"Bang Akbar, aku hamil!" ucap Dea di sambungan telepon beberapa Minggu lalu.
Setelah hari pengakuan itu, Akbar menghilang bagai di telan bumi. Hingga Dea harus datang ke kesatuan kekasihnya untuk meminta pertanggungjawaban.
Bukannya mendapatkan perlindungan, Dea malah mendapatkan hal yang kurang menyenangkan.
"Kalau memang kamu perempuan baik-baik, sudah pasti tidak akan hamil di luar nikah, mba Dea," ucap Devan dengan nada mengejek.
Devan adalah Komandan Batalion di mana Akbar berdinas.
Semenjak itu, Kata-kata pedas Devan selalu terngiang di telinga Dea dan menjadi tamparan keras baginya. Kini ia percaya bahwa tidak ada cinta yang benar-benar menjadikannya 'rumah', ia hanyalah sebuah 'produk' yang harus diperbaiki.
Siapa sangka, orang yang pernah melontarkan hinaan dengan kata-kata pedas, kini sangat bergantung padanya. Devan terus mengejar cinta Dealova.
Akankah Dealova menerima cinta Devan dan hidup bahagia?
Ikuti perjalanan Cinta Dealova dan Devan hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Gema Kerinduan
Salah Orang
Kemacetan tidak membuat Devan pasrah hanya menatap bahu Dea yang menjauh. Ia turun melompat dari mobilnya, menyisakan Mama Kartini, Zie dan papanya yang saat itu bersedia menjemput Devan di bandara. Tanpa permisi ia sudah duduk dengan gelisah di jok belakang pengemudi ojek online. Ia meminta motor matic yang ia tumpangi mengejar busway yang membawa Dea.
"Pak, saya nggak berani nerobos jalur busway!" teriak driver ojol saat Devan menunjuk jalur busway.
"Saya yang tanggung jawab!" bentak Devan
"Duh gimana ini, lebih baik bapak turun. Saya ngga mau melanggar SOP. Kalau akun ojol saya terblokir, besok saya ngga bisa cari duit pak," protes driver ojol lalu berhenti di pinggir lampu merah.
"Kamu bisa bekerja di perusahaan saya, sekarang kejar busway itu!" ucapnya penuh otoritas.
Dengan terpaksa driver ojol yang mengendarai motor matic itu melajukan motornya mengejar di jalur busway. Mobil terhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang dan mengangkut penumpang. Devan melihat Dea turun di halte tersebut. Ia pun melompat menaiki shelter bus.
"Pak! ini saya gimana!" teriak driver ojol dengan wajah panik karena sudah mendapatkan klakson dari mobil bus di belakang.
Devan kembali turun dari shelter untuk memindahkan motor dan berkoordinasi dengan keamanan Trans Jakarta. Lalu Ia kembali ke bangunan dan terus mengejar Dea yang berjalan ke arah jembatan penyebrangan menuju shelter lain.
"Dea!" Devan menarik lengan gadis yang memakai sweater Hoodie berwarna pink.
"Maaf, ada perlu apa ya?!" jawab gadis itu dengan wajah kaget.
"Owh maaf, saya salah orang." Devan kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penumpang yang berdiri antri di barisan. "Aku yakin sekali itu kamu, De," gumam Devan dengan suara lirih.
Di tempat lain, di sudut toilet shelter busway, Dea sedang bersembunyi. Ia mengigit kuku-kuku jarinya dengan wajah gelisah. Ia sempat melihat Devan beradu mulut dengan security shelter untuk menempatkan motor driver ojol di area parkir yang sempit di samping shelter. Dea langsung membuat strategi dengan menukar hodie pada penumpang lain.
"Bagaimana ia bisa mengenaliku dari sekian ratus orang yang berlalu lalang di sini. Ngapain juga kamu nyari aku lagi mas?" gumam Dea.
Devan menggedor pintu toilet. "Dea, buka pintunya kita harus bicara!" teriak Devan.
Kreekk
"Mas bisa baca tulisan kan? Ini toilet perempuan!" seorang perempuan tinggi besar, usianya sekitar kepala lima keluar dari toilet yang hanya satu-satunya di area itu, sementara toilet pria sudah Devan pastikan kosong.
Wajah Devan langsung menegang. "Ma-maaf... " ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ia langsung menjauhi toilet dan berputar mencari Dea di setiap sudut. Tanpa Devan perhatikan perempuan paruh baya yang tadi keluar dari toilet bersama seorang yang ia cari sejak tadi. Dea terus menyembunyikan wajahnya di tubuh ibu gemuk tinggi besar tadi. Dea tahu ia belum bisa bernapas lega jika belum berhasil keluar dari shelter tersebut. Karena posisi Devan saat ini bisa memantau di kedua sisi shelter transit.
Ibu gemuk tadi menyerahkan pashmina yang ia ambil dari dalam tasnya. "Pakai ini mba, agar wajahmu bisa di tutupi," ucapnya.
"Terima kasih Bu," ucap Dea dengan suara yang masih bergetar.
"Kalau tujuanmu ke shelter seberang sana, kamu pasti akan ketahuan. Lebih baik kamu keluar dari shelter ini melalui pintu karyawan. Dari situ kamu bisa naik taksi atau ojek online ke tujuan kamu," sarannya.
"Baik Bu, terima kasih arahannya."
"Ayo ibu antar ke kantor karyawan," ajak ibu tadi.
Dea mengikuti langkah kaki wanita tersebut dengan perasan was-was.
"Mas, ini adikku. Tolong dilindungi ya sampai ia mendapatkan taksi, suaminya lagi cari dia. Suaminya itu galak sering main tangan," perintah ibu tadi yang ternyata kepala keamanan di shelter itu.
"Baik Bu." Salah satu karyawan berdiri dan mengajak Dea mengikuti pintu karyawan. "lewat sini saja mba."
***
Ingin Kembali
Sementara itu, di dalam mobil yang berisi Kartini, Aditya dan Zie suasana sangat hening. Suara kemacetan seperti gaung yang menjauh. Aditya yang berada di balik kemudi sesekali melirik ke arah kursi penumpang, mencuri pandang pada perempuan yang dulu pernah ia cintai dan perjuangkan.
Kartini membuang jauh pandangannya keluar jendela. Matanya menatap lalu lalang motor yang saling menyalip di antara sela-sela kendaraan lain. Namun, pikirannya dipenuhi rasa sesal akan sikapnya terhadap Dea dan juga putranya. Ia tahu putranya tidak bisa melupakan Dea. Hanya karena ancaman Kasandra tidak boleh mendekati Zie, ia telah membuat Dea dan Devan menderita menanggung kerinduan yang menyiksa.
Sejak kejadian malam itu, putranya tidak lagi bisa tersenyum lepas. Devan selalu tidur dini hari dan seringkali mengigau memanggil nama Dea. Ia melampiaskan kekosongan hatinya dengan bekerja keras hingga larut dalam angka-angka kemajuan perusahaan yang baru ia bangun. Devan benar-benar serius ingin membangun masa depannya di dunia bisnis agar bisa keluar dari genggaman papanya. Dan keluar dari pekerjaan yang sekarang sudah ia geluti selama dua puluh tahun sebagai prajurit.
"Tini, bagaimana kabarmu?" tanya Aditya dengan nada gelisah.
Kartini menoleh, ia meluruskan pandangannya ke arah kaca spion rear view mirror. "Seperti yang kamu lihat, aku tidak buta lagi," ucapnya dengan nada sinis.
"Tin, aku meninggalkanmu bukan karena itu ... " bantah Aditya
"Iya aku tahu kok." Kartini kembali menatap luar jendela.
"Tin, apa kau masih marah padaku?"
"Menurutmu? Apa tidak cukup alasan mengapa aku marah padamu? Semua sudah jelas. Aku ikut Devan ke Jakarta bukan untuk melihatmu, tapi demi putra dan cucuku. Kamu tidak perlu merasa kita masih keluarga. Kita sudah orang lain, mas," ucap Kartini dengan wajah mengeras menahan kesal.
"Tidak bisakah kita kembali seperti dulu?" bujuk Aditya.
Kartini tertawa sumbang. Ia menoleh sedikit dan memandang Aditya dari kaca spion tengah. "Seperti dulu yang mana ya mas? Saat-saat kamu terus menyakitiku? Atau saat kamu meninggalkanku demi janda tiga anak itu, karena alasan dia wanita terhormat dan bisa membangun masa depan kamu?!"
"Tin, kamu jangan sarkas begitu padaku. Saat itu karierku sedang di ujung tanduk. Hanya Tantri yang bisa membantu menyelamatkan karierku di militer," sanggah Aditya. "Dan semua itu untuk kamu, juga Devan."
Senyum asimetris tersungging di bibir Kartini, "untuk aku dan Devan? Terlalu mahir bibirmu berbohong mas. Aku sudah tidak lagi perduli padamu!"
"Tin, lupakan masa lalu. Aku sudah pensiun sekarang. Aku ingin kita membangun masa depan cinta kita berdua."
Kartini tertawa terbahak, hingga Zie yang sedang tidur di pangkuannya sedikit terganggu, bocah itu menggeliat merubah posisi tidurnya.
"Jangan buat perut aku mulas mas, di sini jauh dari toilet. Masih macet juga, repot kalau aku pengen buang angin atau buang air besar karena ucapan kamu," ejek Kartini
"Kartini Sastroamidjojo!" bentak Aditya
"Jangan sebut nama keluargaku! sampai di batu nisanku pun, aku tidak akan memakai nama keluargaku itu!" Kartini balas membentak Aditya. "Begitu pun anakku, jika kamu masih bersikap otoriter pada Devan. Tidak akan kuperkenankan dia memakai nama belakang kamu. Kamu tidak pernah menjadi papa yang baik bagi putraku, kamu mencetak ia menjadi robot bukan manusia." tegas Kartini.
***
POEM DEA
Senja dan secangkir kerinduan. Hembusan angin mendayu-dayu, di langit swastamita yang penuh tanda tanya... Mengapa hatiku masih menjerit memanggil namamu. Ku yakin kau mendengar jerit kerinduanku, entah itu di dalam mimpimu atau dalam kekosongan pikiranmu. Aku lelah menahan rindu di dada yang hampir pecah.
Kau akan selalu tersimpan di sudut hatiku. Untuk kukenang di setiap sepinya malam-malam ku.
Sebagai cinta yang tahu diri
Terkadang, aku masih menatap lekatnya sebuah harapan meski hanya seujung kuku... Hidup ini akan sempurna untukmu juga untukku, atau agar menjadi kita.
Semua hal yang benar akan terjadi, semua orang yang tepat akan datang, semua orang yang salah akan pergi.
Teruntuk pemilik mata teduh yang tidak bisa kutatap langsung. Aku mencintaimu lebih dari apa yang kurencanakan, mungkin lebih dari yang seharusnya.
Aku tidak akan melawan dan menyerang. Aku akan menggantungkan hatiku di tiang kesabaran.
Aku hanya ingin bernapas. Aku hanya ingin hidup.
Tenang seperti ketidakhadiran. Dan kedamaian bukan tanpa gelembung. Aku seperti berdiri di ujung dunia lalu melambaikan tangan pada kebisingan tanpa penyesalan.
Ada jarak yang tidak bisa dijangkau lagi. Meski hatiku sering menoleh ke belakang. Aku tidak lagi mengejarmu. Tapi aku belum sepenuhnya berhenti. Suatu saat, aku akan menyapamu tanpa rasa sakit.
Dea baru saja melangkah keluar dari pintu lift. Ia berjalan dengan wajah menunduk. Di ujung koridor, sesosok lelaki tampan berdiri dengan menyandarkan punggungnya di dinding samping pintu apartemennya. Tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Wajahnya lelah menahan kerinduan. Hingga suara langkah kaki mendekat menyadarkannya dari lamunan.
"Dea, akhirnya ku menemukanmu... "
berarti dea tidak hamil diluar nikah.
🌹untuk Akbar