Perjalanan hidup Gaman julang yang tidak pernah tuntas menyelesaikan pendidikan di sekolah maupun di pesantren.
Ia tidak bisa mengimbangi waktu dengan hobinya bermain musik, sehingga sekolahnya terbengkalai.
meski demikian, dia seorang yang cerdas. Dia selalu punya sejuta akal untuk menghadapi setiap masalah yang datang.
Hingga suatu ketika dia harus bergelut dengan problematika hidup dan beban moral, menghadapi gunjingan keluarga dan tetangga.
Semua sepupunya terbilang telah hidup sukses dan sudah punya keluarga sendiri, tinggal ia seorang yang masa depannya tak tentu arah.
Ditengah kehidupannya yang relatif carut marut secara ekonomi, dia jatuh cinta dengan putri seorang Kyai besar pengasuh pondok pesantren.
Tantangan terberatnya harus bersaing dengan dua orang lain yang juga ingin melamar putri sang Kyai.
Keduanya mapan secara ekonomi dan punya gelar akademik S2 lulusan Universitas Al-azhar Kairo, Mesir.
Upaya apa yang akan dilakukan Jul untuk menghadapi tantangan tersebut ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bungdadan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA SERIUS
Pernyataan Rahma sungguh membuatku terkejut.
Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba dia ngomong ingin jadi istriku.
Dia berkata dalam keadaan sadar 100 persen, sehat wal afiat, waras bedigas, tidak sedang ngelindur.
Di ruang gerbong yang lumayan panas, berasa tersentak dari mimpi indah, sebuah pernyataan tak terduga, tak dinyana, datang menyambar.
Seketika diriku kaget tak terkira. Engkau mengajukan pinta kepadaku tuk jadi suamimu.
Bisik suara serak-serak basahnya terasa menyengat di telinga ini.
Jantungku berdebar tak percaya diri, timbul pertanyaan dalam sanubariku ; "Apakah ini mimpi, ataukah ilusi ? "
Teman yang baru dikenal, ketemu pun baru dua kali, menawarkan diri menaiki bahtera bersama, mengarungi samudra rumah tangga.
Tanggung jawab besar terlintas, beban di pundak terasa, walau baru sekedar tawaran.
Lelucon macam apa ini ? Aku diam, belum bisa berkata sepatah katapun.
Dia telah mengunci pandanganku. Jantungku berdebar, lebih kencang dari biasa, Kata-katanya meluncur, tanpa jeda, tanpa basa-basi.
Dunia seolah berhenti, waktu pun terhempas. Diriku terkejut, terpana, bibirku membisu tak bergerak.
Rasanya seperti disambar petir di siang bolong.
Mak jleb ! Deg ! Kaget, syok, bingung, semua bercampur jadi satu.
Sungguh jantungku seakan langsung mau copot, rasanya nyaliku menciut seketika.
Ini beneran? Atau aku lagi ngimpi ? Kayak kena setrum listrik, badanku langsung kaku.
Padahal dari tadi, mulai dari berangkat naik kereta tak ada firasat, tak ada tanda-tanda apapun sebelumnya.
Ku lihat wajahnya juga berubah serius, tak ada senyum di bibirnya, tak ada unsur bercanda sama sekali dilihat dari nada bicaranya.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Otakku berputar bekerja keras, mencari kata yang tepat. Ini sih gila ! Sangat gila..., gila ! Tapi dia terlihat tulus, gimana ini ?
"Mbak Rahma..." ; aku memulai bicara, suaraku tercekat.
"Gini..., dengerin aku ya !."
Aku harus membuatnya bisa memahami penjelasanku. Ini terlalu gegabah, sangat mendadak, terlalu publik, dan terlalu cepat.
Rahma tetap di posisinya, duduk menatapku penuh harap.
"Iya gimana ? Jadi, kamu mau mas ?" ; ia tak bergeming, matanya tetap terpaku padaku.
Aku memejamkan mata sesaat. Ini sungguh berat sekali.
"Mbak Rahma, aku..., njaluk ngampurane, aku minta maaf" ; kataku pelan, suaraku lirih.
Aku diam sesaat, Lalu.....
Ku lanjutkan dengan suara sedikit ngegas ; "Ya nggak bisa dong ! Kamu ini gila aja, aku masih nyantri, kamu masih kuliah..., ada-ada aja kamu !"
Senyum di wajah Rahma memudar seketika, berubah menjadi kecut manyun.
Aku mengabaikan bisikan-bisikan penasaran di sekitar kami. Aku harus menjelaskannya dengan baik, agar supaya dia bisa menerima penjelasanku.
"Dengerin aku ya mbak Rahma ! "; aku menatapnya lurus seperti Deddy corbuzier saat men sugesti penonton pilihan.
"Aku memang ngerasa nyaman sekali kalau ngobrol sama kamu, tapi kan, kita juga baru kenal. Dan yang lebih penting lagi, aku masih harus menyelesaikan pendidikanku di pesantren."
"Aku masih punya beberapa tahun lagi untuk menyelesaikan kajian kitab-kitabku."
"Aku sudah janji pada diriku sendiri, pada Kyai, dan juga pada orang tuaku. Mereka sudah banyak berkorban untuk pendidikanku. Aku harus menyelesaikan semua ilmu yang sedang aku pelajari dengan baik."
Rahma menunduk, matanya mulai berkaca-kaca ; "Jadi, pendidikanmu lebih penting daripada aku mas ? Ngapain nyantri lama-lama, Kamu kan udah pinter. Berarti rayuan kamu dari tadi palsu semua dong ? Bulshit semua dong ?"
Suaranya tajam, namun terdengar ada nada pilu di sana. Itu sedikit menusukku, akan tetapi aku harus teguh.
"Bukan begitu, mbak Rahma," aku mencoba menjelaskan selembut mungkin.
"Ini bukan tentang mana yang lebih penting, tapi Ini tentang prioritas. Tadinya aku pikir kamu nggak akan sebaper ini, maksudku ngerayu kamu ya... semata-mata untuk menghibur kamu ."
"Aku ingin bisa mempersiapkan diriku dengan baik untuk masa depan. Aku ingin ilmu yang aku pelajari ini bisa jadi bekal untuk kehidupan nanti."
Rahma tertunduk mendengarkan.
"Aku nggak mau nanti, menikah tapi aku masih terbebani dengan tanggung jawab belajar di pesantren."
"Aku ingin fokus penuh kalau sudah waktunya membangun rumah tangga."
Aku menatap matanya, berharap ia bisa mengerti penjelasanku.
Rahma masih terdiam. Keheningan menyelimuti kami, hanya dipecahkan oleh deru kereta yang terus melaju.
Ajakan tak terduga ini telah membuka celah yang belum siap ku hadapi.
"Aku akan nunggu kamu mas !" kata Rahma disertai mata yang berkaca-kaca, suaranya nyaris berbisik.
Aku diam.
"Tapi berapa lama Mas ? " ; tanya dia lebih lanjut.
Ku tarik nafas...
"Kamu nggak akan tahan nunggu aku mbak Rahma ! Lama lah..., bisa 8 atau 9 tahunan lagi aku di pondok."
Rahma kembali diam, tertunduk kesal.
Kereta terus melaju, membawa kami menuju masa depan yang belum terlukis sempurna, namun penuh harapan.
Aku hanya berharap dia benar-benar bisa memahami tentang tanggung jawab dan kewajiban yang sedang ku emban saat ini.
Setelah diam kurang lebih 10 detik.....
"Ya udah, aku minta nomor telfon pondok kamu mas !" ; pinta Rahma.
"Buat apa ?" ; tanyaku sedikit menyentak namun masih dalam frekuensi 2 kHz.
"Ya buat hubungin kamu lah mas !"
Aku menjelaskan lagi kepadanya, bahwa yang boleh menghubungi ku di pondok itu hanya keluarga. Teman pun boleh, asalkan harus laki-laki.
Rahma masih saja ngeyel ; "Ya bilang aja aku saudara kamu mas !"
"Aku nggak berani bohong sama guru-guruku mbak Rahma ! Apalagi sama Kyai ku, bukan takut kualat, tapi takut nggak barokah ilmunya."
Rahma masih terlihat belum bisa terima dengan penjelasanku.
Sepanjang jalan wajahnya seperti ditekuk-tekuk kalau kata orang betawi.
"Udahlah mbak Rahma..., sekarang kita sama-sama fokus saja selesaikan tanggung jawab masing-masing !"
"Aku selesaikan mondok, kamu selesaikan kuliah ! Nanti juga bakalan ketemu lagi kalau kita memang jodoh."
"Terus kalau nggak jodoh gimana ?" ; dia masih saja ngelawan terus.
"Ya nggak gimana-gimana..., namanya nggak jodoh mau diapain lagi ?"
"Halah..., bilang aja kamu ada cewek lain kan mas !"
"Ya ada si..., eeeeh..., nggak ada kok, orang aku hidupnya di pondok..., mana ada cewek..." ; aku sempat keceplosan.
"Halah..., dasar cowok ! di mana-mana sama aja, tukang bohong !"
"Ya nggak tukang juga kale..., tukang kan nama profesi, kalau pakai istilah tukang bohong, berarti maknanya terus-terusan bohong, kalau aku kan cuma kadang-kadang bohongnya he he."
Aku mencoba mendinginkan suasana dengan kembali bercanda.
Rahma malah makin tak terkendali...
"Kamu harus tanggung jawab udah bikin aku baper mas ! dari awal perjalanan tadi ucapanmu seakan-akan ngasih harapan untukku, kamu nggak bisa lepas tangan gitu aja ! Pokoknya aku mau nunggu kamu ! Titik ! Nggak bisa ditawar !"