"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam ini benar-benar terasa sangat menyenangkan. Rasanya selama hidup belum pernah se-senang malam ini. Padahal pasti pernah mengalami rasa senang yang juga luar biasa sebelumnya. Banyak hal-hal menyenangkan yang sudah terjadi dalam hidup, dan itu tidak boleh dinafikan. Tapi, rasa senang di malam ini, terasa lebih "sesuatu".
Bersama orang-orang sefrekuensi dalam satu harmoni rasa. Bebas berekpresi tanpa terhalang sekat yang kadang ada, dan tak kasat mata. Mengeluarkan kata-kata yang sesuai isi hati, tanpa perlu menyediakan banyak filter yang terkadang membebani diri.
Itu rasa senang yang mereka dapati bersama, di acara ulang tahun Diandra malam ini.
Acara ulang tahun yang tak diisi dengan seremonial seperti biasanya. Melainkan hanya menjadi momen berkumpul dengan orang-orang dekat. Serta doa menjadi kado terindah yang didapat.
"Lu bawa pekerjaan ke sini?" Entah dari mana arah datangnya, tau-tau Diandra sudah duduk di depan Zian dan langsung mendamprat.
Setelah doa bersama, dan sedikit menjejali perut dengan makanan kesukaannya, Zian memang menyisih dari barisan. Terutama setelah tunangan Diandra datang, para undangan membuat kelompok sendiri dengan aneka topik perbincangan ringan.
Kinara memilih mengobrol dengan Aira, Dira, dan Yumna. Sementara Zian melipir mencari tempat duduk ternyaman--versinya--lalu duduk dengan tablet pintar di tangan.
Sedangkan sang empunya hajat--Diandra-- diberi privasi untuk berbicara dengan sang calon suami. Ternyata kini ia malah duduk di dekat Zian dan memasang wajah cemberut dengan tatapan tidak senang.
"Siapa yang kerja? Gue lagi chatan sama mantan," sahut Zian asal, tanpa sedikit pun alihkan pandangan dari layar Ipad berlogo buah dengan layar 11 cm itu.
"Di ultah gue, gak ada yang boleh sibuk dengan pekerjaan. Semua harus happy," kata Diandra lagi, tangannya terulur hendak merampas tablet pintar di tangan Zian.
"Elah." Zian cepat mengelak. "Gue happy. Apalagi liat lu berantem ama calon laki," ucapnya dengan tatapan meledek.
"Itu tanda sayang. Yang belum punya pasangan mana ngerti," elak Diandra. Padahal Zian melihat dengan jelas kalau situasi keduanya sedang tidak baik-baik saja. Bahkan tunangan Di sudah meninggalkan acara, usai berpamitan singkat pada Zian.
"Lu selingkuh?" tuding Zian langsung. Tatapannya kini berubah menyelidik.
Diandra mengibaskan tangannya acuh.
"Nuduh gue tanpa bukti, dosa Lu."
"Gue nanya, bukan nuduh."
"Tapi tatapan elu lain, buntut." Diandra menghela napas kesal. Tapi sesaat kemudian dia kibaskan tangannya seraya hempaskan punggung ke sandaran kursi.
"Dah lah. Di hari bahagia gue, gue gak mau ngomongin hal yang gak penting. Justru gue mau nyelametin, Elu."
"Nyelametin apa? Gue gak lagi dalam bahaya." Zian kembali arahkan tatapan pada tablet pintar yang hendak dirampas oleh Diandra barusan.
"Nyelametin elu dari kebingungan. Buat acara pelantikan lu sebagai GM besok, lu mau ajak siapa, Aira, Yumna, atau Dira."
Zian terdongak sebentar menatap Di. Ada kerut halus di antara kedua alisnya, tanda dia juga tengah berpikir. Namun, hanya sesaat si tampan ini berada dalam mode seperti kebingungan. Selanjutnya wajahnya kembali pada mode tenang, seakan tak pernah punya beban.
"Gue mau ajak kak Na," ujarnya santai.
"Mana bisa. Gak boleh sama bang Alfian. Yang harus diajak itu, istri, atau calon istri. Bukan kakak ipar." Itu ucapan Kinara. Ia datang bergabung lalu duduk di antara Zian dan Diandra.
"Peraturan dari mana?"
"Dari Tanujaya Corp." Di menyebut nama perusahaan tempat Zian bekerja.
"Mau kami bantu untuk menentukan pendamping yang kamu inginkan?" Kinara menawarkan sambil tersenyum lembut.
"Untuk mendampingiku ke pelantikan besok?"
"Bukan hanya itu. Tapi untuk jadi pendamping seumur hidup seorang Zian Ali Faradis." Kali ini Diandra yang mengambil alih menjawab.
"Wahh. Sepupu dan kakak ipar gue, alih profesi jadi peramal sekarang." Zian tergelak. Tapi terus terang saja dia merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh dua orang saudara dekatnya itu.
"Tidak. Kami bukan meramal, tapi menilai dari sikap dan caramu sendiri, Zian. Hanya mungkin kamu belum sadar."
Ucapan Kinara membuat Zian terdiam.
Kalau Diandra saja yang bicara, mungkin masih bisa ia anggap konyol. Tapi, ini Kinara. Kakak iparnya yang sudah ia anggap saudara kandung. Bahkan Zian lebih dekat dengan Kinara dari pada Alfian--abangnya sendiri.
Jika kinara sudah turun tangan bicara sesuatu, maka pasti itu murni sebuah penilaian objektif. Bukan hanya sebatas asumsi pribadi yang tak disertai fakta yang
Konkrit.
"Ada waktu kan untuk mendengarkan penilaian kami?" Kinara bertanya sambil tersenyum.
Zian tak memberikan jawaban. Tapi raut wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Ia menanti apa yang akan dilakukan Kinara dan Diandra, meski tak dicetuskan dalam sebentuk kata.
Melihat itu Kinara saling tatap dengan Diandra dan saling bertukar senyum.
"Azaira Mahrin."
"Apa?" Zian nyata terlihat kaget, saat Kinara menyebut nama itu.
"Seluruh love language kamu tertuju padanya." Kinara menambahkan ucapan.
Zian menggeleng pelan. Menggeleng dengan gerakan asal. Entah apa maksud dari gelengan kepala yang tak dilakukan dengan tenaga utuh itu.
"Lima macam love language kamu libas semua untuk Aira." Masih Kinara yang bicara sambil menyematkan senyum melihat Zian yang nampak sedang berpikir keras.
"Kak Na, sepertinya kita perlu jabarkan satu demi satu. Biar sepupuku yang paling ganteng ini sadar dengan apa yang dia rasa sebenarnya." Itu usul Diandra yang ditanggapi anggukan setuju oleh Kinara.
Words of affirmation.
--------------------------------
Saat itu, kinara baru tiba di tempat acara ulang tahunnya Diandra. Aira mengenalkannya pada Yumna--yang saat itu juga telah tiba--dan Dira. Kinara yang ramah, dan mudah akrab langsung terlihat dekat juga dengan kedua gadis itu sebagaimana terhadap Aira.
Saat ada waktu bicara berdua saja dengan Aira, Kinara membicarakan tentang progres novel yang sedang digarap.
"Aku sudah siapin cover untuk calon novel yang akan lahir ini," kata Kinara antusias.
"Benarkah?" Aira terlihat lebih antusias lagi.
"Iya. Nanti aku kirim di WA. Kamu boleh request jika merasa ada yang kurang sesuai, atau perlu ditambahkan sesuatu hal."
"Wahh terima kasih banyak ya." Aira terlihat begitu senang, hal itu tampak dari senyumnya yang penuh.
"Jangan sungkan." Kinara tersenyum seraya melirik pada Zian yang menghampiri.
"Bang Alfian telephon. Kak Na mungkin lupa aktifin paket data."
"Masyaallah, iya aku lupa. Sebentar ya," pamit Kinara dan segera menyisih seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.
"Semangat banget. Lagi bahas apa?"
"Tulisan," jawab Aira tanpa menghilangkan senyum manis di wajahnya.
"Progresnya udah sampek mana?"
"35 bab. Waktunya tinggal sepuluh hari lagi. Apa aku bisa ya menyelesaikan sisanya?" Aira tampak sedikit kurang yakin. Meski pun guratan semangat terlihat dari sepasang matanya yang teduh.
"Wahh hebat dong," puji Zian.
"Hebat apanya?" Aira berkerut kening samar. Terlihat tak paham. Bukannya barusan ia mengadu. Tapi Zian justru memuji. Hal apanya yang sedang dipuji.
Pengaduannya barusan? Ah memang agak lain orang ini. Demikian pasti pikir Aira.
"Gue salfok dengan 35 bab yang udah lu tulis. Hanya dalam beberapa hari lu bisa nulis bab sebanyak itu. Ide di kepala lu kayak lintasan balap F1 ya, mulus, tanpa hambatan."
"Itu pujian, atau--?" Aira menatap waspada.
"Itu pujian ala Zian Ali Faradis."
Aira nampak kurang puas.
"Gini, Kak Aira. Kalau lu aja bisa nulis 35 bab dalam waktu beberapa hari. Pasti lu juga bisa nulis sampai selesai dalam waktu sepuluh hari. Itu gak mustahil sama sekali. Gue yakin lu pasti bisa."
"Benarkah?" Aira baru terlihat memasang senyum sempurna setelah dijelaskan dengan gamblang oleh Zian.
"Iya. Yakin gue. Semisal lu butuh bantuan, gue ada."
"Bantuan apa?"
"Apa aja yang elu butuh." Zian berucap yakin.
"Makasih ya supportnya. Aku khawatir aja tulisanku gak indah kalau nulisnya terburu-buru."
"Yang nulis aja indah, gimana tulisannya gak bakal indah," ucap Zian. Ucapan yang merangkum pujian.
-------------****-----------
"Itu, kamu masih ingat kan perbincanganmu barusan dengan Aira di sana?" Kinara menunjuk tempat, di mana sekitar setengah jam lalu pembicaraan Zian dengan Aira terjadi di sana.
"Semua yang kamu katakan pada Aira itu berupa ungkapan Apresiasi, pujian personal, support dan motivasi. Itu adalah Words of Affirmation. Satu dari lima love language."
"Masih ada yang perlu disanggah, sepupu tampan?" Diandra sedikit memajukan wajahnya pada Zian sambil memasang tampang menggoda.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat