NovelToon NovelToon
Revano

Revano

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Sari Rusida

"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"

Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

"Van."

Revano yang baru saja melangkahkan kakinya untuk keluar dari halaman masjid terhenti. Lelaki itu mendapati sahabatnya tengah berdiri tidak jauh darinya, sosok yang memanggilnya tadi. Dia baru saja menyelesaikan shalat isya.

Dimas mendekat. Dia mengetahui kebiasaan sahabatnya itu. Prinsip hidup yang aneh. Siapa yang butuh, dia yang menghampiri.

"Maaf untuk kejadian di rumah sakit tadi." Dimas menepuk bahu Revano, tersenyum.

Revano mengangguk, melangkahkan kakinya. Dimas mengikuti.

"Aku percaya sama kamu, Van. Maaf, karena mungkin tadi aku terlalu cemburu saat kamu mengatakan khawatir pada Risya. Terlebih, saat kamu mendekati Risya yang pingsan di rumah Dita tadi," ucap Dimas mengeluarkan sesuatu yang ia pendam seharian ini.

Inilah sisi positif dari pertemanan mereka. Saling menyuarakan kata hatinya yang menimbulkan perkara yang akan berdampak pada persahabatan mereka. Salah satunya akan mengalah, baik Dimas ataupun Revano.

"Ya, aku akui, aku terlalu cemburu saat itu. Semua orang pasti khawatir melihat Risya yang tiba-tiba jatuh setelah melihat dua keluarga besar yang sedang berkumpul. Aku minta maaf, kamu bersedia memaafkan sahabatmu yang terlalu pencemburu ini, 'kan?" tanya Dimas. Dalam kalimatnya terdapat sedikit sindiran yang jelas Revano dapati.

Revano mengangguk. "Tidak masalah. Aku juga berlebihan menanggapi pingsannya Risya. Sudah jelas-jelas di depan Risya saat itu ada ..." Revano menggidikkan bahunya, tidak berniat melanjutkan.

Dimas mengangguk, merangkul pundak Revano. "Terimakasih, Van. Ohiya, katamu tadi jika terjadi sesuatu dengan Risya, aku diminta untuk menghubungi calon tunanganmu. Aku beritahu saja padamu, agar kamu langsung yang mengatakannya pada Dita."

"Apa terjadi sesuatu dengan Risya?" Wajah Revano terlihat khawatir, reflek ia menghentikan langkah kakinya dan menatap Dimas dengan tatapan serius.

Dimas menepuk bahu Revano, melangkah kakinya. Mau tidak mau Revano mengikuti. Tatapannya masih mengharapkan jawaban.

"Sejak masuk rumah sakit tadi Risya tidak mau menyentuh makanannya. Aku dan Tante Tisa sudah membujuknya sebisa kami ...."

"Astaga! Kenapa tidak mengatakan dari tadi, Dimas? Kondisi Risya bisa saja bertambah buruk jika tidak mengisi perutnya dengan makanan. Dengan begitu, berarti dia belum minum obat juga?" tanya Revano dengan nada khawatir.

Dimas menghela nafas pelan, menggelengkan kepalanya tanpa menatap Revano. Rasa itu, Dimas kembali merasakan cemburu dengan nada bicara Revano. Tidak! Maksudnya dengan bahasa kalimat Revano.

Mengetahui perubahan wajah Dimas, Revano buru-buru menjelaskan, "Maksudku bicara seperti itu agar bisa segera menghubungi Dita, Dimas. Kamu jangan salah paham dulu."

Dimas menatap Revano, kemudian mengangguk percaya. Walau pun sebenarnya mustahil itu alasan Revano, karena nada bicaranya jelas dia sangat-sangat khawatir pada Risya. Bila dibandingkan, mungkin khawatiran Revano lebih besar dari pada dia.

"Aku akan segera menghubungi Dita. Ayo, kita ke rumah sakit dulu," ucap Revano sambil mengeluarkan benda perseginya. Astaga, banyak sekali panggilan yang masuk dari benda pintar itu.

Dimas kembali mengangguk, berjalan beriringan bersama Revano.

***

"Risya, aku minta maaf. Kamu pasti kecapean karena aku yang keras kepala ini. Seharusnya aku lebih ngerti, dan buat kamu nggak perlu capek-capek kayak sekarang. Jadi masuk rumah sakit, 'kan."

Dita menyeka ujung matanya. "Kamu harus sembuh. Apa pun yang terjadi, kamu harus sembuh, Ris."

Risya tersenyum tipis. Tenaganya hampir benar-benar menghilang. Wajahnya bertambah pucat, karena memang belum ada makanan yang masuk ke perutnya.

"Dita, kamu tolong bujuk Risya makan, ya? Tante udah kualahan membujuk anak keras kepala ini," ucap Tisa pelan. Wajah perempuan yang melahirkan Risya itu tambak sembab.

Dita mengangguk, meraih bubur yang yang tadi dibawanya waktu berangkat. Sengaja ia membeli bubur di luar, karena pasti rasa bubur di rumah sakit terasa hambar.

"Kamu makan ya, Ris. Nggak kasihan sama Tante Tisa? Lihat tuh, matanya sembab banget," ucap Dita berusaha membujuk.

Risya masih sama, menggeleng. Dita terus berusaha membujuknya.

"Tante belum makan malam, 'kan? Ayo, Tante, Dimas antar makan di luar. Biar Risya nanti Dita yang membujuknya," ucap Dimas yang merasa iba saat melihat wajah Tisa yang ikut pucat.

"Gimana Tante bisa makan kalau anak Tante aja nggak mau makan?" tanya Tisa dengan suara pelan. Dia tengah duduk di sofa bersama Dimas dan Revano.

Kemungkinan besar Risya tidak mendengar suara Tisa, karena sangat pelan. Dia pun tengah disibukkan dengan Dita yang lumayan berisik karena membujuknya.

"Maka dari itu, Tante jangan sampai sakit juga. Gimana sama Risya kalau sampai Tante sakit?" tanya Dimas masih berusaha membujuk.

"Apa mau saya belikan makan, Tante?" Revano yang sedari tadi diam ikut menimpali.

Dimas menatapnya, benarkah?

"Nggak perlu, Revano. Baiklah. Dimas, antar Tante makan sebentar di luar, ya?" ucap Tisa berdiri dari duduknya.

Dimas mengangguk, pamit pada Revano sebentar kemudian melangkah keluar diikuti Tisa di belakangnya.

Kali ini Revano duduk sendiri di sofa. Tatapannya tertuju pada Risya di ranjangnya. Astaga, wajahnya benar-benar pucat. Revano memutuskan berdiri dan menghampiri kedua gadis itu.

"Biar aku yang coba, Dit." Revano langsung mengambil bubur dari tangan Dita. Gadis itu terlihat kualahan membujuk Risya.

"Nggak akan berhasil, Van. Kamu yang baru satu bulan kenal dia bisa apa? Sedangkan aku yang berbulan-bulan hidup sama Risya aja gagal," ucap Dita dengan nada putus asa.

"Kamu lihat aja," ucap Revano datar.

Risya membuang muka. Wajah itu ... astaga! Wajah yang membuat tidurnya tidak nyaman. Tidak nyata, tidak dalam mimpi, kenapa Revano selalu ada di sekitarnya?

"Terserah kamu. Aku ke toilet dulu, cuci muka," ucap Dita sambil melambaikan tangannya. Dia memasuki toilet yang berada di dalam ruangan Risya.

"Ayo, makan." Revano menyodorkan sesendok bubur, mendekatkannya pada Risya

Risya masih membuang muka, mengabaikan ucapan Revano. Jangankan Revano, perempuan yang melahirkannya saja diabaikan, apalagi dia?

Revano mendekatkan wajahnya pada Risya, memaksa gadis yang sedari tadi membuang muka darinya itu jadi menatapnya sepenuhnya.

Jantung Risya seakan melompat dari tempatnya. Astaga, dia lama sekali tidak menatap mata Revano sedekat ini. Setelah dipikir, memangnya ia pernah menatap Revano sedekat ini?

"Makan." Bubur di sendok itu sudah berada di bibir Risya, hanya menunggu sang empu membuka mulutnya saja.

Entah karena apa, mulut Risya rasanya mudah sekali terbuka. Tatapannya masih terfokus pada manik hitam Revano, candu sekali bagi setiap mata yang menatapnya. Termasuk Risya.

"Pinter." Tangan Revano mengusap kepala Risya. Kenyamanan ini ... Risya merasakannya kembali.

Revano menarik tangannya, kembali duduk. Tatapan Risya masih belum terlepas darinya, bahkan saat Revano menyendokkan bubur kembali pada Risya, gadis itu tetap menerimanya dengan sangat mudah.

"Kenapa nggak mau makan? Kamu nunggu aku yang suapin?" Revano yang tengah mengaduk bubur di tangannya itu bertanya, tanpa menatap Risya.

Seketika Risya membuang muka kembali. "Aku udah kenyang."

"Kenyang lihatin wajah ganteng aku, ya?" Revano mendongak, tersenyum menggoda.

Risya yang sempat melirik kembali membuang muka, tidak menjawab.

"Kenapa bisa sakit?" Revano bertanya, tangannya terjulur memberikan air putih.

Risya tidak menjawab, tidak juga menerima air minum dari Revano. Bahkan, wajahnya tidak memandang senyum Revano yang tengah menggodanya.

Revano berdiri, meletakkan buburnya di nakas. Salah satu tangannya memegang dagu Risya, satunya lagi memegang gelas berisi air putih.

"Kenapa bisa sakit, hm?"

Risya tidak menjawab. Matanya berusaha untuk tidak menatap manik hitam Revano, tapi gagal. Tatapan Revano berbeda dari biasanya.

Astaga! Ingin sekali Risya mengutuk pemikirannya ini. Entah kenapa, hati kecilnya mengatakan ada cinta dari tatapan Revano.

Risya mendorong bahu Revano. Untunglah tenaganya tidak begitu kuat, hingga air yang dipegang Revano tidak tumpah.

"Jangan dekat-dekat. Hati yang kamu jaga bisa liat nanti. Aku nggak mau persahabatanku sama calon tunangan kamu hancur," ucap Risya sambil menatap Revano tajam.

Ucapan Risya mampu membuat Revano terdiam. Matanya masih menatap Risya. Tidak! Lebih tepatnya mata Risya. Kenapa ucapan itu terasa menyakitkan bagi Revano? Nyeri sekali rasanya mendengar kalimat itu.

Revano tidak tahu, kalimat itu tidak pernah terpikirkan oleh Risya. Kalimatnya meluncur begitu saja saat bayangan Revano mengatakan itu melintas dipikirannya.

"Risya!" Dita yang berada di depan pintu kamar mandi terpekik terkejut, menatap ke arah Risya dan Revano.

Keduanya menatap Dita, bingung.

"Kamu beneran mau makan?" Dita menelisik tubuh Risya. Tangan Risya memegang styrofoam, tempat bubur yang dibelinya tadi sebelum ke rumah sakit.

Revano juga menatap Risya. Benar saja, tangan gadis itu memang memegang styrofoam dengan mulut yang sepertinya terisi bubur.

Risya mengangguk. "Nggak betah lama-lama di rumah sakit. Kasihan Mama juga. Nanti kalau Papa tanya keadaan aku, mama harus jawab gimana coba?"

Dita tiba-tiba memeluk Risya, sangat erat. "Gitu dong, ini baru namanya sahabat aku. Kalau kamu udah sembuh nanti, kamu bisa datang ke pertunangan aku. Ya 'kan, Van?" Dita menatap Revano, meminta pendapat.

Revano tidak menjawab, sedikit terkejut dengan ucapan Dita. Wajahnya memang terlihat biasa-biasa saja, tapi hatinya begitu bimbang. Apalagi setelah melihat perubahan wajah Risya, Revano tidak bisa mendefinisikan perasaannya saat ini.

Sedikit bingung, pasalnya Dita tadi sudah memberikan ide yang cemerlang bagi Revano. Tapi sekarang?

"Ohiya, ngomong-ngomong soal pertunangan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, Van," ucap Dita sambil melepaskan pelukannya.

Wajahnya terlihat ceria, berbeda dengan Dita yang penuh air mata pagi tadi. Atau Risya salah liat? Atau mungkin sosok ini dan pagi tadi memang bukan Dita?

Revano hanya diam saat Dita menariknya keluar. Ada yang aneh dengan perasaannya kala melihat wajah Risya yang terlihat murung. Sebelum menutup pintu, sekilas Revano melihat Risya meletakkan buburnya di nakas, dan memilih membaringkan tubuhnya dan membungkusnya dengan selimut.

Risya yang berada di dalam sendiri tengah berperang dengan batinnya. Satu sisi dia marah, kenapa Dita tega memperlihatkan kemesraannya pada Revano di depan matanya? Berniat membuatnya cemburu 'kah? Kalau iya, Dita berhasil melakukan itu.

Sisi Risya lainnya menjawab, Dita calonnya Epan, salahnya di mana? Apa hak dirimu atas kedekatan sahabat dan mantan bodyguard-mu itu?

Dalam diamnya, Risya mengepalkan tangan. 'Jangan cemburu, kumohon. Kamu tidak berhak atas semuanya. Termasuk tidak berhak memisahkan Dita dan Epan.'

••••

Bersambung

1
Roxanne MA
keren thor aku suka
Roxanne MA
lucu banget jadi cemburuan gini
Roxanne MA
bagus banget ceritanya ka
Nami/Namiko
Emosinya terasa begitu dalam dan nyata. 😢❤️
Gohan
Bikin baper, deh!
Pacar_piliks
iihh suka sama narasi yang diselipin humor kayak gini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!