"Namamu akan ada di setiap doaku,"
"Cinta kadang menyakitkan, namun cinta karena Allah tidak akan pernah mengecewakan"
Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.
Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.
Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Langkah Ning Lydia bergema di lorong asrama putri. Ucapannya tadi pada Dilara terus terpantul di dinding hati semua santri yang menyaksikan. Tak ada satu pun yang berani menahan, apalagi menegur. Aura Ning memang berbeda: ia bukan sekadar santri, bukan sekadar anak ustadz, ia adalah “putri mahkota” pondok sebelum kabar pertunangan batal itu pecah.
Dan malam itu, saat pintu asrama sudah tertutup rapat, bisikan mulai beredar.
“Ya Allah… Ning Lydia marah sekali sama Dilara…”
“Aku takut, jangan-jangan Ning akan benar-benar menyingkirkan Dilara dari pondok…”
“Kalau sampai begitu, kasihan sekali Lara. Dia sudah sakit, masih harus menanggung beban sebesar itu…”
“Shh, jangan keras-keras. Kalau sampai kedengaran, bisa bahaya.”
Bisikan-bisikan itu menambah gelisah santri lain, tapi bagi Lydia, justru menjadi bahan bakar. Setiap ia mendengar namanya disebut beriringan dengan nama Dilara, darahnya mendidih.
Di kamar tamu, Lydia berdiri di depan cermin besar. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai. Matanya bengkak karena tangis, tapi di balik itu, ada bara yang menyala-nyala. Ia bahkan meminta pada kyai Zainal untuk tinggal sementara waktu di pondok pesantren ini. Dan kyai Zainal mengijinkan karena ia merasa bersalah.
“Dilara… kau kira kau bisa hidup tenang setelah merebut segalanya dariku?” ia bergumam, menatap bayangan dirinya sendiri. “Tidak. Kau harus tahu rasanya menjadi aku. Kau harus merasakan bagaimana harga dirimu diinjak-injak.”
Ia menggenggam sisir kayu di tangannya begitu kuat, hingga gigi-giginya patah.
Di belakangnya, ustadz Yusuf masuk dengan langkah tenang. “Lydia, kamu belum tidur?”
“Tidak bisa, Yah.” Suaranya serak, tapi tegas. “Aku terus teringat wajahnya. Perempuan itu, santri bernama Dilara. Ayah tahu? Dia bahkan tidak berani menatap mataku. Tapi justru itu yang membuatku muak. Dia berpura-pura lemah, pura-pura polos. Padahal dialah biang kehancuran ini.”
Ustadz Yusuf menarik kursi, duduk di hadapan putrinya. “Ayah sudah bilang, kita tidak boleh hanya menilai dari wajah. Kita harus cari tahu siapa Dilara sebenarnya. Kalau ia memang perempuan baik-baik, kenapa harus takut? Tapi kalau ternyata ada aib yang disembunyikan, maka tugas kita menyingkapnya. Agar semua tahu, Gus Zizan telah tersesat memilihnya.”
“Ya, Yah.” Mata Lydia berkilat. “Bantu aku. Aku tidak akan tenang sebelum tahu asal-usulnya. Aku ingin semua orang berhenti memujinya. Aku ingin mereka sadar, dia bukan siapa-siapa.”
Ustadz Yusuf mengangguk. “Besok, Ayah akan perintahkan orang untuk menyelidiki keluarganya. Kamu bersabarlah.”
Sementara itu, di kamar asrama, Dilara masih terisak dalam pelukan Salsa. Tubuhnya bergetar hebat, seakan ucapannya sendiri menusuk lebih dalam dari sakit fisik yang pernah ia rasakan.
“Salsa… bagaimana ini?” lirihnya. “Ning Lydia membenciku. Aku tidak bisa berhadapan dengan tatapan seperti itu. Aku benar-benar takut.”
Salsa mengusap punggungnya lembut. “Lara, dengarkan aku. Kau tidak bersalah. Kau hanya mencintai seseorang dengan tulus. Kau tidak pernah bermaksud menghancurkan siapa pun.”
“Tapi lihatlah…” suara Dilara pecah. “Gus Zizan diusir, pondok terpecah, Ning Lydia dipermalukan… semua gara-gara aku. Aku yang menjadi sebab.”
Salsa menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “Kalau kamu benar-benar yakin begitu, kenapa Gus Zizan memilihmu dengan penuh tekad? Ka.u pikir dia tidak tahu risikonya? Dia tahu, Lara. Dia tahu segalanya, tapi tetap memilihmu. Itu bukan salahmu, itu keputusannya.”
Dilara terdiam. Tapi dalam hatinya, rasa bersalah itu tak kunjung reda. Dan ia tidak tahu, bahwa di luar sana ada orang yang siap menggali luka lebih dalam lagi.
Keesokan harinya, beberapa ustadz muda duduk di serambi mushala, berbincang pelan.
“Apa benar Gus Zizan rela kehilangan pondok hanya karena Dilara?”
“Aku mendengar begitu. Katanya Dilara itu santri yang sangat taat. Mungkin itulah yang membuat Gus terpikat.”
“Tapi ada juga kabar lain… katanya keluarga Dilara tidak jelas. Ada yang bilang ayahnya pedagang kecil, ada yang bilang pernah terjerat hutang…”
“Na’udzubillah. Jangan sebarkan kabar tanpa kepastian.”
Tapi sekali fitnah dilontarkan, ia menempel seperti duri. Bisikan itu menyebar cepat di telinga santri lain.
Dan di ndalem, kabar itu sampai ke telinga Lydia. Ia tersenyum miring saat mendengarnya.
“Ayah…” katanya kepada ustadz Yusuf. “Kabar itu pasti benar. Tidak mungkin seorang santri biasa seperti Dilara bersih dari cela. Aku ingin Ayah buktikan. Aku ingin semua orang tahu siapa dia.”
Hari berikutnya, ustadz Yusuf mengutus seorang santri senior, Karim, untuk diam-diam mencari tahu asal-usul Dilara.
“Pergilah ke kampungnya,” perintahnya. “Cari tahu siapa keluarganya, apa pekerjaannya, apa aib yang pernah mereka lakukan. Bawakan semua kabar itu padaku.”
Karim mengangguk patuh. “Baik, Ustadz.”
Berbekal sebuah alamat, yang di ambil di buku santri, Karim pergi ke kampung halaman tempat tinggal Dilara. Perjalanan ke kampung asal Dilara tidaklah mudah. Karim harus bertanya diam-diam pada beberapa tetua desa, mendatangi mushala, bahkan mendengar bisikan tetangga.
Hasilnya? Ia memang menemukan bahwa paman Dilara hanyalah seorang pedagang kecil di pasar, seringkali bangkrut dan terlilit hutang. Bibinya sering sakit-sakitan. Tidak ada kehormatan besar, tidak ada nama mentereng, apalagi darah ulama.
Ketika laporan itu kembali ke tangan ustadz Yusuf, ia langsung tersenyum puas. “Inilah yang kucari.”
Ia membawa kabar itu kepada Lydia. “Anakku, benar dugaanku. Dilara hanyalah anak pedagang miskin. Tidak ada darah ulama, tidak ada kemuliaan garis keturunan. Dia bukan tandinganmu.”
Mata Lydia berbinar. “Bagus, Ayah. Sekarang tinggal kita sebarkan pada semua orang. Biar mereka tahu, Gus Zizan telah buta karena cinta. Ia rela meninggalkan pondok demi anak seorang pedagang kecil.”
Kabar itu segera beredar. Awalnya hanya di kalangan ustadz senior, lalu merembes ke telinga para santri.
“Katanya, ayah Dilara hanya pedagang pasar.”
“Masa? Jadi benar, tidak sepadan dengan Gus Zizan?”
“Pantas saja Kyai Zainal marah. Mana mungkin pewaris pondok menikah dengan anak pedagang kecil?”
“Ya Allah, kasihan Gus Zizan. Dia buta karena cinta.”
Dilara mendengar kabar itu pertama kali dari seorang santri yang tak sengaja berbisik di depan pintunya. Wajahnya pucat seketika.
“Salsa… apa yang mereka bicarakan? Tentang keluargaku?”
Salsa menggenggam tangannya. “Jangan dengarkan mereka, Lara. Mereka hanya iri. Kau tahu siapa dirimu. Kau tidak harus membuktikan apa-apa.”
Tapi air mata Dilara jatuh juga. Ia merasa malu, merasa hina, merasa seluruh pondok kini menatapnya dengan pandangan merendahkan.
Di kamarnya, Ning Lydia kembali menatap cermin. Kali ini senyum puas terlukis di wajahnya.
“Dilara… lihatlah. Satu demi satu, topengmu terbuka. Santri lain mulai tahu siapa kau sebenarnya. Kau bukan Ning, kau bukan putri ulama, kau hanya anak pedagang miskin. Kau tidak layak berdiri sejajar denganku.”
Ia menutup matanya, membiarkan senyum dingin itu melebar. “Tapi ini belum cukup. Aku tidak akan berhenti hanya di sini. Aku ingin kau hancur. Aku ingin kau sendiri yang menyerah, meninggalkan pondok dengan hina. Barulah hatiku puas.”
Namun, tidak semua orang setuju dengan fitnah yang beredar. Ustadz Rahman, yang sejak awal membela Gus Zizan, memanggil beberapa ustadz muda dan santri senior.
“Kita harus hati-hati. Aku mencium ada yang tidak beres,” katanya serius. “Fitnah tentang keluarga Dilara terlalu cepat menyebar. Seakan-akan ada yang sengaja menyebarkan.”
“Tapi Ustadz,” salah satu santri menimpali, “bukankah itu benar? Paman Dilara memang pedagang kecil.”
“Lalu kenapa?” Ustadz Rahman menatap tajam. “Sejak kapan kemuliaan ditentukan oleh darah dan harta? Bukankah Rasulullah sendiri menikah bukan dengan Ning atau anak kyai? Bukankah yang terpenting adalah akhlak dan iman?”
Ruangan hening. Kata-katanya menampar hati semua yang hadir.
“Tapi…” santri itu ragu. “Bagaimana dengan keputusan Kyai Zainal?”
“Kita tidak sedang membangkang,” jawab Ustadz Rahman. “Kita hanya menjaga agar fitnah tidak membunuh seorang santri yang tidak berdosa. Ingat, fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.”
Malam itu, Dilara duduk sendiri di mushala kecil asrama. Sajadah terbentang, air matanya membasahi pipi.
“Ya Allah… apakah aku pantas berada di sini? Aku tidak ingin menjadi sebab perpecahan. Aku tidak ingin Gus Zizan kehilangan segalanya. Jika memang kepergianku bisa menyelamatkan semua… tunjukkan jalannya padaku.”
Tubuhnya bergetar hebat. Ia benar-benar di persimpangan antara bertahan dengan segala hinaan, atau pergi diam-diam demi menenangkan keadaan.
Dan di balik pintu mushala, ada seseorang yang mendengarkan tangisnya. Ning Lydia, berdiri dalam diam, matanya menyala penuh amarah.
“Bagus, Dilara,” gumamnya pelan. “Menangislah. Hancurlah. Semakin kau lemah, semakin mudah aku menjatuhkanmu.”