Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LELAH
Seharian itu berjalan dengan baik setelah melakukan ospek hari pertama. Adza tampak memakan makanan di kantin dengan intan sambil bercerita ringan.
"Ayah dan Bundaku berterima kasih sekali padamu, Za." intan berkata seraya memakan makanannya.
"Tadinya sebenarnya mereka sangat ingin menemuimu. Tetapi karena mereka harus bekerja jadi mereka tidak sempat untuk turun. Nanti malam mau tidak makan malam bersama kami?"
Adza menelan makanannya lalu menatap intan dengan heran.
"Makan malam dalam rangka apa?" tanyanya kurang paham.
"Berterima kasih pada kamu karena sudah membayarkan biaya kuliahku."
Adza tersenyum mendengarnya lalu menghela napas.
"Tidak usah repot-repot seharusnya, aku melakukan ini untuk kebaikanku juga karena aku malas mencari teman baru. Aku bukan bermaksud lain," ujarnya membuat intan tersenyum.
"Bunda dan Ayah tahu, tetapi karena kamu adalah teman baikku maka mereka juga ingin mengundangmu makan malam. Ayah dan Bunda memaksa lho, Za," ujarnya membuat adza menghela napas dan tersenyum.
"Nanti aku izin sama Gus, semoga Gus izinkan. Kalau Gus izinkan, aku akan datang."
Intan tersenyum dan mengangguk pelan.
"Kalau begitu aku yakin sekali Gus akan izinkan. Gus 'kan sayang dengan kamu, jadi dia tidak akan melakukan hal yang menekanmu."
Adza tersenyum dan mengangguk pelan.
"Tetapi aku harus izin. Gus juga menghubungiku tiga kali sehari, sudah seperti makan obat," ujarnya membuat intan terkekeh.
"Aku iri sekali," gumamnya menggoda membuat adza tersenyum dan menatapnya.
"Sekarang aku sedang menabung, za. Aku juga pengen jalan-jalan ke Madinah. Mana tahu kamu kesana beberapa bulan ini untuk mendatangi Gus, aku niatnya mau ikut."
Adza tersenyum kecil. "Ustadz Farel bagaimana?"
Intan menghela napas.
"Pernikahan diundur, Ustadz Farel sedang melakukan dakwah ke luar kota. Katanya dia akan pulang minggu depan tapi aku tidak tahu apakah hubungan kami akan berjalan lagi atau tidak. Sudah kukatakan sebelumnya kalau, Ustadz Farel mungkin tidak serius," balasnya tanpa semangat.
Membuat adza menghela napasnya mendengar cerita intan.
"Padahal sejak dia melamarku, aku sudah mulai suka dengannya. Tetapi dia menggantungku begini."
Adza menggenggam tangan intan dan tersenyum lembut.
"Kalau jodoh pasti akan datang dan tidak akan kemana. Kamu jangan putus asa dulu, mana tahu setelah pulang dari dakwah, kamu akan dinikahi oleh Ustadz Farel. Siapa yang tahu?" tanyanya hingga intan mengangguk.
"Aku tidak tahu apa salahku kalau misalnya Ustadz Farel malah berubah. Sikapku tidak berlebihan dan juga tidak menjauh. Tetapi Ustadz Farel yang begitu," keluhnya lagi.
"Beberapa santriwati yang dilamar waktu kita masih di pesantren bahkan sudah banyak yang menikah."
"Tetapi aku malah tidak mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan. Apakah mahar yang kuminta terlalu mahal ya?"
"Ntan ... Dengarkan aku," ujar adza membuat intan menarik napasnya dan diam mendengarkan dengan tenang.
"Menikah atau bukan itu juga bukan sebuah masalah atau musibah yang harus kamu hadapi dengan gelisah. Allah akan memberikan semuanya padamu di waktu yang tepat."
"Anggaplah batal pernikahanmu sekarang, tetapi kamu harus tahu kalau rencana Allah ke depannya pasti sangat baik."
"Kamu hanya perlu memperbaiki diri dan fokus pada dirimu, lupakan saja apa yang tidak kamu dapatkan saat ini dan yakin apa yang kamu dapatkan di masa depan adalah hal yang lebih baik."
Intan menghela napas dan mengangguk.
"Aku hanya tidak menduga kalau dia mempermainkanku, dia sangat bagus ketika melamarku kemarin, tidak tahunya zonk. Aku hanya kesal dengan ini," ujar intan yang tak bisa menutupi kesedihannya.
"Aku akan berusaha untuk move on dari sekarang supaya tidak terlihat berharap padanya."
"Aku benci ketika terlihat cinta duluan, laki-laki bisa semena-mena kalau sudah begitu."
Adza tersenyum dan mengeratkan genggaman tangannya.
"Dengar, fokuslah untuk kuliah dulu, oke? Kalau kita memperbaiki diri, InsyaAllah pasti akan dapat yang dua kali lipat lebih baik dibandingkan Ustadz Farel" ujar adza membuat intan mengangguk.
"Jadi aku harus move on?"
"Ya, kalau diperlukan." adza berkata tegas.
"Kamu tidak usah merasa menjadi gadis yang buruk, mungkin aku tidak tepat kalau harus menasehatimu tentang ini karena dulu aku juga pernah berharap ada yang melamarku karena aku ingin sebuah keluarga baru."
"Tetapi untuk kamu, aku sudah menyiapkan satu posisi di perusahaan selama kamu bisa mendapatkan nilai IPK 3 atau 3,5. Jadi lebih bagus kamu fokus saja pada pendidikan. Kamu punya keluarga, Ntan, mungkin Allah ingin kamu menghabiskan dulu waktu dengan orang tuamu. Allah akan mengirimkan jodoh di saat yang tepat, percaya padaku."
***
Setelah kelas hari itu, adza pulang. Dia sempat mengantarkan intan walau sahabatnya itu menolak. Tetapi dia mengalasankan ingin tahu dimana rumah intan agar mudah untuk datang kalau ada acara.
Sampai di apartemen, adza melemparkan kunci mobilnya di atas tempat kunci, lalu membuka sepatu dan menghempaskan tubuhnya dengan perlahan di atas sofa.
Lelah, dia merasa dunia universitas terlalu melelahkan.
Berbeda dengan di pesantren yang pembelajarannya jauh lebih ringan. Di universitas, tentu saja tingkatannya jauh lebih sulit apalagi dia harus mendapatkan nilai yang lebih sebagai seorang calon pemimpin.
Adza tidak mendapatkan kemudahan dalam hal ini, dia selalu kesulitan dan butuh sandaran, hanya saja dia tidak menemukan dan memilikinya.
Orang tuanya meninggal dunia, suaminya jauh, sahabatnya tidak mungkin dia Bebani dengan bebannya sendiri. Menarik napasnya beberapa kali, adza memejamkan mata sambil bersandar di sofa.
Hari pertama di Universitas saja dia sudah merasa sangat lelah, dia akan menghabiskan waktu paling sedikit empat tahun disana untuk strata satu, belum strata selanjutnya.
"Ya Allah ... Kuatkan aku," gumamnya seraya menghela napas beberapa kali.
Dia ingin menangis tapi rasanya tidak bersyukur sekali.
Banyak orang yang tidak bisa kuliah di luar sana, banyak orang yang tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman sepertinya.
Namun, adza sungguhan merasa sangat lelah, ingin bersandar sebentar padahal ini hanya hari pertama.
Suara dering ponselnya terdengar membuat adza mengeluarkannya dari tas.
"Hai, Za ..."
"Sudah makan?"
Jika kalian menganggap itu Azka, itu salah. Yang baru saja mengirimnya pesan adalah Faiz, pria itu mendapatkan nomornya entah dari siapa tapi adza sudah menandainya dan dia tidak akan mempedulikannya.
Dia sedang lelah, lalu pesan yang dikirimkan oleh Faiz menambah kelelahan di dalam hatinya.
Drrtt...
Itu bukan pesan melainkan panggilan, adza menatap ponselnya dengan jengah tapi gagal dia lakukan ketika melihat nama yang ada di sana. Azka...
Senyumnya muncul tanpa diminta, dia mengangkatnya setelah menarik napas, lalu tak lama dia mendengar suara yang entah mengapa menenangkan hatinya.
"Assalamualaikum, Za?"
Percayalah, walau Azka jauh tapi dari suaranya saja adza bisa merasakan ketenangan seolah dia baru didekap erat oleh tubuh hangat pria itu.
"Waalaikumussalam Warahmatullah. Aku senang Gus menelepon, saatnya tepat sekali," ujarnya lirih seolah mengadu, membuat Azka menaikkan alisnya.
"Kamu kenapa?"tanyanya lembut membuat adza menghembuskan napasnya panjang.
"Sedang sedih, hmm? Coba cerita, ada apa? Aku akan dengarkan."