Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA10
Alan meninggalkan kediaman Maya dengan wajah masam, penuh amarah dan kekecewaan.
Tidak lama setelah kepergiannya, Maryam muncul dari dalam kamar, membawa beberapa kotak perhiasan yang sangat mewah. Itu adalah hadiah dari Maya, seperangkat perhiasan emas dan berlian, nilainya diperkirakan mencapai 800 juta hingga 1 miliar rupiah.
Maya tidak memberikannya sekaligus. Ia mencicil tiap bulan, berdalih mendapat bonus kerja dan hasil dari bisnis online-nya. Semua itu dirancang rapi demi menutup aib dari keluarganya.
Beberapa waktu lalu, Maya sempat meminta Alan untuk membantunya membuat sebuah toko baby shop premium di salah satu mal terbesar di kota. Selain karena ia memang ingin memulai usaha, Maya juga menjadikannya sebagai alibi, sebuah kedok bisnis agar statusnya sebagai simpanan pewaris konglomerat tak terbaca oleh siapa pun, terutama oleh ibunya.
"Prak!"
Kotak perhiasan itu terlempar, jatuh keras tepat di hadapan Maya. Ia terpaku, air matanya masih mengalir, terkejut menatap wajah ibunya yang penuh amarah.
Roy baru keluar dari kamar setelah mengantar sang ayah beristirahat, dan mendapati suasana rumah yang tegang.
"Kembalikan semua ke pacarmu yang kaya raya itu! Ibu tidak butuh harta dari hasil zina, Maya!" bentak Maryam dengan suara bergetar, dikuasai amarah dan luka yang mendalam.
"Pantas saja uangmu tidak pernah habis! Ternyata benar omongan warga, kau bekerja sebagai lonte di Jakarta! Dan aku... aku ini terlalu bodoh, terlalu percaya, gagal menjadi ibu!" Maryam memukul-mukul kepalanya sendiri, menyesali diri.
"Bapakmu sering ceramah agama mesjid, ibu bendahara pengajian. Sekarang... di mana muka kami mau diletakkan, Maya!" jeritnya sebelum terjatuh terduduk, menangis pilu.
Maya segera merangkak, berusaha mendekati ibunya dengan linangan air mata.
"Ibuk… hiks… maafkan Maya, Buk…"
"Jangan sentuh aku!"
Suara Maryam melengking, diselimuti histeria. Ia tiba-tiba menarik rambut Maya, menyeretnya menuju kamar mandi.
Maryam mengguyur tubuh Maya yang meringkuk, wanita itu menutupi wajahnya dengan tangan agar tidak megap.
"Dengan air ini, bisa membersihkan tubuhmu dari aura lonte mu yang menjijikan itu!" desis Maryam dengan gigi yang tertutup rapat."
Tampak di wajah Maryam, air mata tak berhenti mengalir, campuran marah, malu, dan kecewa yang luar biasa.
"Ampun, Buk! Maya minta ampun…Maya menyesal Bu..." jerit wanita itu dalam isak tangisnya.
"Kau sudah menipu kami habis-habisan, Maya!" Maryam terus mengguyur putrinya.
Roy segera masuk, menarik tangan sang ibu.
"Sudah, Buk! Sudah cukup! Sekalipun Ibu bunuh Mbak, semua sudah terjadi! Mbak kan sudah minta maaf, Buk! Dia menyesal!" ucap Roy dengan lembut namun tegas.
Tangis Maya makin berat dan sesak.
"Argh!" jerit Maryam membanting gayung ke lantai. Ia bergegas keluar meninggalkan Roy, juga Maya yang basah kuyup di lantai kamar mandi.
Roy buru-buru mengambil handuk dan menyelimuti tubuh kakaknya.
"Maafkan Mbak, Roy…" Maya bangkit dan memeluk adiknya dengan erat, suaranya parau tertahan tangis.
"Iya, Mbak. Roy maafin Mbak kok."
"Terima kasih, kamu masih mau maafin Mbak…" lirih Maya, merasa hancur namun masih sedikit menemukan harapan dalam pelukan sang adik.
Roy mengangguk pelan.
"Roy tahu, Mbak itu pengen angkat derajat keluarga. Tapi bukan begini caranya, Mbak…" ujarnya lembut, menenangkan Maya.
"Ibu dan Bapak itu bangga banget cerita soal Mbak ke warga. Makanya mereka marah dan kecewa. Mereka malu, sekarang… mereka jadi bahan omongan."
"Mbak janji... Mbak nggak akan bikin mereka kecewa lagi!" Maya menunduk dalam tangisnya.
"Ya sudah, ganti baju dulu gih…" ucap Roy menuntun kakaknya sampai ke pintu kamar.
Roy membantu pelayan membersihkan ruangan rumahnya. Dalam waktu dekat, Roy akan segera lulus dari bangku SMA. Ia termasuk sosok anak lelaki Ardi yang sudah menunjukkan sikap bijaksana dan tanggung jawab.
Di sisi lain, di sebuah apartemen mewah...
Alan merendam tubuhnya dalam bak mandi, matanya menatap kosong ke langit-langit. Kepalanya terasa panas, hingga ia menempelkan handuk dingin ke dahinya.
"Sial… Dua miliar melayang, tapi Maya tetap tak bisa kubawa pulang!" gerutunya kesal.
Ego Alan masih tebal membungkus dirinya. Pria itu menganut paham bebas ala Barat, menginginkan keluarga tanpa perlu ikatan pernikahan. Namun dalam amarahnya, ia tidak bisa menolak satu hal: kekagumannya pada sosok Ardi, ayah Maya.
Lelaki tua sederhana itu tak bergeming oleh godaan uang yang ditawarkan oleh Alan, bahkan dengan tegas mengusir Alan dari rumahnya tanpa rasa takut sedikit pun.
"Pantas Maya seperti itu… Ia lahir dari ayah dan ibu yang luar biasa." gumam Alan lirih.
Alan tidak percaya jika ada manusia yang tak silau pada harta. Ia terbiasa mengalahkan, menundukkan seseorang dengan uang. Itulah kekuatan Alan.
Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia justru merasa kalah.
Alan menutup mata. Dalam kesunyian, ia kembali membayangkan senyum manis Maya. Senyum yang dulu begitu polos, saat mereka pertama kali bertemu dalam sesi wawancara. Keduanya sama-sama saling memandang dengan senyuman terbaik. Gadis itu berbeda dari semua wanita yang pernah Alan temui, hingga terjadi transaksi diantara keduanya yang saling menguntungkan.
Namun sekarang Alan mengakui, Maya bukan hanya cantik secara fisik, hati, tapi memiliki harga diri yang ternyata tak bisa dibeli.
Malam-malam menjadi siksaan tanpa ampun bagi Alan.
Setiap kali mencoba tidur, baru saja menarik selimut, bayangan Maya langsung menyergap di pikirannya. Sebelum melakukan hubungan terlarang layaknya suami istri, Alan dan Maya terlebih dulu bercengkrama manis, saling curhat membangun komunikasi sehat.
Saat hendak makan, ia kembali teringat, Maya yang dulu selalu dengan sabar menyuapinya di tengah kesibukan menyusun laporan.
Mau mandi... apalagi. Semua sudut terasa hidup, menyimpan jejak wanita itu, penuh hasrat dan nafsu yang membakar.
Dengan frustasi, Alan meremas rambutnya sendiri.
Cintanya pada Maya yang dulu manis dan menggebu, kini perlahan berubah menjadi racun yang menyiksa batinnya.
Senyum Maya. Tawanya yang manja. Suara napasnya saat tertidur di pelukannya, semuanya hadir seperti hantu yang tak mau pergi.
Yang bisa Alan lakukan kini hanya menatap kosong ke layar ponselnya. Melihat foto-foto mereka. Video-video kenangan yang cukup mesra seharusnya membuat bahagia namun kini hanya menambah luka.
Alan kesal, ia melempar ponselnya ke ujung ranjang dengan frustasi.
Alan menarik selimut tinggi-tinggi, menutupi sekujur tubuhnya seolah bisa mengusir bayangan Maya yang terus menghantuinya. Tapi percuma. Semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Maya bermain di kepalanya.
Malam itu Alan gelisah bukan main. Ia membolak-balikkan badannya, seperti telur ceplok yang tak kunjung matang. Gaya nungging, tengkurap, telentang, semua ia coba.
Alan juga mencoba menutup rapat kepalanya dengan bantal, mendengarkan musik mulai dari headset yang terpasang di telinga hingga speaker kamar yang keras (ala-ala diskotik) bahkan ia sempat menyemprotkan aroma terapi penenang ke udara. Tapi tetap saja, Maya menari di benaknya, dengan tawa, suara lembut, dan tatapan yang dulu selalu membuatnya lemah.
Padahal ia tahu, besok banyak project penting menantinya. Ia harus fokus. Harus bisa tidur.
"Ini benar-benar gila..." desis Alan dengan suara parau. Tubuhnya tergeletak lemah, sementara sorot matanya yang memerah menampakkan kelelahan dan kepanikan yang mulai menguasai dirinya.
serendah itukah Maya di matamu key...
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan