Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Cerai, Pak
Berbeda dengan kelahiran yang pertama, kali ini Nira bisa menentukan kapan waktunya melahirkan. Tentu sudah berkonsultasi dengan Dokter Ratna yang akan menangani kelahirannya, sore ini, Nira sudah berada di dalam sebuah ruangan. Ia sudah berganti baju dengan baju rumah sakit.
Mardi dan Sinta ada di sana setelah Nira menelepon bahwa ia akan melahirkan hari ini.
“Yang tenang ya, Nak. Semua pasti akan baik-baik aja,” Sinta berucap sembari mengelus rambut Nira.
Nira tersenyum hangat, menatap Ibu dan Bapaknya bergantian. Rasanya senang juga haru karena didampingi oleh kedua orang tuanya.
“Riki masih di jalan?” tanya Mardi.
Nira mengedikkan bahunya,” Nggak tahu, Pak. Yang pasti dia udah tahu kalau aku melahirkan hari ini.”
Mardi mengernyitkan dahi. Jawaban Nira terasa ganjil.
“Mungkin kerjaannya belum beres,” sahut Sinta mengedipkan kedua matanya pada Mardi, kode bahwa ini bukan saatnya bertanya apapun kecuali tentang proses melahirkan Nira yang akan dilakukan sebentar lagi.
Seorang perawat masuk, memberitahukan bahwa Nira sudah saatnya masuk ruang operasi. Sinta mengggenggam tangan Nira, menguatkan. Mardi mengelus pucuk kepala Nira, tersenyum hangat, walau jelas khawatir karena putrinya akan berjuang di dalam sana.
Mardi dan Sinta ikut mengantar Nira sampai di depan ruang operasi. Mereka menunggu di kursi tunggu. Mardi terdiam. Sinta terus menguntai doa agar anak dan cucunya sehat, selamat, tak kurang suatu apapun.
“Bu, coba telepon Riki. Istrinya sudah masuk ruang operasi, tapi dia belum ke sini,” ujar Mardi menoleh pada Sinta.
Sinta mengangguk, mengambil ponsel, melakukan panggilan pada menantunya.
“Nggak diangkat, Pak.”
“Coba lagi.”
Sinta mengangguk. Mengulang panggilan, lalu menggeleng. Mardi menghela napas panjang.
“Apa mereka ada masalah?” gumam Mardi pelan, namun masih bisa di dengar Sinta.
“Jangan berpikir yang bukan-bukan, Pak. Mungkin Riki emang masih di tempat kerjanya.”
“Sesibuk apapun dia saat ini, kalau udah tahu istrinya akan melahirkan hari ini, harusnya dia hadir. Ngasih semangat buat istrinya. Bukan malah nggak ada kabar kayak gini. Nira juga tadi kelihatan kayak nggak peduli.”
Sinta terdiam. Ia memang selalu berpikir positif walau ia juga melihat ada yang janggal dari pernikahan Nira dan Riki. Kalaupun mereka ada masalah, Sinta tak ingin ikut campur karena menghargai mereka. Kecuali jika mereka meminta bantuannya.
Hingga Nira selesai operasi dan di bawa ke ruangan, Riki masih belum terlihat batang hidungnya. Mardi memperhatikan Nira yang sedang menimang anak keduanya. Nira terlihat biasa saja walau Riki tak mendampinginya. Tentu saja Mardi jadi berpikir bahwa mungkin saja antara Nira dan Riki ada masalah yang belum selesai hingga saat ini.
“Kamu udah siapin namanya, Nak?” tanya Sinta mengambil alih cucu keduanya dari pangkuan Nira agar Nira bisa beristirahat.
“Udah, Bu. Alvino Nimarta,” jawab Nira menatap bayi kecilnya.
Sinta mengangguk. Mardi ikut tersenyum, melihat cucu keduanya yang tengah digendong istrinya.
Pintu ruangan dibuka. Nira, Mardi, dan Sinta menoleh ke arah pintu. Riki tersenyum, berjalan mendekat, menyalami tangan kedua mertuanya, lalu mendekati Nira dan mengecup keningnya singkat.
“Maaf, Sayang. Aku baru sampai. Aku udah berusaha pulang cepat, tapi mendadak bos ngadain meeting di jam terakhir,” ucap Riki lembut.
Nira mengangguk. Tak menanggapi. Riki lantas mengalihkan pandang pada kedua mertuanya lalu pada bayi kecil yang digendong Sinta.
“Cuci tangan dulu, Rik. Kamu habis dari luar ‘kan?” Sinta sedikit menjauhkan Alvin saat Riki hendak menggendongnya.
Riki nyengir. Ia lantas melangkah ke dalam kamar mandi. Mardi memperhatikan interaksi Nira dan Riki. Mardi semakin yakin, ada masalah diantara mereka.
“Jadi kamu kasih nama Alvin, Sayang?” Riki bertanya sambil menggendong bayinya.
Mardi dan Sinta ijin ke kantin rumah sakit, membeli makanan dan minuman. Sehingga di ruangan itu hanya ada mereka bertiga.
“Jadi,” angguk Nira acuh.
Riki menghela napas. Duduk di kursi sebelah ranjang dan menatap Nira lekat.
“Nira, ayolah. Aku udah bilang akan memperbaiki semuanya. Tolong percaya aku. Jangan cuek begini. Nanti kalau Bapak dan Ibu curiga gimana?” Riki berkata pelan, sambil melirik pintu beberapa kali takut jika kedua mertuanya datang.
“Kamu mau gimana lagi? Kamu pikir dengan ngajak aku jalan-jalan kemarin, terus sikapmu yang membaik akhir-akhir ini membuatku lupa dengan apa yang kamu lakukan sama aku sebelumnya?” Nira balik bertanya. Nadanya rendah, hampir tak ada emosi, hanya saja lelah.
“Kita baru aja dikasih anak kedua loh, Sayang. Masa hubungan kita kayak gini?”
“Kamu yang bikin aku kayak gini.”
Riki hendak berucap lagi, tapi pintu ruangan dibuka dari luar. Ucapan Riki tertelan kembali. Ia melemparkan senyum ramahnya, seolah tak terjadi apa-apa.
“Ibu bawain kamu makanan, Rik. Makan dulu gih,” ucap Sinta menyodorkan plastik putih pada Riki.
Riki menyerahkan Alvin ke Nira lalu menerima bungkusan makanan dari Sinta.
“Aku mau makan di kantin aja, Bu. Sekalian mau beli teh hangat. Eum, kamu mau titip apa, Sayang?” Riki bertanya, menoleh pada Nira.
Nira menggeleng tanpa menoleh. Ia fokus melihat putranya. Riki mengangguk, tersenyum samar lalu keluar dari sana.
Mardi dan Sinta hanya bisa saling pandang dan menghela napas.
***
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit, Nira akhirnya bisa pulang membawa anak keduanya. Karena berat badan Alvin yang kurang, Dokter Ratna meminta Nira untuk memberikan susu formula penambah berat badan. Sebenarnya, rumah sakit tak memperbolehkan Alvin pulang jika berat badannya belum di angka normal. Tapi, Nira bersikukuh ingin Alvin pulang bersamanya.
Mengingat Nira adalah perawat di rumah sakit itu, maka peraturan rumah sakit itu bisa dilonggarkan tapi dengan catatan. Nira juga berusaha untuk memberikan apa yang dibutuhkan Alvin agar saat kontrol dua minggu lagi, berat badan Alvin sudah di angka normal.
Riki yang menyetir, mengemudi dengan pelan karena takut goncangan mobil membuat perut bawah Nira yang dijahit untuk mengeluarkan anak kedua mereka terasa sakit.
Sepanjang jalan, Nira hanya mengobrol dengan Bapak dan Ibunya. Sesekali Riki menimpali, tapi tak ditanggapi lagi oleh Nira. Bahkan Nira mengalihkan pembicaraan. Riki tersenyum kecut. Sikap Nira sudah sangat terang-terangan dalam memusuhinya.
Sampai rumah, Mbak Dewi menyambut mereka dengan menggendong Arsa. Mardi dan Sinta tersenyum ramah, bertanya satu dua hal pada Mbak Dewi. Sinta menggendong Alvin, masuk ke dalam rumah bersama Mardi, lalu disusul Mbak Dewi dan Arsa.
Riki membantu Nira turun. Tapi, Nira menolak, menepis, tak ingin dibantu. Riki menghela napas panjang, berusaha lebih sabar lagi karena dari kemarin-kemarin Nira terus acuh padanya.
Interaksi Nira dan Riki terus diperhatikan oleh Mardi. Ingin bertanya, tapi Sinta selalu melarang dan mengatakan belum waktunya bertanya. Maka, Mardi menurut walau tak nyaman dengan keadaan seperti ini. Mereka serumah tapi tak hangat. Ditambah sebuah fakta yang baru Mardi dan Sinta ketahui dari Mbak Dewi yang keceplosan bicara bahwa Nira dan Riki sudah lama pisah kamar.
Pagi harinya, Nira bangun kesiangan. Dengan perlahan, ia melangkah ke kamar mandi, lalu keluar kamar.
“Udah bangun, Nak?”
Nira menoleh. Mardi duduk di kursi teras, tersenyum lembut padanya.
“Riki udah berangkat kerja, Pak?” tanya Nira ikut duduk di sebelah Mardi.
“Udah. Kamu nggak dipamitin?”
Nira menggeleng.
“Nira, Bapak perhatikan kalian seperti ada masalah. Apa benar?” Mardi tak kuasa menahan rasa penasarannya pada hubungan Nira dan Riki.
“Kelihatan banget ya, Pak?” Nira balik bertanya. Matanya menatap ke depan.
“Kalau ada masalah, segera selesaikan, Nak. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Takutnya jadi masalah besar yang sulit menemukan jalan keluarnya.” Mardi berkata lembut. Nada suaranya juga santai.
“Masalahnya sudah membesar sejak dulu, Pak.”
Mardi menoleh. Seketika ia melihat wajah Nira yang lelah. Bukan lelah karena melahirkan atau begadang mengurus Alvin. Tapi lelah karena tekanan batin.
Nira menoleh, tersenyum getir, menatap Mardi dengan mata nanar.
“Aku ingin cerai, Pak.”