NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Racun dalam senyum

Lojareth berdiri dengan tubuh yang masih bergetar, seolah sisa ketakutan belum sepenuhnya pergi. Kedua tangannya mengepal, wajahnya penuh rasa terharu. “Aku … aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu, Rosella,” ucapnya lirih, suaranya terdengar serak, nyaris patah di ujung. “Jika bukan karena keberanianmu tadi, mungkin … aku sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk menghadiri acara di sini.”

Rosella menatap lelaki itu dengan sorot mata yang tenang, tanpa kesombongan sedikit pun. Bibirnya melengkung tipis, sebuah senyum yang justru terasa lebih kuat daripada kata-kata panjang. Ia menaruh tangannya perlahan di pundak Lojareth, memberi penegasan sederhana namun penuh makna. “Jangan terlalu membebani hatimu dengan rasa terima kasih, Pangeran,” ujarnya dengan suara lembut tapi tegas. “Yang penting sekarang bukanlah apa yang sudah terjadi, melainkan bagaimana kau bertahan setelah ini. Selama kau masih bisa berdiri di hadapanku, selama napasmu masih hangat di dadamu—maka tidak ada seorang pun yang berhak memutuskan akhir jalanmu. Ingat itu.”

Kata-katanya sederhana, tidak dibungkus dengan keagungan yang berlebihan, tapi justru itulah yang menembus hati Lojareth paling dalam. Matanya berkaca-kaca, wajahnya menunduk semakin dalam, seolah berjanji dalam diam pada dirinya sendiri.

Rosella menarik kembali tangannya dengan elegan, lalu mengangguk singkat pada Lojareth sebelum berbalik. Feya dan Lyrra yang sejak tadi berdiri di sisinya ikut mundur satu langkah, kemudian ketiganya bersama-sama meninggalkan tempat itu.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong besar Dreadholt yang dipenuhi kesibukan. Udara terasa penuh wangi bunga lili dan mawar yang sengaja ditebar untuk menyambut para tamu bangsawan. Suara kain sutra berdesir, langkah sepatu menggemakan dentingan halus di lantai marmer yang dipoles licin hingga memantulkan cahaya lampu kristal di atasnya. Para pelayan berlarian dengan nampan perak berisi gelas kristal, sementara di sisi lain, bangsawan bergaun mewah saling bertegur sapa dengan senyum palsu yang tak pernah benar-benar sampai ke mata.

Rosella berjalan dengan tenang, matanya menyapu setiap sudut seolah sedang merekam setiap detail ke dalam benaknya. Tidak ada gerakan yang sia-sia, tatapannya bukan sekadar memandang, melainkan mengamati, menghafal, menandai.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Veyrund. Salah satu jenderal Duke Orion. Lelaki itu berdiri di antara kerumunan, dengan tuxedo hitam yang disetrika rapi, dasi kupu-kupu terikat sempurna di lehernya. Tubuh tegapnya memancarkan wibawa bahkan ketika ia hanya berbincang ringan dengan seorang bangsawan lain. Rambut gelapnya disisir ke belakang, wajahnya tenang, penuh perhitungan.

Rosella berhenti sepersekian detik, membiarkan pandangannya menancap pada sosok itu. Ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, tidak membiarkan wajahnya memancarkan sedikit pun emosi. Namun dalam batinnya, ia sedang menandai wajah itu—merekam setiap garis, setiap detail, seakan memastikan bahwa sosok Veyrund tak akan pernah bisa ia lupakan.

Veyrund sendiri tidak menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Ia sibuk dengan percakapan yang tampak ringan namun penuh kepura-puraan bangsawan. Dan Rosella, tanpa menolehkan wajah terlalu lama, melanjutkan langkahnya.

Namun, langkah itu terhenti lagi.

Seseorang muncul tepat di hadapannya, menghadang jalannya dengan elegan yang dingin. Seorang wanita bergaun navy yang berkilau di bawah cahaya lampu. Gaunnya jatuh dengan potongan mewah, kainnya berat namun terjalin indah mengikuti lekuk tubuh. Di kepalanya, hiasan perak berkilau menghiasi tatanan rambut hitam yang disanggul tinggi—simbol yang tidak mungkin disalahartikan. Itu adalah tanda khas seorang selir istana.

Feya menahan napas, Lyrra menegang, namun Rosella hanya berdiri tegak, membiarkan matanya menelusuri wanita itu dari ujung kepala hingga kaki.

Wanita itu tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah benar-benar hangat. “Oh …,” suaranya lirih, namun cukup menusuk. “Bukankah ini adalah putri pembawa sial itu? Aku hampir tidak percaya aku bisa melihatmu di tempat seperti ini.”

Rosella tetap tenang, hanya menundukkan kepalanya sedikit, seolah menyambut dengan sopan. “Dan anda pasti Selir Marcelline Duvray,” balasnya tenang, suaranya tanpa getar. “Tak kusangka, Dreadholt yang megah ini juga masih punya cukup ruang untuk masa lalu yang … menarik.”

Marcelline tertawa kecil, nada tawanya bagai duri yang dibungkus satin. “Ah, mulutmu ternyata masih sama tajamnya. Aku sempat mengira rumor yang kudengar hanya dilebih-lebihkan. Tapi sekarang aku paham kenapa kau dulu begitu dibenci di Vermont. Lidahmu selalu menjadi racun.”

Feya menunduk, bibirnya bergetar menahan amarah. Lyrra menggenggam erat kain gaunnya, matanya melirik Rosella dengan cemas.

Rosella mengangkat wajahnya sedikit, menatap langsung ke mata Marcelline. “Racun atau tidak, setidaknya aku tidak pernah hidup hanya dengan bergantung pada posisi yang diberikan seorang raja. Aku berdiri di sini dengan kakiku sendiri, bukan karena belas kasihan dari siapa pun.”

Mata Marcelline berkilat tajam. Senyumnya tidak goyah, namun sorot matanya menusuk bagai belati. “Kau boleh berkata begitu sekarang … tapi jangan lupa, Rosella. Ada alasan kenapa darahmu sendiri menolakmu sejak kau dilahirkan.”

Rosella tidak tergerak. Senyumnya samar, dingin, nyaris menantang. “Dan ada alasan kenapa orang-orang seperti Anda harus terus bersembunyi di balik mahkota yang bukan miliknya.”

Hening tegang menyelimuti sekeliling mereka. Waktu serasa berhenti sesaat, membuat Feya dan Lyrra seakan sulit bernapas.

Akhirnya, Marcelline mundur selangkah, gaun navy-nya berayun indah. “Kita lihat saja, Rosella. Dunia ini kecil, dan ingatan lebih tajam dari pedang. Aku yakin kita akan bertemu lagi dalam keadaan yang lebih … menentukan.”

Marcelline menolehkan wajahnya sedikit, tatapan matanya meluncur ke tubuh Rosella dari ujung kepala hingga ke bawah, Seakan sedang menilai sesuatu yang tak layak disentuh. Bibirnya melengkung, membentuk senyum dingin yang lebih mirip cemoohan daripada keramahan.

“Bukankah kau sekarang hanya menjadi pelayan?” suaranya lirih, tapi penuh penekanan, seakan ingin semua orang di sekitar mendengar jelas. “Kalau begitu, tunjukkanlah gunamu. Sajikan teh untukku. Itu memang seharusnya pekerjaanmu, bukan?”

Feya menegang, wajahnya memucat, sementara Lyrra menghela napas pelan namun menahan diri untuk tidak bersuara. Suasana di lorong itu seakan menjadi beku, hanya karena satu kalimat yang meluncur dari mulut selir tua kerajaan Vermont itu.

Rosella tidak menunjukkan tanda tersinggung ataupun goyah. Ia justru menundukkan kepalanya sedikit, senyumnya samar, tipis, namun menyimpan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada kemarahan. Suaranya keluar lembut, nyaris terdengar sopan, namun maknanya menikam dalam-dalam.

“Bukan keinginan saya menolak, Selir Marcelline. Hanya saja … saya khawatir bila anda meminum teh buatan tangan saya, bayi di dalam kandungan anda bisa saja bernasib sama seperti … saat itu.”

Kata-kata itu meluncur tenang, tanpa nada tinggi, namun setiap suku katanya menghantam keras seperti cambuk. Senyum Rosella tetap utuh, matanya menunduk rendah, seolah ia sedang benar-benar berbicara dengan penuh rasa hormat. Namun isi dari ucapannya membuat udara seakan tercekat.

Feya menutup mulutnya cepat, menahan napas ketakutan, sementara Lyrra menggenggam gaunnya kuat-kuat, nyaris merobek kainnya sendiri.

Wajah Marcelline sontak berubah. Senyum yang tadi tipis mendadak kaku, matanya membelalak, lalu menyipit bagai ular yang hendak menyerang. “Lancang kau!” suaranya meledak, menusuk lorong yang semula sunyi. Tangannya terangkat cepat, jari-jarinya mengembang, siap menghantam wajah Rosella dengan tamparan yang penuh amarah.

Namun sebelum tangan itu sempat bergerak lebih dekat, sebuah suara dingin dan berat terdengar, memecah udara dengan wibawa yang tak terbantahkan.

“Aku tidak mengizinkan siapapun menyentuh pelayanku. Tanpa terkecuali.”

Langkah berat menyusul suara itu. Dari ujung lorong, sosok Duke Orion muncul, berjalan dengan langkah tenang namun penuh kuasa. Setiap ayunan kakinya seperti mengguncang lantai marmer yang mereka pijak. Di sampingnya, Grand Duchess berjalan anggun dengan tatapan yang tak kalah tajam, sementara Evelyn mengikuti dengan gaun elegan, pandangannya sedikit ragu namun tetap memperhatikan setiap detail.

Tangan Marcelline membeku di udara. Wajahnya yang tadi dipenuhi amarah kini berubah pucat, tubuhnya kaku seperti patung yang tertangkap basah. Rosella tetap berdiri tenang di tempatnya, tidak sedikit pun bergerak, seolah sejak awal ia tahu siapa yang akan datang menghentikan segalanya.

Orion berhenti tepat di depan mereka. Tatapannya singkat, tajam, dan tanpa kompromi. Pandangan matanya mengunci Marcelline, membuat wanita itu tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Lorong yang tadinya penuh dengan suara langkah pelayan dan percakapan bangsawan kini hening total. Semua seakan menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tangan Marcelline masih menggantung di udara, kaku, seperti tidak percaya keberanian Rosella barusan benar-benar bisa menghancurkan kendali dirinya. Namun suara dingin Orion tadi membuat semua keberanian semu yang ia kumpulkan seketika runtuh. Perlahan tangannya turun, jemarinya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa ia sembunyikan.

Orion menatap lurus ke arahnya, tatapan yang dingin tapi tajam, seakan menembus kulit hingga ke tulang. Suaranya keluar pelan, tapi tiap kata mengandung tekanan yang berat.

“Selir Marcelline Duvray,” ucapnya, tanpa nada ramah sama sekali. “Kau diundang ke Dreadholt untuk menghadiri acara ulang tahun Nenekku. Bukan untuk membuat onar.”

Napas Marcelline tersendat. Senyum yang tadi ia gunakan sebagai topeng sudah benar-benar hilang. Bibirnya bergetar, berusaha menyusun kata, tapi suara Orion belum berhenti.

“Jika bukan karena aku masih menghormati Raja Vermont,” lanjutnya lebih dingin. “Mungkin saat ini kau sudah duduk di ruang bawah tanah Balai Hitam Kekaisaran sebagai tawanan. Ingat baik-baik, Marcelline. Rasa hormatku pada seorang raja tidak berarti kau bisa menari bebas di hadapanku.”

Grand Duchess yang berdiri di sisi Orion hanya mengangkat dagunya sedikit, tatapannya menusuk tajam ke arah Marcelline seakan menegaskan ucapan cucunya. Evelyn di samping mereka menggenggam tangannya sendiri, matanya menatap Rosella dengan ekspresi sulit dibaca—antara lega karena Orion turun tangan, atau gusar karena seorang pelayan bisa menjadi pusat perhatian sebesar ini.

Rosella masih menundukkan kepalanya, senyumnya samar dan nyaris tak terlihat. Ia tidak berkata sepatah kata pun, seakan memilih membiarkan kekuatan kata-kata Orion menjadi perisainya. Namun di balik kelopak matanya yang menunduk, ada kilatan dingin—satu kemenangan kecil yang ia simpan rapat-rapat.

Marcelline akhirnya mengembuskan napas kasar, berusaha meredam harga dirinya yang koyak. “Duke Orion ...,” suaranya lirih, hampir tercekik. “Aku hanya—”

“Cukup.” Orion memotong tanpa memberi ruang. “Aku tidak ingin mendengar alasan apapun. Apalagi dari seseorang yang datang ke tempatku bukan dengan niat baik.”

Keheningan kembali membalut lorong itu. Feya menggenggam lengan Lyrra, seolah ingin memastikan dirinya masih berdiri di dunia nyata, bukan mimpi buruk yang penuh dengan percikan api kebencian.

Marcelline menunduk, tapi dalam sorot matanya yang sempat bertemu dengan Rosella, ada kebencian yang jauh lebih tajam daripada sebelumnya. Ia tidak mengucapkan satu kata lagi, hanya membalikkan tubuhnya dengan langkah kaku, gaun navy-nya berayun dingin menyapu lantai marmer.

Orion belum mengalihkan tatapannya, meski wanita itu sudah menjauh. Sesaat, matanya melirik singkat ke arah Rosella. Pandangan yang hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat jantung Feya berdebar kencang dan Lyrra menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang tidak bisa langsung ditebak, apakah itu amarah, rasa ingin tahu, atau sesuatu yang lain.

Grand Duchess menghela napas perlahan, seolah lelah dengan tontonan yang barusan terjadi. Evelyn, yang sejak tadi hanya terdiam, akhirnya membuka suara lirih. “Grand Duchess ... apakah sebaiknya—”

Namun Orion tiba-tiba berbalik, langkahnya berat dan pasti, tanpa menjawab satu pun pertanyaan. Grand Duchess menatap punggung cucunya itu, lalu kembali mengarahkan pandangannya pada Rosella, seolah ada sesuatu yang hendak ia tanyakan—tapi ditahan untuk saat ini.

Rosella mengangkat wajahnya pelan, menatap sekilas ke arah Marcelline yang sudah menghilang di balik kerumunan. Senyumnya tetap tipis, dingin, dan samar, seolah ia tahu pertempuran baru saja dimulai.

Dan di tengah keheningan yang menggantung itu, hanya satu pertanyaan yang tersisa di udara—apakah ini akan menjadi akhir dari perseteruan kecil mereka, atau justru awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

.

.

.

Bersambung

Kalo dipikir-pikir congornya Rosella nggak kalah nyelekit sama congornya Orion ya, wkwkw🤭

1
yumin kwan
lah.... salah rose sndr, yang ceroboh.... kok Orion yg disalahin... uda baik Orion ga lampiaskan ke rosella
yumin kwan
penasaran..... apa isi surat yg ditulis rosella
yumin kwan
tetap kutunggu💪
yumin kwan
belum tau alurnya akan ke mana.... siapa lagi tuh tokoh barunya??
yumin kwan
Duke... itu cemburu namanya.... jealous....
masak gitu aja ga ngerti 😁
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Dimas Rizky Aditya: di tunggu
total 2 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Dimas Rizky Aditya: author nya lagi galau jadi agak lama the next nya berlanjut ya
total 2 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!