Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melewati batas
Bima duduk di teras belakang, dengan sangkar burung kecil yang kini kosong di pangkuannya. Matanya masih sembab. Burung pemberian Zayn yang baru beberapa hari ia rawat, mati mendadak pagi tadi. Semua orang tahu itu bukan kematian biasa—dokter hewan bahkan menduga ada zat berbahaya yang tercampur dengan makanan burung itu. Meski Bima tidak tahu detailnya, ia cukup peka untuk menyadari ada sesuatu yang salah.
“Kenapa harus Seon…” gumam Bima dengan suara lirih, menunduk dalam. Ia begitu menyayangi hewan kecil pemberian kakak iparnya yang ia beri nama Seon itu.
Juna, bodyguard muda yang belakangan akrab dengan Bima, berdiri di dekatnya. Ia jelas tidak tega melihat bocah itu menangis. Lalu, tanpa banyak kata, ia berjongkok di samping Bima dan mengulurkan sebuah kotak kardus kecil.
“Aku tahu ini tidak bisa menggantikan Seonmu, tapi… mungkin ini bisa mengurangi kesedihanmu,” ujar Juna pelan.
Bima mengangkat kepalanya, bingung. Ia meraih kotak itu, lalu membukanya. Matanya langsung berbinar saat membuka kotak itu—seekor anak kucing jantan berwarna putih abu-abu, mungil dengan mata bulat yang masih tampak polos. Begitu menggemaskan.
“Kitten?!” seru Bima tak percaya. Senyumnya perlahan muncul, menggantikan air mata yang sedari tadi mengalir. Ia langsung mengangkat kucing itu dengan hati-hati, mendekapnya ke dada. “Ya Tuhan, lucunya… Aku suka sekali, om Juna! Terimakasih!”
Wajah Juna sedikit memerah, ia menggaruk tengkuknya canggung. “Aku hanya berpikir… Tuan muda tidak seharusnya sedih terus. Jadi… ya, kuambil dari tempat penampungan hewan. Anak ini butuh rumah, dan kupikir rumah ini pas untuknya.”
Tanpa mereka sadari, Zayn berdiri di ambang pintu, memperhatikan interaksi itu. Untuk pertama kalinya sejak pagi, wajah Bima benar-benar tersenyum. Ada perasaan lega sekaligus hangat di dada Zayn. Ia tahu anak kucing itu bukan sekadar hiburan—melainkan teman baru yang bisa menenangkan adik iparnya.
“Arvin,” panggil Zayn lirih.
Arvin yang sejak tadi berada di dekatnya menoleh. “Ya, Tuan?”
“Panggil Juna ke ruang kerjaku nanti. Aku ada sesuatu untuknya.”
Arvin mengangguk, paham betul arti nada suara tuannya.
.....
Beberapa saat kemudian, Juna memasuki ruang kerja Zayn. Ia berdiri sedikit kaku, sedikit gugup dipanggil langsung oleh majikannya. “Tuan memanggil saya?”
Zayn duduk di kursinya, tangannya bertaut, menatap Juna dengan tatapan tegas namun tak segarang biasanya. “Kau tahu, tidak semua orang paham bagaimana cara menenangkan anak seusia Bima. Apa yang kau lakukan hari ini… membuat adik iparku tersenyum lagi. Itu juga berarti kau menyenangkan istriku.”
Juna menunduk sopan. “Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar, Tuan.”
Zayn tersenyum tipis, lalu membuka laci meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dan mendorongnya ke arah Juna. “Ini bonus untukmu. Anggap saja penghargaan kecil atas inisiatifmu. Gunakan dengan bijak.”
Mata Juna sedikit membesar, ia menggeleng cepat. “T-tidak perlu, Tuan. Saya ikhlas melakukannya. Saya sudah dibayar dengan baik untuk menjaga keluarga Tuan.”
Zayn mencondongkan tubuh, suaranya dalam. “Terima saja. Orang yang berbuat baik dan tulus jarang ditemui. Aku menghargainya. Dan aku ingin kau tetap di sisi Bima. Anak itu nyaman denganmu, dan itu penting bagiku.”
Akhirnya, Juna menerima amplop itu dengan kedua tangannya, menunduk dalam. “Terima kasih banyak, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Tuan.”
Zayn mengangguk puas, lalu melirik Arvin yang berdiri di samping. “Pastikan Juna mendapat akses yang ia butuhkan untuk menjaga Bima. Mulai sekarang, anggap dia orang kepercayaanku juga.”
Arvin menahan senyum, sedikit bangga pada rekannya itu. “Baik, Tuan.”
.....
Sementara itu di kamarnya, Bima masih bermain dengan anak kucing barunya, tertawa kecil setiap kali si mungil itu mencoba menggigit jari tangannya. Alisha masuk membawa susu hangat untuk adiknya, wajahnya lega melihat Bima kembali ceria.
“Lucu sekali… mau kau beri nama siapa kitten ini?” tanyanya sambil duduk di sampingnya.
Bima berpikir sejenak lalu menjawab dengan mantap, “Aku mau beri nama dia Ash. karena bulunya ada abu-abunya.”
Alisha tersenyum lembut, mengelus kepala adiknya. Dalam hatinya, ia bersyukur—bahkan di tengah ancaman yang terus mengintai, masih ada kebahagiaan kecil yang hadir di rumah itu.
*****
Malam Hari – Sebuah Lounge Eksklusif di Pusat Kota
Omar duduk bersandar di sofa kulit hitam, gelas whiskey berputar pelan di tangannya. Lampu temaram membuat tatapannya semakin dingin. Di seberangnya, Lucas menyalakan cerutu, asapnya melayang memenuhi udara.
“Hm,” Lucas mendengus pendek. “Ada yang tidak beres. Salah satu jalur distribusi kita di kawasan utara tersendat. Padahal biasanya lancar.”
Omar mengerling sekilas, tidak ada raut terkejut sedikitpun. “Aku sudah dapat kabar. Salah satu pengirim besar tiba-tiba membatalkan kontrak. Katanya, ada tekanan dari pihak luar.”
Lucas menyipitkan mata. “Pihak luar? Kau curiga siapa?”
Omar meneguk minumannya sebelum menjawab. “Kau pikir siapa lagi? Zayn.”
Suasana hening sejenak. Hanya suara musik jazz pelan dari pengeras suara yang terdengar. Lucas mengetukkan jarinya ke meja, ekspresinya setengah murka setengah kagum.
“Dia mulai berani menyentuh bisnis kita,” gumam Lucas. “Selama ini aku pikir dia akan sibuk melindungi istri dan adik iparnya saja. Ternyata, dia juga menyerang balik.”
Omar tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ancaman daripada kelegaan. “Itu artinya… rencanaku berhasil. Aku sengaja menyerang halus, menekan sedikit demi sedikit, agar dia keluar dari persembunyiannya. Dan sekarang, dia sudah mulai melawan.”
Lucas mendengus, meniupkan asap cerutunya. “Kau terdengar puas. Tapi jangan lupa, ini bisa jadi bumerang. Jika dia berani menyentuh bisnis kita, maka balasannya harus lebih keras.”
Omar meletakkan gelasnya hingga menghasilkan bunyi pelan. Tatapannya menusuk, penuh ambisi. “Tenang. Aku ingin dia merasakan bahwa setiap langkahnya akan dibalas dua kali lipat. Biarkan dia sesaat merasa menang, lalu kita remukkan dari arah yang tidak ia duga.”
Lucas terdiam sejenak, lalu tersenyum miring. “Kau benar-benar haus permainan ini, Omar. Tapi aku suka. Katakan, apa langkah berikutnya?”
Omar mencondongkan tubuh, suara rendahnya terdengar seperti desisan ular. “Kita biarkan bisnis kecilnya pincang dulu, jangan serang langsung. Buat semua pintu terlihat tertutup baginya. Tekanan finansial… itu selalu jadi senjata paling mematikan. Tapi yang paling melemahkan adalah... istrinya. Zayn akan kehilangan kesabaran lebih cepat dari yang kau kira.”
Lucas menyeringai, mengangguk setuju. “Jika begitu, mari kita lihat seberapa lama dia bisa menahan dirinya.”
Mereka saling mengangkat gelas, seolah sedang merayakan awal dari perang dingin yang baru saja berubah menjadi lebih serius.
*****
Pagi Hari di Kediaman Zayn
Cahaya matahari menembus jendela besar ruang makan. Pagi itu, suasana tenang. Bima sedang asyik memberi makan anak kucing barunya bersama Juna di taman belakang, sementara Alisha duduk di meja makan, sesekali melirik ponselnya. Zayn baru saja selesai menyesap kopi hitam buatan istrinya, siap berangkat ke kantor.
Namun ketenangan itu pecah seketika. Ponsel Alisha berdering panjang. Ia melihat nama kontak dari kampungnya, dengan dahi mengernyit. Awalnya ia menjawab biasa, “Halo, Bu Mayang?” —tetangga dekat rumah ibunya.
“Alisha…” suara di seberang terdengar panik. “Kau bisa pulang dulu?… Ibumu barusan kecelakaan. Tabrak lari. Sekarang sudah di bawa ke rumah sakit, tapi… beliau belum sadar!”
Wajah Alisha seketika pucat. Kursi yang ia duduki bergeser keras saat ia bangkit, tangannya gemetar memegang ponsel.
“Ap—apa maksudnya, Bu? Tabrak lari? Ibu… ibu saya bagaimana sekarang?” suaranya parau, nyaris pecah.
Zayn yang memperhatikan langsung menoleh cepat, ekspresi serius menggantikan ketenangan pagi tadi. Ia berdiri, menghampiri Alisha, mencoba mendengar isi telepon.
Tangis Alisha pecah tanpa bisa ditahan. “Tidak… tidak mungkin… Ibu saya…” Tubuhnya limbung, nyaris jatuh jika saja Zayn tidak sigap memeluknya.
“Tenang, sayang… tenang dulu…” suara Zayn dalam, menahan amarah yang mendidih di dadanya. Ia menatap Arvin yang baru saja masuk, memberi kode.
Arvin mengangguk cepat, sudah paham apa yang harus dilakukan: menyiapkan perjalanan darurat.
Alisha terus menangis, wajahnya tenggelam di dada Zayn. “Zayn… Ibu belum sadar… aku takut… aku takut sekali…”
Zayn mengusap punggungnya, meski dalam benaknya badai sudah mengguncang. Ini bukan kebetulan. Tidak mungkin kebetulan. Mereka menyerang lewat ibunya Alisha.
Rahangnya mengeras, matanya berkilat dingin. Tapi suaranya tetap lembut ketika bicara pada istrinya. “Dengar aku, sayang. Kita akan ke sana sekarang juga. Aku janji, kau tidak akan menghadapi ini sendirian. Aku akan bawa semua pengawalan. Kita akan temui ibumu.”
Alisha hanya bisa mengangguk di pelukannya, tangisnya semakin pecah, sementara Bima dari taman menoleh bingung ketika mendengar suara kakaknya menangis keras.
.....
Suasana rumah yang tadi tenang kini dipenuhi isak tangis dan hiruk-pikuk persiapan darurat. Para pengawal bergegas, Arvin sudah menyiapkan mobil lapis baja. Zayn memeluk Alisha erat, seakan berusaha memindahkan seluruh kekuatannya untuk menopang hati yang retak itu.
Namun di balik pelukannya, Zayn bersumpah dalam hati. Omar, Lucas… kalian sudah melewati batas. Kalian berani menyentuh keluarganya.