Yue menerima perjodohan itu dengan satu kata singkat. "Ya."
Bukan karena cinta, jauh dari itu. Dia hanya berpikir hidupnya akan seperti kisah di film atau novel yang sering dia tonton, klasik, klise, dan penuh drama. Seorang pria kaya raya yang dingin dan tak acuh, yang diam-diam mencintai wanita lain, dan hanya menikah karena tekanan keluarga. Lalu Yue akan menjalani hidup sebagai istri formal, tidak dicintai, tapi tetap hidup mewah. Simple.
Satu-satunya alasan Yue setuju hanyalah karena satu kata sakral, UANG. Dia realistis, bukan romantis. Tapi yang terjadi, sungguh berbeda.
Pria itu, Raymon Sanchez tidak sesuai skrip. Sejak hari pertama mereka bertemu, bukan tatapan datar yang dia terima, melainkan pandangan tajam seolah dia adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Bukan sikap acuh, tapi perhatian yang menusuk hingga ke tulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pagi yang berdebar
Pagi itu, cahaya matahari masuk melalui celah tirai kamar, menyentuh sisi tempat tidur yang kini kosong.
Suara shower di kamar mandi baru saja berhenti, diikuti dengan derap langkah pelan dari dalam.
Raymon keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, setetes air menetes di ujung dagunya, handuk melilit pinggangnya dengan santai.
Aroma sabun dan segarnya udara pagi mengisi ruang kamar.
Matanya langsung melirik ke sofa kecil di sudut ruangan, tempat di mana Yue duduk tadi sebelum dia masuk mandi.
Namun kini, kosong.
Kemana istrinya itu pergi?
Tak ada jejak, tak ada suara. Tak ada kain tidur berantakan, hanya kesunyian yang terasa sedikit janggal.
Kening Raymon sedikit berkerut.
Dia berjalan ke arah sofa, tangannya terulur menyentuh bantal sandaran, hangat.
Baru saja diduduki.
Yue benar-benar ada di sana dan baru saja pergi.
"Sayang?" panggilnya, suaranya dalam namun tidak keras.
Tak ada jawaban.
Dia melangkah ke arah pintu kamar, membukanya dan melihat ke lorong luar.
Sepi.
Tangannya otomatis menggapai ponsel di meja, mengecek layar tidak ada pesan, tidak ada panggilan tak terjawab.
Alis Raymon menurun lebih dalam.
Langkahnya kembali ke dalam kamar, kini lebih cepat, lalu menuju lemari.
Semua barang Yue masih di sana, gaun tidur tadi malam terlipat rapi.
Dompet dan tas kerja juga masih ada, bahkan ponsel Yue pun tergeletak di meja rias.
"Pergi tanpa ponsel?" gumamnya, matanya menyipit.
Raymon berdiri diam beberapa detik, otaknya bekerja cepat.
Yue tidak mungkin keluar rumah sepagi ini tanpa alas kaki, tanpa tas, tanpa ponsel. Dan Yue bukan tipe yang kabur tanpa jejak, apalagi setelah kemarin dia menangis dalam pelukannya.
Rasa dingin mulai merayap naik dari tengkuknya.
Bukan karena takut, tapi karena instingnya bicara sesuatu tidak beres.
Tangannya mengambil kemeja dari gantungan, bergerak cepat mengenakan pakaian sambil mengambil ponsel dan menekan satu kontak.
Dering hanya terdengar sekali.
"Tuan?" suara di seberang langsung menyahut.
"Cek semua kamera lantai atas, istriku ada di mana?" suaranya tenang, tapi mengandung ancaman samar.
"Sebentar, Tuan…"
Beberapa detik hening.
"Tadi sekitar lima menit lalu, Nyonya terlihat keluar ke taman belakang. Sendirian, mengenakan cardigan putih dan sandal rumah. Tidak membawa apa pun."
Raymon memejamkan mata sejenak. Rasa lega karena Yue masih di area rumah, bercampur dengan gelombang pertanyaan yang belum punya jawaban.
"Aku akan turun. Jangan biarkan siapa pun mengganggunya."
"Baik, Tuan."
Klik. Sambungan terputus.
Raymon memasukkan ponsel ke saku, lalu melangkah keluar kamar dengan napas berat.
Entah kenapa…
Yue yang duduk diam di taman terasa lebih mengkhawatirkan, daripada Yue yang menangis di tangga darurat.
Yue duduk di ayunan taman belakang rumah yang tenang, hanya dikelilingi semak bunga yang terawat dan suara burung pagi yang sesekali terdengar.
Jemarinya memegang tali ayunan kayu itu pelan, sesekali mengayun sedikit ke depan dan belakang, tapi tidak benar-benar ingin bermain.
Lebih seperti ingin diam, merenung.
Dia tidak menyangka ada ayunan seperti ini di rumah Raymon.
Rumah ini terasa dingin, rapi, dan terlalu "dewasa" untuk benda yang mengingatkan pada masa kecil, atau kenangan indah bersama seseorang.
Matanya mengamati ukiran halus pada sisi dudukan kayu ayunan itu, lalu mendesah pelan.
"Tempat seperti ini… pasti dibuat untuk seseorang."
Pikirannya langsung berkelana, seperti biasa ke tempat yang tak ingin dia akui membuatnya penasaran.
"Apa Raymon pernah punya kekasih?"
Sejenak dia membayangkan seorang wanita lain.
Duduk di tempat ini, tertawa manja, mungkin dipeluk dari belakang oleh Raymon dengan cara yang sama seperti dia sering lakukan pada Yue sekarang.
Pikiran itu anehnya tidak membuatnya cemburu.
"Kalau iya… bagus, sih. Berarti Raymon normal, kan?"
Yue tersenyum kecil, getir.
Kadang dia bertanya-tanya dalam hati, apakah pria sekompleks Raymon ini pernah benar-benar mencintai orang lain sebelum dirinya?
Karena Raymon tidak pernah bicara tentang masa lalunya. Tidak satu pun.
Tidak ada foto, tidak ada cerita, tidak ada nama yang pernah muncul dari bibirnya selain pekerjaan dan perintah.
Kecuali wanita yang dulu mencegatnya di pintu masuk perusahaan.
Yue mulai berpikir.
"Jangan-jangan, aku satu-satunya yang benar-benar dia izinkan masuk. Dan itu malah yang membuatnya... jadi menakutkan."
"Ray." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan ke udara. "Kau sebenarnya... siapa?"
Suara langkah mendekat membuatnya menoleh.
Raymon berdiri tak jauh dari ayunan, kini sudah berpakaian lengkap.
Rambutnya masih agak basah, sebagian menempel di dahinya. Tapi yang paling mencolok adalah tatapan matanya.
Tenang, tajam dan langsung tertuju padanya.
"Aku sempat panik, kau menghilang." katanya pendek.
Yue memutar kembali ayunan pelan dengan ujung kakinya. "Aku cuma haus udara segar."
Raymon tidak langsung menjawab.
Dia berjalan perlahan ke arahnya, lalu berdiri di belakang ayunan, tangannya menyentuh tali ayunan di kedua sisi tubuh Yue.
"Ayunan ini…" Yue memulai lebih dulu, nadanya datar. "Kau buat untuk siapa?" tanyanya.
Raymon diam sejenak, lalu menjawab. "Untuk seseorang yang akan jadi alasanku pulang." nadanya terdengar tulus, nyaris tanpa beban.
Yue menoleh pelan, menatap pria itu dengan kening berkerut.
"Dan itu aku?" tanya Yue.
Raymon tersenyum samar.
"Sekarang, ya."
Tapi kemudian, tatapannya menjadi lebih dalam, lebih gelap, tapi bukan dalam arti menyeramkan.
Lebih seperti, beratnya seseorang yang menyimpan luka terlalu lama, tapi memilih diam.
"Dulu... aku tidak punya siapa pun untuk dibuatkan tempat seperti ini."
Yue diam, dadanya terasa hangat aneh.
Dan Raymon menambahkan pelan. "Jadi saat kau masuk ke hidupku, aku pastikan kau tidak perlu duduk di tempat orang lain."
Ayunan berhenti bergerak. Begitu pula hati Yue, yang untuk sesaat lupa bahwa dia pernah berpikir untuk pergi.
Tbc