabbayun sayang."

"Kita tidak tahu apa alasan dia begitu, kita tidak boleh seenaknya menerka merka."

Sahabatnya menggenggam tangan Nindya, memberi kekuatan. Namun di dalam hatinya, Nindya tahu—pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh Andrew.

Malam sudah larut, jam dinding di ruang tamu berdetak lambat namun menusuk. Andrew duduk di sofa dengan resah, pandangannya tak lepas dari layar ponsel yang berulang kali ia tekan.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi…” suara operator berkali-kali terdengar, membuat dadanya makin sesak.

Ia berdiri, mondar-mandir, kemudian menatap pintu yang masih tertutup rapat. Biasanya jam segini Nindya sudah pulang, menjemput Yudith, lalu mereka makan malam bersama. Tapi malam ini berbeda.

“Kenapa sih, Nin? Kamu di mana sayang?” gumam Andrew sambil menekan tombol panggil sekali lagi, hanya untuk mendengar nada sambung yang sama.

Rasa khawatirnya bercampur dengan gelisah yang sulit ia definisikan. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin Nindya bersama sahabatnya, atau sekadar kelelahan dan lupa memberi kabar. Tapi semakin lama ia menunggu, bayangan buruk semakin menekan pikirannya.

Ia menegakkan tubuh, lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di meja.

“Aku harus cari,” ucapnya pelan, seakan mencoba menghalau rasa takut yang makin merayap.

Namun baru beberapa langkah, pintu rumah berderit terbuka. Nindya muncul dengan wajah letih, matanya sembab seolah habis menangis.

Andrew berhenti, tatapannya menajam, antara lega sekaligus penuh tanda tanya.

“Nindya… kamu dari mana? Kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi?”

Nindya hanya terdiam, menunduk sambil melepas sepatunya perlahan. Ada jeda panjang yang membuat udara malam itu semakin berat.

"Maaf aku lelah ,tolong jangan ganggu aku dulu."Sahut Nidya datar sambil berlalu masuk kedalam kamar tanpa memperdulikan Andrew.

Andrew menelan ludah, napasnya tersengal ketika melihat mata sembab di wajah istrinya.

Setelah menunggu beberapa saat Andrew memutuskan menyusul kedalam kamar, nmun ia terperangah saat mendorong pintu , pintu itu terkunci dari dalam.

Ia mengetuk pelan

"Nind ..tolong buka jangan begini sayang."Ucap Andrew melembutkan suaranya, namun tidak ada sahutan dari dalam.

I kembali mengetuk lagi lagi ia meneguk kecewa karena Nindya tidak bergeming, ia menarik napas dalam dalam dan mengucap istighfar sebelum kembali mencoba mengetuk untuk ketiga kalinya.

"Nind ..buka atau aku dobrak!.'" Batas kesabaran Amdrew telah sampai pada puncaknya suaranya meninggi.

Meski tanpa sahutan samar samar ia mendengar anak kunci yang di putar, ia mendorong puntu demgan gerakan kasar.

"Bukan begini caranya Nind!, pergi tidak bisa di hubungi kamu bikin aku cemas." Cecar Andrew yang tampak hilang kesabaran.

Nindya diam tidak menyahut ia berbaring menghadap tembok dan menyelimuti sekujur tubuhnya seolah tidak ingin mendengar apapun yang.

"Aku bicara sama kamu Nind, hargai dong."Pekik Amdrew sambil meraih bahu Nindya.

Akhirnya Nindya bangkit dari posisinya ,dan kini mereka berhadapan.

"Silahkan bicara," Ucap Nindya dengan mata yang semakin memerah.

Andrew mengibaskan tangan keudara saat melihat wajah istrinya, hatinya melunak.

"Sayang maafkan aku, aku bisa jelaskan semua." Bujuk Andrew

“Aku minta maaf, Nind , aku tidak bermaksud menyembunyikan kalian di mata kelaurgaku.” suaranya serak, penuh penyesalan.

"Lalu apa?, kamu meminta kami tidak bersuata saat Mamamu menelfon itu apa maksudnya ? Jelaskan sama aku Ndrew."Cecar Nidya di sela isak tangisnya .

Andrew menariknya ke dalam pelukan yang kuat namun lembut, nindya tidak berusaha berontak.

Andrew mencium keningnya dan mengusap rambutnya dengan lembut.

"Aku bisa jelaskan." Bisik Andrew

Hari-hari berikutnya terasa kaku di antara Andrew dan Nindya. Mereka masih berangkat ke kantor dengan mobil yang sama, masih berbicara seperlunya saat ada urusan pekerjaan, tapi kehangatan yang biasanya terasa kini seakan menguap.

Nindya tidak bisa begitu saja mengabaikan kejadian tempo hari — ketika Andrew meminta ia dan Yudith diam saat telepon dari Mamanya masuk. Baginya, ada yang janggal. Andrew terus berkata ,

“Aku bisa jelaskan,” tapi sampai kini penjelasan itu tak kunjung keluar.

Di sisi lain, Andrew terjebak dalam dilema. Ia tahu Nindya pantas mendapat kejujuran, tapi ia belum siap membuka semuanya.

Perang dingin pun makin terasa. Saat makan malam, obrolan mereka sekadar basa-basi. Di kantor, mereka menjaga profesionalitas, seolah tak ada masalah.

Namun, setiap tatapan Nindya yang penuh tanya membuat Andrew semakin resah. Ia tahu waktu tidak berpihak padanya — cepat atau lambat, Nindya akan menuntut jawaban yang sebenarnya, dan saat itu tiba, ia tak bisa lagi menghindar.

Malam itu rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Andrew duduk di ruang tamu, menatap layar ponsel yang berkali-kali ia buka tanpa alasan.

Nindya baru keluar dari kamar setelah menidurkan Yudith. Wajahnya letih, bukan hanya karena rutinitas, tapi karena beban yang ia simpan sendiri.

"Erhmm."

Andrew sengaja berdehem keras , mencoba mencairkan suasana.

“Nind… aku tahu kamu marah, tapi kamu tahu kan tidak boleh mendiamkan lebih dari tiga hari?.”

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!