NovelToon NovelToon
CINTA ANTARA DUA AGAMA

CINTA ANTARA DUA AGAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: MUTMAINNAH Innah

Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

Hari pertama sekolah setelah libur panjang, aku ke asrama dulu sebelum bel masuk berbunyi.

"Nayla, gimana?" Aku langsung ditodong Aisyah.

Pasti maksudnya jawaban untuk Pak Rahman.

"Coba tebak," kataku sambil menahan senyum.

Selain umi dan abi, aku juga nggak tega mengecewakan sahabat baikku ini.

"Diterima!" soraknya begitu keras.

Tanganku spontan membekap mulutnya.

"Jangan keras-keras," bisikku.

"Tetapi benar kan?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk dengan melepaskan senyumku. Aisyah meloncat kegirangan sambil memelukku. "Terima kasih, Kak Ipar," ucapnya penuh haru.

"Nggak usah berterima kasih dan nggak perlu manggil kak ipar. Ini tuh belum jelas, sebelum ada khitbah aku nggak ingin ada yang tahu dulu," pintaku dengan nada sedikit bercanda agar tidak terkesan memaksa.

"Iya, iyaaa," sahutnya.

"Oh, iya. Satu lagi, jangan bocorkan pada Pak Rahman dulu, ya," pintaku.

"Tenang, Nay. Aku pun nanti ingin menyaksikan sendiri kamu menyampaikan ini padanya," jawab aisyah.

Bel pun berbunyi. Kami berdua segera turun untuk melakukan upacara bendera yang akan di pimpin oleh Pak Rahman.

Usai upacara diadakan rapat dengan seluruh majelis guru. Saat berjalan ke kantor guru, aku sempat saling beradu pandang dengannya. Aku menganggukkan kepala menyapanya, sementara dia hanya tersenyum tipis saja. Sayangnya ada beberapa orang guru yang sempat melihat dan mungkin mulai curiga denganku. Ditambah lagi karena melihat gelagatku dengan Pak Rahman akhir-akhir ini yang sering bertingkah aneh atau pun salah tingkah.

Aku sampai di ruang guru dan duduk di dekat Aisyah. Aisyah sebenarnya tidak ada meja khusus di kantor karena dia bukan majelis guru. Aisyah di sekolah ini sebagai bendahara yayasan dan pembina asrama.

Kebanggaan tersendiri bagiku bisa dekat dengannya di samping teman-temanku yang bahkan untuk menyapanya saja terkadang mereka segan. Apalagi jika aku jadi menikah dengan Pak Rahman. Pastinya aku akan lebih dihargai di sekolah ini. Tetapi itu bukanlah tujuan, tetapi hanya sekedar pemanis dan pelengkap hubunganku dengan Pak Rahman saja.

Pak Rahman sudah memulai rapat. Sesekali kuintip juga wajah calon suamiku itu. Terlihat Pak Rahman sedikit salah tingkah ketika dengan tidak sengaja kami saling bertatapan.

Untuk pertama kalinya aku mulai senyum-senyum sendiri melihatnya. Apakah kini cinta itu mulai tumbuh? Entahlah. Tetapi kurasa begitu. Ini lebih baik dari pada belajar mencintainya ketika sudah berumah tangga nanti. Ada kekhawatiran bagiku bagaimana jika nanti cinta itu nggak kunjung ada setelah menikah. Dengan perasaan sekarang ini, aku mulai yakin jika benih-benih ini akan bisa menjadi cinta yang lebih nyata.

Materi rapat kali ini hanyalah bekal semangat untuk guru-guru serta mengingatkan lagi tugas guru di awal semester seperti menyiapkan perangkat belajar, pembaruan metode pembelajaran dan pembagian tugas. Tidak sampai satu jam, rapat di tutup dan kembali beraktivitas seperti biasa.

"Nayla, Bang Rahman bertanya, kapan bisa mengobrol?" bisik aisyah.

Itulah salutku padanya. Di depan guru-guru seperti ini dia sangatlah berwibawa.

"Bagaimana jika pulang sekolah saja?" saranku.

"Menurutku juga begitu," sahut aisyah.

Bismillah, deg-degan sekali rasanya. Tak pernah kubayangkan akan menikah di umur yang menurutku masih muda ini, apalagi dengan seseorang yang masih terbilang asing. Tetapi insya Allah, demi mencari ridho-Nya dan menjalankan sunnah, aku siap.

'Selamat tinggal, Jasson. Mungkin benar, kamu tidak akan pernah kembali lagi ke dalam hidupku. Ini semua juga demi umi, abi dan keluarga Pak Rahman. Aku akan jalani ini semua dengan ikhlas dan tulus di jalan-Nya,' gumamku memantapkan hati.

***

Bel pulang berbunyi. Aku masih terduduk di kursi di dalam kantor majelis guru. Keringat dingin mulai bercucuran. Sesak sekali dada ini mengingat sebentar lagi hubunganku dengan Pak Rahman akan di mulai. Berkali-kali kucoba istigfar dan berdoa untuk menenangkan diri.

"Ya ampun, Nayla!" tiba-tiba Aisyah sudah berada di depan pintu. "Kupikir kamu ke mana, ayok," sahutnya berjalan ke arahku sambil menggandeng tanganku.

"Iya, tadi ada beberapa pekerjaan yang harus kubereskan," sahutku.

Memang sebelumnya aku sedang memilih dan memilah buku yang ada di laci untuk kupindahkan ke gudang sekolah karena tak lagi terpakai.

k

"Ayuk." Aku dan Aisyah berjalan beririgan ke kantor yayasan yang berjarak beberapa langkah saja dari kantor guru.

Memasuki ruangan panas itu, terlihat Pak Rahman sudah duduk seperti gelisah dengan tangan sesekali menopang dagu.

Pak Rahman langsung memperbaiki duduknya ketika aku dan Aisyah sampai di ruangannya.

"Bagaimana kabarnya, Bu? Sehat?"

sapanya setelah mempersilahkan duduk.

"Alhamdulillah, Pak. Bapak bagaimana?" Aku pun berbasa-basi.

"Alhamdulillah," sahutnya.

"Bagaimana liburannya?" Tanyanya lagi masih berbasa-basi.

"Hanya wisata sekitar sini saja, Pak. Bapak sendiri?" tanyaku.

"Menghabiskan waktu liburan dengan menamatkan novelmu," ucapnya tersenyum.

Kini Pak Rahman mulai terbuka padaku bahwa dia membaca novelku.

"Wah, sudah tamat?" Tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan. Lalu keheningan terjadi beberapa detik. Aisyah masih menyimpan suaranya. Mungkin dia sudah tidak sabar mendengarku menyampaikan keputusanku pada abangnya.

"Salat istiqarahnya bagaimana? Apakah sudah membuahkan hasil?" Akhirnya obrolan masuk juga pada intinya.

"Sudah, Pak. Insya Allah," sahutku.

Jantung ini terasa semakin kuat memompa. Aisyah menggenggam erat tanganku seolah mengerti betapa geroginya aku.

"Jadi bagaimana?" tanyanya kemudian.

"Insya Allah, aku siap menikah dengan bapak," ucapku dengan sekuat tenagaku.

Kuacungi jempol untuk diriku sendiri yang telah sanggup mengatakan ini semua.

Yang sudah berani menuju hubungan yang lebih serius walaupun dengan alasan yang berbeda ketika aku ingin menikah dengan Jasson dulu. Kuberanikan mengangkat kepala karena tak kunjung kudengar lagi kalimat apapun dari Pak Rahman. Kulihat ekspresinya yang diluar dugaanku. Aisyah pun mungkin saat ini sepemikiran denganku. Aku lalu melepaskan Aisyah dan menggenggam tanganku sendiri.

'Ya Allah, apapun tanggapannya, dan bagaimanapun jadinya hubungan ini.

Kupasrahkan semuanya padaMu. Hamba yakin yang Kau berikan pastinya yang terbaik untuk kami berdua ya, Rab.' Aku berdoa dalam hati.

"Apakah ini kemauan kamu sendiri ataukah ada pertimbangan lain?" Dia menanyakan sesuatu yang sebenarnya sulit sekali untuk kujawab.

Aku kembali tertunduk. Memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan. Apakah kali ini aku terpaksa berbohong? Tetapi aku benar-benar takut untuk berbohong. Bahkan aku sendiri sudah nggak ingat lagi kapan terakhir kalinya berbohong.

"Maksud bapak?" tanyaku memperlambat jawabanku. Pertanyaanku cukup jelas dan pasti bisa dimengerti," ucapnya sambil menatapku.

Untuk kali pertama aku bertatapan dengannya begitu lama.

"Ini keinginanku sendiri," sahutku.

Akhirnya aku berbohong juga. Aku segera istigfar minta ampunan pada Allah. Nggak tega rasanya jika kukatakan aku menerimanya demi kedua keluarga. Apalagi sejak rapat tadi aku mulai ada rasa suka padanya, yang bisa jadi sebentar lagi aku akan bisa melupakan Jasson untuknya. Tentu aku nggak akan sia-siakan semua keputusanku ini karena aku orang yang sangat bertanggung jawab.

Pak Rahman menghela napas panjang. Dia kini memalingkan mukanya dariku.

Ada apa sebenarnya? Sungguh! Aku benar-benar nggak ngerti jika keadaannya jadi seperti ini. Kupikir setelah kukatakan kesediaanku lalu dia juga mengatakan hal yang sama. Setelah itu semua selesai dan hubungan berlanjut ke tahap yang lebih serius. Kamu dengan laki-laki yang kamu ceritakan di novel itu apakah tidak pernah berkomunikasi lagi?" Pertanyaannya kini merambat ke hal yang kurasa tidak perlu dibahas lagi.

"Tidak pernah. Kenapa memangnya, Pak?" tanyaku.

"Kamu tidak ingin menemuinya dulu untuk mengatakan perjodohan ini?" tanyanya.

"Kurasa tidak perlu. Karena sebelum kepergiannya Abi sudah memberinya kesempatan selama enam bulan untuk mualaf dan belajar tentang islam. Dan hingga kini setelah hampir setahun lamanya dia nggak kunjung datang," paparku.

Sedikit kenangan tentangnya kini datang menganggu namun beberapa saat kemudian berhasil kulupakan. Kufokuskan lagi pikiranku pada hal yang lebih rumit yang sedang kuhadapi.

lagi. "Kamu tidak mencarinya?" selidiknya

"Maaf, Pak. Kurasa ini lebih tak perlu lagi.

1
Mugiya
mampir
Nha: oke kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!