**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. MERASA BERSALAH
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu di jalan raya. Langit malam dihiasi cahaya lampu jalan dan sorotan kendaraan yang berseliweran. Mobil Jeep hitam Nayaka melaju kencang membelah lalu lintas. Klakson-klakson dari pengendara lain terdengar memekkan telinga. Di belakangnya, mobil sedang Agra terus mengekor, lampu jauh dinyalakan, dan klakson dibunyikan berulang kali.
Nayaka mencengkeram setir dengan kedua tangan, rahangnya mengeras. "Sialan, kenapa dia ikut-ikut!" gumamnya, tak menoleh sedikit pun. Ia menancap gas, menyalip kendaraan dengan sembrono, membuat pengendara lain menjerit dan mengumpat.
"Gila tuh orang! Mau mati?!" suara klakson bersahutan.
Di kursi penumpang, Nadra meringkuk. Tubuhnya gemetar, tangan mungilnya memeluk lutut, wajahnya menghadap jendela. Matanya terpejam erat, seakan berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. "Ibu," bisiknya lirih. "Tolong jemput aku. Aku takut."
Suaranya parau, ada air mata yang tak bisa dibendung lagi, jatuh diam-diam di pipinya yang pucat. Napasnya tersengal, namun tak berani bicara pada Nayaka. Pria itu berubah menjadi seseorang yang asing, kasar, meledak-ledak, dan penuh emosi.
Agra di belakang terus membunyikan klakson. Sesekali ia membuka jendela, meneriakkan nama adiknya, "Nayaka! Hentikan mobilmu! Lepaskan dia!" Namun Nayaka tetap melaju, seperti dikejar kemarahan yang belum selesai.
Nayaka masih menekan pedal gas, matanya fokus pada jalan, tapi pikirannya porak-poranda. Napasnya memburu, seolah kemarahannya belum reda. Namun, di sela deru mesin dan klakson kendaraan yang berseliweran.
Suara tangis Nadra terdengar lirih, namun tajam, menyusup ke dalam kesadarannya yang semrawut. "Uuuhhh, ibu. Nadra takut, hiks."
Telinga Nayaka menangkap suara itu seperti tamparan. Tangannya yang menggenggam setir mulai gemetar. Pandangannya mulai kabur oleh emosi yang berganti menjadi penyesalan.
Ia menginjak rem. Mobil itu perlahan menepi ke sisi jalan, tapi di bawah cahaya redup lampu jalan. Dengan gerakan gugup, Nayaka mematikan mesin. "Nadra," suaranya berat, penuh rasa bersalah. Ia menoleh, tangannya terulur menyentuh pundak gadis itu. "Nadra, aku, aku nggak bermaksud."
Namun sebelum tangannya menyentuh, Nadra menepis dengan tubuh gemetar. "Jangan sentuh aku!" jeritnya, tubuhnya melindungi diri, suara itu keluar dengan isak dan ketakutan.
Nayaka terdiam. Dunia di sekitarnya seperti berhenti.
Detik berikutnya, suara benturan keras terdengar. Agra sudah berdiri di luar mobil, mengetuk keras kaca jendela penumpang. "Nayaka! Buka pintunya sekarang!" bentaknya.
Nayaka hanya bisa terpaku. Tangannya bergerak pelan, membuka kunci pintu. Pintu itu terbuka cepat. Agra membungkuk, memandang wajah Nadra yang basah oleh air mata. Tanpa bicara, ia menyelipkan tangannya ke bawah tubuh mungil itu dan menggendongnya dengan perlahan. Nadra tidak melawan. Tubuhnya lemas, napasnya masih berat, dan matanya tetap menolak menatap Nayaka.
Nayaka berdiri di samping pintu, menatap mereka dengan wajah tercabik-cabik. "Maafkan aku," lirih Nayaka, suaranya serak. "Aku nggak tahu, aku nggak sadar aku udah nyakitin kamu."
Nadra hanya melirik, pandangannya penuh luka. Tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
Agra menoleh pada adiknya. "Perbuatanmu malam ini, sudah aku maafkan." Nada suaranya dingin tapi tegas. "Tapi dengan satu syarat, pulang. Dan bereskan semua kekacauan yang kau buat sendiri."
Nayaka menunduk. Ia tak bisa menjawab. Tak ada kekuatan untuk membantah.
Agra berbalik, membawa Nadra ke mobilnya. Lampu mobil menyala, lalu perlahan menghilang di balik tikungan.
Di dalam mobil yang kini sunyi, Nayaka duduk kembali. Kepalanya tertunduk di atas setir. Lalu, "Bodoh, dasar bodoh!" teriaknya. Tangannya menghantam setir mobil berulang kali. "Kenapa aku begini?! Kenapa aku nyakitin dia?!" Suara teriakannya menggema di dalam kabin. Wajahnya basah oleh keringat dan air mata.
✨✨✨
Sementara itu, di dalam ruang tamu mewah yang masih dipenuhi tawa, musik lembut, dan Kilauan cahaya lampu gantung kristal, pesta tampak terus berlangsung.
Marlina berdiri anggun di antara para tamu. Senyum tipisnya tak pernah pudar, seolah pesta ini berjalan sempurna. Namun matanya selalu memandang ke arah pintu utama, menanti dengan kegelisahan yang tak bisa ia tunjukkan di wajah.
Di sisi lain ruangan, Surya Adiprana Prameswari, dengan tongkat ukiran di tangan kirinya, mulai kehilangan kesabaran. Ia mendekat ke arah Wiratama, dengan suara rendah namun penuh tekanan. "Jika sepuluh menit lagi Nayaka tidak muncul juga, maka batalkan semua. Termasuk kerja sama dan proyek di Surabaya."
Wiratama, yang tengah berdiri tegap dengan tangan di punggung, menoleh sedikit. Tatapannya tidak bergeming, namun tegang. "Tenang, Pak Surya. Anak saya bukan tipe yang suka main-main."
Dan seakan semesta mendengarnya. Nayaka akhirnya muncul. Langkahnya pelan, setelan jasnya tampak kusut, dan wajahnya jelas menggambarkan kekacauan batin yang belum reda. Rambutnya sedikit acak, matanya sembab, tapi dia tetap berjalan menuju Mamanya.
Marlina cepat-cepat menghampirinya, senyumnya mengembang meski jelas penuh kepalsuan. "Sayang, kamu pasti lelah, ya?" ujarnya lembut, tangannya terulur merapikan rambut putranya dengan penuh kasih yang dibuat-buat. "Mama tahu kamu pasti datang."
Nayaka hanya menunduk pelan. Tak ada kata.
Suara mikrofon menyentak semua perhatian. Wiratama sudah berdiri di panggung kecil depan ruangan. "Para tamu yang terhormat," suaranya menggelegar, percaya diri. "Malam ini, bukan hanya malam silahturahmi antara dua keluarga besar. Tapi juga malam yang kami dedikasikan untuk kebahagiaan putra saya, Nayaka Wiratama, dan putri dari sahabat lama saya, Ayana Prameswari."
Tamu-tamu mulai bertepuk tangan. Musik pelan berganti menjadi lebih khidmat. Ayana, senyumnya manis namun penuh ambisi. Ia mendekat ke sisi Nayaka.
Pelayan mendekat, membawa kotak cincin berlapis beludru hitam, lalu menyodorkannya ke Nayaka.
Marlina menyentuh lengan putranya, berbisik lembut namun penuh tekanan. "Pasangkan. Sekarang."
Nayaka berdiri kaku. Tangannya masih menggantung di udara, membawa cincin itu, tepat di depan jemari halus Ayana yang telah terulur anggun, siap menerima.
Semua mata tertuju padanya. Suasana seketika menegang. Tawa dan musik seakan meredup. Ia melirik ke arah Marlina. Sang Mama berdiri anggun di sisi panggung, senyum tipisnya masih terjaga, tapi sorot matanya dingin, tajam, penuh perintah. Kode keras itu jelas, jangan mempermalukan keluarga.
Nayaka menarik napas dalam-dalam. Hatinya masih bergejolak, pikirannya kacau. "Tolak saja, pergi. Nadra yang kau cinta." Tapi detik berikutnya, pikirannya mengalir ke arah lain. "Apa gunanya? Pada akhirnya, aku tetap seperti Abang. Menikah karena perintah, lalu hancur." Ia memejamkan mata sejenak. Kemudian dalam satu gerakan cepat dan dingin, ia memasangkan cincin itu ke jadi manis Ayana.
Seketika, tepuk tangan meriah menggema. Tamu-tamu berdiri, beberapa bersiul, kilatan kamera menyerbu dari berbagai arah. Suara musik kembali naik, kali ini melodi bahagia menggema di seluruh ruangan.
Ayana tersenyum lebar, ia membungkuk sedikit memberi hormat ke arah tamu, lalu melirik Nayaka dengan mata berbinar. "Kita resmi bertunangan," bisiknya pelan di antara kegaduhan pesta.
Nayaka tak menjawab. Pandangannya kosong, bibirnya menegang. Seolah tubuhnya ada di sana, tapi jiwanya tertinggal di jalanan tadi, di dalam mobil, bersama ketakutan dan air mata Nadra.
Bersambung