Salahkah jika aku menyukaimu Abang?
Kedekatan Dea dengan Abang tirinya menghadirkan sebuah perasaan yang tak seharusnya ada, sebisa mungkin dia mencoba membuangnya namun tanpa dia sadari ternyata Abangnya juga menyimpan perasaan yang sama untuknya.
Ada yang penasaran? yuk simak cerita mereka 😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pluk...
Ran menjatuhkan kantong keresek yang di berikan Davi tadi di tepi Ranjang, “ko bisa dia tahu kamu lagi datang bulan?” aku langsung di sidang olehnya.
“Dea juga gak tahu Bang, tadi Dea cuma bilang kalau Dea sakit perut.” lirihku.
“Kenapa bilang sama dia, bukannya langsung pergi ke UKS?”
Haish, ini si Ran kalau udah begini gak bakalan diem sebelum jawabanku nyampe ke akar-akarnya. Dan aku pun harus menjelaskan semua yang terjadi sampai aku pingsan di dalam kelas tadi.
Dia kembali duduk setelah mendengar seluruh ceritaku, “tapi ko Abang bisa tahu aku pingsan di kelas?”
“Temen-temen kamu yang nelpon tadi.” aku berdecak kesal, apaan sih mereka pake acara nelpon Ran segala dan bilang aku masuk rumah sakit.
“Gak usah kerja hari ini aku udah minta ijin sama yang punya cafe tadi.” ucap Ran sambil melipat tangan di dada.
“Lah, ko Abang gak minta ijin Dea dulu sih Bang?” ucapaku dengan wajah kesal.
“Kalau aku minta ijin, kamu pasti ngeyel dan bakalan tetep kerja meski lagi sakit.” ucap Ran, dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi besi tunggal yang di dudukinya.
“Hais, tapi tetep aja Bang–,” aku mencebikkan bibirku dengan wajah mematut. Saat ini kami hanya tinggal berdua di ruang kesehatan karena semua temanku di usir oleh Ran, lagi pula jam pelajaran pun masih berlangsung dan mereka harus kembali ke kelas.
“Kamu tahu kenapa kamu jatuh sakit?” aku memalingkan muka enggan menjawab, “karena kamu terlalu kecapean, kamu kena anemia bukan cuma sakit datang bulan.” tambah Ran.
Please, yang terakhir itu gak usah disebutin kali, rasa maluku terhadap Davi tadi aja belon kelar ini malah di tambah lagi.
Hmph, Ran menghela napas ringan, “sebaiknya kamu berhenti kerja Ya, kamu gak perlu khawatir sama uang sekolah ada Papah dan aku disini.”
“Gak bisa Bang, Dea tetep harus kerja.” tegasku.
“Dasar keras kepala, kalau sampe jatuh sakit lagi gak bakal gue peduliin.” kesalnya sambil membuang muka kearah lain.
“Bay the way, makasih ya Bang udah datang kesini dan jagain Dea.” aku tersenyum lemah pada Ran. Padahal seharusnya yang datang itu Ibu kan? Tapi kenapa malah Ran?
“Ayo kita pulang dan istirahat di rumah.” Ran bangkit dia membereskan barang-barangku kedalam tas sekolahku, entah kapan teman-temanku membawanya kemari.
Aku beranjak untuk turun, namun tiba-tiba Ran berjongkok dan memasangkan sepatu di kakiku, “B–bang, Dea bisa sendiri ko.” Ran hanya mendongak melempar tatapan tajam kearahku, membuat mulutku seketika bungkam dan harus menerima dengan lapang dada semua perlakuannya padaku.
Dia bangkit setelah berhasil memakaikan sepatu di kakiku, dia memakai tas punggungku di dadanya dan kembali berjongkok dengan posisi memunggungiku.
“Naik!” titahnya.
“Gak usah Bang, Dea bisa jalan sendiri ko.”
“Ini perintah bukan permintaan, buruan naik.” tegasnya tak terbantah, mau tak mau aku menuruti Ran dan naik ke punggungnya.
Kondisi sekolah masih sepi karena jam pelajaran masih berlangsung, setidaknya tidak akan ada yang melihat kami saat ini, aku benar-benar malu jika orang lain melihatku di gendong keluar sekolah oleh Ran padahal sakitku tak seberapa, hanya sakit biasa bukan sakit parah.
“Bang, sebenarnya Abang gak perlu sampe gendong Dea kaya gini, sumpah Dea baik-baik aja, sakit Dea juga gak parah ko.” aku berusaha membujuk Ran agar mau menurunkanku dari punggungnya, keadaan ini benar-benar membuat aku tak nyaman apa lagi detak jantungku tak bisa di kondisikan sejak tadi, aku takut jika Ran menyadarinya.
“Mau diem gak, atau gue jatuhin nih?"
“Ih Abang ko jahat sih.”
“Udah tahu kan gue jahat, makanya diem.” aku berdecak kesal.
Aahhh... Tangan Ran hampir terlepas saat menyangga kakiku, membuat aku terkejut dan sedikit berteriak karena hampir jatuh, “Makanya pegangan kalau takut jatuh.” ucapnya.
Akhirnya aku memberanikan diri melingkarkan tangan di leher Ran dan memeluknya, wangi tubuhnya menguar di indera penciumanku, lehernya pun beraroma wangi tanpa sengaja bibirku menyentuh lehernya.
“Dea,” geramnya, telinganya seketika memerah.
“Ma–maaf Bang, Dea gak sengaja.” refleks aku langsung menarik diri kebelakang, namun tanganku masih di tempat yang sama.
Ran mempercepat langkahnya dan menggendongku menuruni tangga, tak lama kemudian kami pun sampai di parkiran.
Ran hanya diam sejak kejadian tadi, bahkan saat kami sudah tiba di rumah sekalipun.
“Loh Non Dea, Den Ran, tumben pulang jam segini?” Bi Sumi sudah kembali bekerja lagi ternyata.
“Dea sakit jadi dia ijin pulang dari sekolah.” Ran yang menjawab, dia kini membopongku seperti orang yang habis ke tabrak motor dengan kaki pincang, padahal kenyataannya aku baik-baik saja. Sebenarnya tadi dia ingin menggendongku lagi tapi aku menolaknya dengan keras, bisa berabe kalau sampe Ibu melihatnya.
“Astaga, terus gimana kondisi Non sekarang?” Bi Sumi tampak khawatir, “Apa sebaiknya Bibi telpon Nyonya?” dia mengikuti langkah kami di belakang.
“Gak usah Bi, Bibi buatin bubur aja buat Dea.” ucap Ran.
“Emangnya Ibu kemana Bi?” tanyaku.
“Nyonya pergi nemenin Tuan dinas Non,” jawab Bi Sumi, sukur deh berarti mereka gak jadi berantem, aku kira mereka bakalan berantem melihat raut wajah Pak Bagas yang keliatan marah banget tadi pagi.
Bi Sumi pergi ke dapur untuk membuat bubur, sedang aku dan Ran naik ke lantai atas.
“Udah cukup Bang, Abang pergi gih istirahat Dea udah baik-baik aja ko.” usirku halus, gak baik terus berduaan dengan stimulasi detak jantung seperti dia.
“Gak, Abang mau disini nemenin kamu.” tolaknya, dia malah menarik kursi belajarku dan mendudukinya.
“Abang lebay ih, orang Dea cuma sakit mens biasa, udah kaya habis kecelakaan lalulintas aja pake di tungguin segala.” protesku dengan wajah mematut.
“Kamu ngaca gih, muka kamu udah kaya mayat hidup tahu, bikin orang khawatir aja. Pokoknya aku gak bakalan pergi sebelum kamu habisin bubur sama obat kamu nanti.”
Aku berdecak kesal sambil beranjak bangun, “mau kemana kamu?”
“Mau ganti baju Bang, masa ia Dea harus pake baju sekolah terus.” ketusku sambil berlalu menuju ruang ganti pakaian.
Aku melihat pantulan wajahku di cermin, benar wajahku memang terlihat pucat dan aku agak kurusan juga, aku mengambil satu set pakaian dari lemari kemudian mulai mengganti pakaian, mataku membola saat melihat rok abu-abuku memiliki noda.
Si*al kenapa aku gak kepikiran soal Davi tahu aku lagi mens, aku lekas ke kamar mandi untuk membersihkan diri kemudian keluar setelah mengganti pakaian.
Aku melirik Ran yang tengah duduk sambil bermain game di ponselnya, “Abang gak ganti baju?” ucapku.
“Kenapa emang?” Ran menciumi bau tubuhnya sendiri dan menurutnya gak ada masalah.
Aku berpura-pura mengambil sesuatu dari meja belajar agar bisa melihat punggung Ran, noda merah bulat besar tampak kentara disana, apa lagi Ran saat ini memakai kaus panjang berwarna putih.
Haish, aku berdecak kesal sambil menggigit bibir bawahku, aku harus membujuk Ran agar mau membuka bajunya.
“Abang ganti baju ya, pake punya Dea.” ucapku lagi.
“Hah, kenapa? Orang kamar Abang di sebelah kenapa harus ganti baju pake punya kamu?” balasnya tanpa menoleh.
Aku menghembuskan nafas kasar kemudian memberanikan diri menarik baju Ran ke atas untuk melepasnya.
“Aaah, Dea kamu apa-apaan sih?” teriak Ran sambil meronta-ronta.
“Lepas bajunya Bang!” aku tetap memaksa membukanya ke atas.
“Iya tapi pelan-pelan, ini tangan Abang nyangkut.” protesnya.
Huah... Akhirnya aku bisa melepas baju Ran dengan sempurna, aku langsung menyembunyikan baju tersebut di balik punggungku.
Aku menatap cengo tubuh bagian atas Ran yang polos, “Non Dea, Den Ran!” teriakan Bi Sumi membuat kami sontak menoleh.
Mampus! Bi Sumi pasti salah faham padaku dan Ran, belum lagi tatapan penuh tanya dari Ran yang belum sempat terjawab kenapa aku memaksa membuka pakaiannya.
Ran bangkit berdiri, “kami gak ngapa-ngapain ko Bi, tadi Ran habis cukur rambut, rambutnya kayanya masuk ke dalam baju makanya gatel, terus Dea bantuin aku buka baju karena bajunya nyangkut di leher.” Ran membantuku berbohong, entah Bi Sumi percaya atau tidak, tapi aku harap sih dia percaya.
“Oh gitu, Bibi kaget tadi, Bibi kira kalian lagi ngapa-ngapain.” ucapnya sambil berjalan masuk membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih.
Bi Sumi menaruh nampan tersebut di atas nakas, dia nampak ragu-ragu untuk pergi dari kamarku, agaknya dia masih mencurigai apa yang sedang kami lakukan tadi.
Ran kembali ke kamarnya untuk mengambil baju dan aku langsung menyimpan baju dia yang ada padaku di whastaple kamar mandi.
Hufth, aku bernapas lega, namun kembalinya Ran membuat napasku jadi sesak lagi, dia menatap tajam kearahku sambil melipat tangan di dada.
“Tidakkah kamu ingin menjelaskan padaku apa yang terjadi tadi?!”
maknya menjauh...
❤❤❤❤😀😀😀😀
❤❤❤❤❤
rapi teenyata Dea masih malu2...
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
awal bertemu di rumah Ran ..
dia kan musuhin Dea..
apa.karena gak yeeima papanya nikah lagi...
😀😀❤❤😘😍😍😙
tapi Dea gak tau...
pantesan Ean betah jomblo..
laahhh...
wmang nungguin Dea...
❤❤❤❤❤
apa masalah flo dimas dan Ran..
❤❤❤❤❤
pasti Ran jujur jga klao suka ma Dea..
😀😀😀❤❤❤😍😙😗
ko bisa flashback Thor
❤❤❤❤
😀😀❤❤❤
akankah dea cemburu kalo tau flora sekampus ama Ran?
❤❤❤❤
bolrh banget malahhh..
halal kok..
😀😀😀❤❤❤❤
biar gak terlambat...
😀😀😀❤❤❤
bingung mau ngaku syka ama Dea...
😀😀😀❤❤❤❤
❤❤❤❤❤❤❤😍😙😙😙
yg ketahuan jadian....
❤❤❤❤❤
mkasi udah up banayakkkk...
❤❤❤❤❤