‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 : Kehilangan jati diri
Sebelas tahun lalu.
“Sampai mati pun aku tak sudi dipoligami, Bang! Buka matamu! Dia hanya menginginkan harta, jabatan saja. Dimana dirinya saat engkau terpuruk, terlunta-lunta? Sadar, Bang!”
Sejenak Bandi terdiam. Dia terkejut akan nada tinggi sang istri, 12 menikah – baru kali ini warni berteriak lantang.
“Aku kasihan melihat nasib malangnya, Warni. Dia tak lagi seorang diri, tetapi memiliki putri seumuran anak kita. Apa hatimu tak tergerak ingin menolongnya?!”
“Kalau hanya ingin menolong, tak perlu sampai menikahi dia! Bila dirimu kasihan pada putri kecilnya, lantas bagaimana dengan darah dagingmu sendiri, Dahayu?!" teriaknya.
"Apa tak terpikirkan olehmu, mentalnya akan terganggu, dia bakalan diejek oleh teman sebayanya – bapaknya nikah lagi, dia punya ibu tiri. Sadar, Bang!” jerit Warni.
"Keputusanku sudah bulat, tak bisa ditawar. Setuju ataupun tidak, aku tetap menikahi Ijem. Ini demi kemanusiaan, egois sekali bila kau menentang, Warni! Saat inipun aku sanggup beristri dua. Jabatan ku sebagai mandor panen dengan gaji lumayan tinggi, bisa kubagi rata antara kau dan dia.” Bandi berbalik.
“Demi kemanusiaan atau selangkangan? Kau sudah tidur dengannya bukan? Sehingga begitu gigih ingin menikahi nya. Jawab jujur, apa rasanya lebih memuaskan daripada diriku?” setetes air mata luruh, hatinya bagaikan ditikam sembilu.
“Iya. Karena saat menggaulinya aku menggunakan hati. Sementara denganmu cuma nafsu semata,” ujarnya gamblang.
“Apa aku cuma sekedar pelampiasan bagimu?”
“Benar. Dulu hingga sekarang yang kucintai cuma Ijem.” Bandi berbalik, kembali memandang wanita bermandikan air mata. “Maaf, tapi aku tak menyesal telah melakukan semua itu. Walau bagaimanapun kau juga beruntung dikarenakan masalalu mu pernah gila, siapa yang mau menikahi mu kalau bukan aku.”
Kemudian pria tidak berperasaan itu melangkah kedepan, hendak keluar dari rumah kelas dua perkebunan. Langkahnya terhenti saat melihat sosok gadis kecil yang sebentar lagi genap berumur 11 tahun.
Tanpa berucap sepatah kata, dia melewati Dahayu yang berdiri di batas ruang tamu.
Gadis berambut sepunggung diikat satu itu menatap nanar sang ayah yang memilih pergi setelah menyakiti istrinya.
Dahayu berlari ke belakang, memeluk ibunya yang duduk dilantai sambil memukul-mukul dadanya.
“Ibuk, tak apa. Masih ada Ayu disini. Menangis lah yang kencang, jangan malu. Anggap saja Ayu tidak melihat!” Tangan kurus itu menepuk-nepuk punggung, memberi ketenangan disaat air matanya sendiri mengalir deras.
Dua wanita beda usia, berbagi kesedihan, saling memeluk menguatkan.
Sebelumnya, desas-desus tentang perselingkuhan sudah terendus oleh Warni. Dia memilih diam, masih berusaha berpikir positif, beranggapan mana mungkin suaminya tega menghancurkan kehidupan rumah tangga harmonis mereka.
Namun, faktanya lebih dari sanggup, bahkan tanpa perasaan sebuah fakta diungkapkan. Bandi tak pernah mencintainya, hatinya tetap terbelenggu oleh cinta pertamanya, Ijem.
Bandi datang setelah sepuluh hari tidak pulang. Dia tidak sendirian, tangannya merangkul pundak wanita kesayangannya, satunya lagi menggenggam jemari gadis kecil bertubuh kurus, mata cekung, Nafiya.
“Aku kesini bukan untuk meminta izin lagi, karena hal tersebut sudah terlewati. Kami sudah menikah, kalau kau berani buka suara – maka yang akan sengsara bukan cuma aku, tapi juga dirimu dan Dahayu. Pikirkan dia yang sebentar lagi mau masuk SMP.”
Setelah memperkenalkan istri keduanya, yang masih dinikahi secara siri – mereka kembali pergi, meninggalkan luka menganga dihati Warni dan juga Dahayu.
.
.
Keesokan harinya, musibah pun terjadi. Selepas sholat subuh, Warni terjatuh dikamar mandi. Kepalanya terantuk bak semen penampung air, dan perutnya menghantam bangku kayu.
Dahayu menangis histeris, dia sendirian, ketakutan kala melihat baju terusan sang ibu dipenuhi darah. Dirinya berlari keluar, menggedor pintu rumah tetangga, meminta pertolongan.
Bu Warni pun di naikan ke becak mesin milik tetangganya, dibawa ke puskesmas perkebunan yang buka 24 jam.
Namun, peralatan kesehatan kurang memadai, sedangkan cidera kepala bu Warni tergolong serius.
Wanita tak sadarkan diri itu dirujuk ke RS kota, dengan dibawa mobil ambulance.
Dahayu duduk dengan badan kaku di kursi sebelah pengemudi. Dia seperti patung manekin, cuma suara isak tangisnya yang terdengar sepanjang perjalanan melewati perkebunan sawit dan karet.
Di rumah sakit perkebunan – bu Warni dinyatakan keguguran, dia sedang hamil enam minggu. Lebih mirisnya lagi dirinya terkena stroke ringan akibat benturan kuat di kepala.
Setelah empat hari seorang diri menemani sang ibu yang belum sadarkan diri, koma. Bandi baru datang bersama istri baru dan anak tirinya.
Bukan menenangkan Dahayu, menangisi kepergian darah dagingnya. Bandi malah memaksa putrinya tutup mulut, harus mengikuti skenario bila tidak mau pengobatan sang ibu diberhentikan.
Apa gadis kecil itu punya pilihan? Tentu saja tidak. Dia menurut, yang terpenting ibunya diobati.
Seminggu berlalu, masa kritis bu Warni telah terlewati, dia sudah sadarkan diri.
Namun, kondisinya tak lagi sama. Wanita penyabar itu layaknya mayat hidup, menarik diri dari dunia kejam, menciptakan dunianya sendiri. Hidup dalam kenangan manis saat dirinya masih kecil, berbahagia bersama keluarganya, dan memiliki seorang adik.
Tinggallah Dahayu seorang diri. Umurnya masih sangat belia, tapi cara berpikirnya sudah dewasa. Dia menerima takdir dengan lapang dada, bersabar merawat ibunya yang mengalami gangguan mental dan akibat stroke – mengidap epilepsi.
Kondisi Warni dimanfaatkan oleh Bandi. Dia melaporkan ke staff tertinggi perkebunan, mengatakan kalau ibunya Dahayu – tak lagi mampu menjalankan peran seorang istri.
Izin memiliki istri dua pun dikantongi. Hunian yang didiami oleh Dahayu dan juga sang ibu – direbut paksa oleh Ijem.
Barang-barang milik Dahayu dan ibunya, dimasukkan ke dalam karung.
Begitu Warni diperbolehkan pulang setelah satu bulan penuh dirawat, dia tidak lagi kembali ke rumah perkebunan khusus jajaran berpangkat.
Namun, menghuni perumahan para pekerja kasar. Di sanalah awal Dahayu berkenalan dengan Nelli dan keluarganya.
.
.
Empat tahun kemudian.
Hari berlalu, minggu terlewati, dan bulan terlalui, hingga tahun berganti.
Umur Dahayu kini 15 tahun, dia menjelma menjadi gadis berpenampilan tomboy.
Rambut hitam legam, lurus, tebal sepunggung nya dipangkas habis. Bukan tanpa sebab, tapi setiap epilepsinya bu Warni kambuh – dia menjadi sasaran kemarahan ibunya.
Bu Warni menganggap Dayu adalah adik perempuannya yang berambut pendek, sehingga ketika putri kandungnya memanjangkan rambut, langsung menjambaknya.
Gadis remaja itu kembali mengalah, hidup cuma mengalah dan mengalah. Dia kehilangan segalanya – masa remaja, jati diri, tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SMU.
Sedari umur 11 tahun, sepulang sekolah – Dahayu akan bekerja menawarkan jasa menyapu halaman, menggembala Kambing maupun Lembu, semua itu demi mendapatkan upah tidak seberapa, agar perutnya dan sang ibu kenyang.
Bandi dan juga Ijem, memangkas uang bulanan – pria yang mengatakan bisa adil membagi gajinya, ternyata pembohong besar. Dia cuma memberikan uang nafkah alakadarnya, dan sesuai suasana hati sang pujaan hati.
Terlebih saat Ijem melahirkan bayi laki-laki yang sehat. Maka Dahayu – sudah tak pernah lagi diperhatikan, apalagi ibunya.
Mau tak mau, Dahayu bekerja serabutan. Tamat SMP dia menjadi pengasuh anak yang ditinggal kerja seharian oleh orang tuanya.
***
Tragedi kedua yang berhasil mengguncang dan merubah total sifat serta sikap Dahayu adalah;
Kala itu sore hari, pas hari Lebaran kedua. Para warga perkebunan banyak yang mudik, sehingga Dahayu diminta menjaga hewan ternak mereka, memberi makan Unggas, Kambing dan Lembu.
"Buk, Dayu mau pergi ke rumah Uwak. Hendak memberi makan Kambingnya, Ibuk mau ikut apa tidak?”
Bu Warni yang masih main kartu domino, menggelengkan kepala.
Walaupun ragu, sebab sang ibu sendirian di rumah. Dayu tetap pergi ke rumah berjarak lima ratus meter dari huniannya.
Keluarga Nelli juga masih mudik. Bisa dibilang cuma Dayu dan beberapa orang saja yang memilih menghabiskan hari raya di perkebunan.
Sepuluh menit kemudian – bu Warni mulai bosan, dia pergi menyusul putrinya. Di pertengahan jalan, dirinya dihadang pria mabuk.
“Wah ada si gila ini ... ayo kita main dokter-dokteran!” Celana panjang dan dalamnya diturunkan sekaligus.
.
.
Bersambung.