NovelToon NovelToon
Beauty To Crystal

Beauty To Crystal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Anak Lelaki/Pria Miskin / Romansa
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.

Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.

Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3. Satu Semester

Satu semester bukan waktu yang lama. Tapi cukup untuk membuat perasaan tumbuh.

Achazia mengingat betul hari pertama ia masuk sekolah ini, diantar supir pribadi dengan mobil hitam mengkilap, sementara anak-anak lain sibuk menatapnya dari jauh. Waktu itu, semuanya terasa asing. Tapi sekarang? Meski masih sering merasa berbeda, ia sudah mulai terbiasa. Bahkan, mulai merasa... nyaman.

Terutama karena satu nama: Elvareon.

Gadis itu tak pernah menyangka, laki-laki kutu buku yang lebih sering duduk di perpustakaan itu, justru yang paling menarik perhatiannya selama ini.

Elvareon bukan tipe yang gampang didekati. Tapi seiring berjalannya waktu, sejak mereka mulai ngobrol meski hanya soal pelajaran entah bagaimana, kedekatan itu tumbuh sendiri.

Dan dia bukan satu-satunya yang menyadari hal itu.

“Achazia,” kata Brianna suatu sore, “kau suka Elvareon, ya?”

Achazia hampir tersedak es tehnya. Mereka sedang duduk di kantin sekolah yang mulai sepi karena jam pelajaran sudah selesai.

“Apa?” tanyanya gugup.

Brianna tertawa pelan. “Sudah kelihatan dari minggu lalu waktu dia ngasih kamu kertas catatan kecil itu. Kamu nyimpen di buku binder, kan? Aku lihat, lho.”

Achazia hanya bisa menghela napas. “Aku tidak tahu harus gimana, Brianna. Dia sangat berbeda dari laki-laki lain.”

“Sangat beda. Tapi bukan berarti kamu tidak boleh menyukainya, kan?”

Achazia menatap meja, menggigit bibirnya. "Tapi dia dari keluarga yang... ya kamu tahu sendiri. Kadang aku takut dia merasa tidak cukup untuk aku."

Brianna mengangguk pelan. “Atau justru dia takut kalau kamu tidak cukup berani untuk terima dia.”

Sementara itu, di sisi lain sekolah, Elvareon sedang berdiri di area parkiran sepeda.

Sepeda tuanya sudah mulai berkarat, joknya sobek di beberapa bagian, dan belnya sudah tidak bunyi lagi. Tapi itulah sepeda yang menemaninya sejak SD. Dia tidak pernah malu mengendarainya ke sekolah.

“El, kenapa kau melamun?” suara Kaivan memecah lamunan.

Kaivan, sahabatnya sejak kelas 10, adalah satu-satunya orang yang benar-benar tahu isi kepalanya. Mereka sering pulang bersama, kadang naik sepeda bergantian, atau sekedar duduk di taman membicarakan hidup.

“Aku seperti orang bego Van,” gumam Elvareon.

“Aku sih gak nolak,” jawab Kaivan sambil tertawa.

Elvareon menggeleng pelan. “Kau tahu aku suka sama Achazia, kan?”

“Dari cara kau menyebut nama dia aja udah ketahuan, bro.”

Elvareon menarik napas panjang. “Tapi dia itu beda dunia, Van. Sangat berbeda. Dia anak orang kaya, hidupnya enak, naik mobil, sekolah karena hobi. Aku? Naik sepeda tua, rumah ku bocor kalau hujan.”

Kaivan menepuk pundaknya. “Tapi kau punya hati. Dan kau punya otak. Dan kau punya keberanian yang mungkin dia gak punya.”

Elvareon hanya diam. “Aku cuma takut, kalau aku jujur nanti semua berubah. Dia akan menjauhiku karena sadar dia terlalu tinggi buat ku."

Hari itu langit mendung. Seperti biasa, Elvareon menunggu hujan reda di selasar perpustakaan. Tiba-tiba, langkah ringan mendekat. Achazia.

“Hai,” sapa Achazia pelan.

“Hai juga,” jawab Elvareon.

Mereka diam. Sama-sama tidak tahu harus bicara apa. Sampai akhirnya Achazia duduk di samping Elvareon, menyandarkan tasnya.

“Kamu tidak langsung pulang?” tanyanya.

Elvareon menunjuk ke luar. “Sepeda tua ku tidak tahan hujan.”

Achazia tertawa. “Aku kira kamu sudah terbiasa kena hujan.”

“Kalau kamu kehujanan, kamu langsung pilek,” balas Elvareon pelan, nyaris seperti bergumam.

Achazia tersenyum. “Kamu perhatian, ya.”

Mereka kembali diam. Tapi hening kali ini bukan hening yang canggung. Justru terasa nyaman. Seperti dua orang yang tidak butuh banyak kata untuk mengerti.

“Achazia, aku menyukaimu,” kata Elvareon tiba-tiba.

Achazia tertegun. Matanya melebar, tidak percaya.

“Aku tahu kita beda dunia,” lanjut Elvareon, suaranya bergetar, "aku tahu kamu bisa dapat siapa pun, yang lebih kaya, lebih keren, lebih segalanya. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak merasakan ini. Aku suka caramu senyum. Caramu baca buku. Caramu berbicara pelan karena takut salah. Dan... caramu tetap jadi diri sendiri meski semua mata memandangimu.”

Achazia tidak langsung menjawab. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku juga menyukaimu, Elvareon,” jawabnya lirih. “Aku tidak pernah bisa bilang ke siapa-siapa, bahkan ke Brianna. Tapi setiap hari, aku selalu menunggu mu lewat depan kelas. Walaupun kita tidak satu kelas. Aku suka caramu berpikir sebelum bicara. Dan aku menyukaimu apa adanya.”

Elvareon menatapnya tak percaya.

“Kamu tidak takut?” bisiknya.

Achazia tersenyum. “Takut. Tapi aku lebih takut kehilangan rasa ini sebelum sempat dijalani.”

Beberapa hari kemudian, Brianna menghampiri Achazia di taman belakang sekolah. Matanya menyipit seperti sedang menahan senyum.

“Jadi, kamu akhirnya bilang juga?” tanyanya.

Achazia mengangguk pelan. “Iya. Dia juga jujur.”

“Good. Tapi siap-siap, ya.”

“Siap-siap apa?”

“Siap dibicarain banyak orang. Kamu tahu sendiri, di sekolah ini siapa temenan sama siapa aja bisa jadi gosip.”

Achazia menarik napas dalam. “Aku tidak peduli.”

Hari demi hari berlalu. Mereka tidak langsung pacaran. Tapi hubungan mereka berubah. Mereka lebih sering berbicara, saling menunggu, dan ke perpustakaan bersama. Itu pun sudah cukup membuat jantung mereka saling berdetak tak menentu.

Bagi orang lain mungkin ini aneh gadis kaya dan laki-laki miskin. Tapi bagi mereka, itu adalah hal yang sangat... masuk akal.

Karena cinta bukan soal siapa yang punya lebih. Tapi siapa yang berani jujur.

Dan hari itu, satu semester berakhir. Tapi bagi mereka, semuanya baru saja dimulai.

"El, nanti libur semester ini kamu jalan-jalan kemana?" tanya Achazia sambil mereka duduk di kafetaria.

"Aku tidak jalan-jalan. Aku akan membantu penuh orang tuaku di sawah."

"Oh, begitu ya," Achazia merasa salah menanyakan hal itu.

"Kamu? Pasti jalan-jalan kan?"

Achazia mengangguk. "Aku akan pergi ke London bersama orang tuaku"

Suasana menjadi canggung. Mereka memakan makan siang masing-masing dengan lauk yang sama yaitu ikan dan sayur. Brianna menatap mereka dari sudut kafetaria. Dia tidak ingin mengganggu mereka berdua. Walau dia tahu kalau Elvareon itu adalah temannya juga dari kelas sepuluh, dia tidak ingin mengganggu.

Mereka dulunya teman dekat. Mereka sering bertiga kemana-mana. Elvareon, Brianna dan Kaivan selalu bersama. Walau mereka tidak sekaya Achazia, mereka menikmati pertemanan itu dengan bahagia. Terkadang mereka saling bertukar sepeda dengan Elvareon. Kaivan dan Brianna biasanya selalu bersama saat pulang sekolah. Mereka menaiki bus yang sama.

Sejak kedatangan Achazia, suasana berubah. Entah mengapa Brianna sangat mendukung Elvareon dengan Achazia. Menurutnya Achazia itu memang gadis yang baik. Dia juga tidak pernah merasa jijik dengan Elvareon. Dia tidak pernah membicarakan tentang ekonomi Elvareon. Dia mencintainya apa adanya.

"Hei, kau melihat siapa?" tanya Kaivan tiba-tiba muncul dibelakang Brianna

"Ah kau membuatku terkejut! Itu Achazia bersama Elvareon. Mereka semakin dekat, ya." Ucap Brianna

"Iya. Mereka sangat cocok. Tapi tidak dengan status mereka"

Brianna mengangguk. Status sosial mereka memang tidak bisa dihindari. Kaivan mengajak Brianna makan siang dikantin. Jarak mereka jauh dari Achazia dan Elvareon. Mereka hanya melihat temannya dari sudut. Tidak ingin mengganggu.

Saat sudah selesai makan, Achazia bertanya

"Elvareon, aku ingin tahu apakah kamu suka bahasa inggris?"

"Sangat suka. Aku pernah menang olimpiade Internasional bahasa inggris," ucapnya malu-malu

Achazia terkesan "Wah! Kamu hebat juga, ya"

"Tapi ngomong-ngomomg, kenapa sekolah ini tidak pakai bahasa inggris? Bukannya ini sekolah internasional?" itu adalah pertanyaan Achazia yang belum terjawab

"Oh soal itu. Sebenarnya di sekolah ini setiap hari Jumat selalu memakai bahasa inggris, bisa dibilang "English Friday". Guru dan semua siswa berbicara memakai bahasa inggris dan yang melanggar mendapat sanksi mengerjakan soal sebanyak 100"

"Ehh begitu, ya? Tapi selama disini, kok gak pernah ada English Friday lagi?" tanya Achazia penasaran.

"Kepala sekolah yang mengadakan English Friday itu sudah meninggal. Tepat seminggu sebelum kamu datang. Banyak siswa yang setuju jika tidak ada English Friday lagi karena bagi mereka itu merepotkan. Padahal bagiku sih biasa saja"

Achazia mengangguk. "Jadi itu alasannya," ucapnya.

"Ya, setelah dihapuskan English Friday, sekolah ini jadi kurang menarik. Banyak siswa yang menyepelekan bahasa inggris. Kami jadi susah juga berkunjung ke sekolah lain dan siswa dari sekolah lain juga sudah jarang berkunjung ke sekolah ini. Semua berubah ketika Kepala sekolah itu meninggal"

"Tapi kenapa kamu menanyakan itu?" tanya Elvareon penasaran.

"Aku hanya ingin tahu. Nama sekolah ini Internasional berarti ada siswa luar negri yang bersekolah disini tetapi tidak ada. Ternyata itu alasannya" terlihat sedikit kekecewaan Achazia.

"Kamu kecewa, ya? Sekolah ini tidak sebagus sekolah lamamu?" tanya Elvareon tiba-tiba.

"Sedikit. Tapi aku senang juga sekolah ini lumayan bagus"

Mereka lalu selesai makan, kembali bersama ke kelas. Achazia ditunggu oleh Brianna dikelas dan Kaivan. Sementara Elvareon berjalan sendiri ke kelasnya. Brianna dan Kaivan tetap sekelas, berbeda dengan Elvareon yang harus menerima dia tidak sekelas dengan teman baiknya itu. Mereka bertiga ditempatkan dikelas A dan Elvareon dikelas B.

Di dunia yang penuh label dan perbedaan, dua orang menemukan bahwa hati tidak pernah peduli soal kasta.

Yang penting... rasa itu nyata.

1
Nana Colen
ceritanya ringan tapi asiiik 🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!