Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 34 Lilin yang Tak Pernah Padam
Aira duduk sendiri di ruang tengah Rumah Cahaya. Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun suara langkah dan gumam perempuan yang tinggal di rumah itu belum juga berhenti.
Hari ini, ada dua orang baru datang ibu dan anak yang melarikan diri dari rumah suaminya setelah hampir dicekik karena masalah uang dapur.
Aira menatap lilin yang menyala di meja. Lilin itu ia nyalakan setiap malam. Bukan karena listrik padam, tapi sebagai simbol. Cahaya yang sederhana tapi setia menemani malam gelap. Ia sudah berjanji, Rumah Cahaya tak boleh padam walau hanya oleh angin pelan atau keraguan kecil.
Suara pintu diketuk. Aira bangkit danmembukanya. Seorang perempuan muda dengan ransel lusuh dan mata merah berdiri gugup di ambang pintu.
“Permisi... saya Niken. Katanya... Mbak Aira bisa ditemui kalau mau bicara,” katanya sambil menunduk.
Aira tersenyum hangat. “Masuklah. Tak perlu takut.”
Mereka duduk di dapur. Niken menjelaskan bahwa ia seorang jurnalis lepas. Ia mengikuti perjalanan Aira sejak berita persidangan Gibran mencuat ke media lokal. Ia merasa kisah Aira bukan hanya tentang kekerasan rumah tangga, tapi tentang keberanian untuk hidup kembali.
Aku ingin mengangkat kisah para penyintas, termasuk Mbak Aira... dalam serial dokumenter pendek. Tapi tenang, wajah bisa disamarkan, nama bisa diganti. Tapi cerita biarkan cerita itu bicara.
Aira memejamkan mata sesaat. Tawaran itu mengguncang hatinya. Ia tahu, semakin banyak orang mendengar, semakin banyak kemungkinan yang terbuka. Tapi juga semakin besar risikonya.
“Kenapa kamu ingin mengangkat cerita seperti ini, Niken?” tanya Aira.
Niken tersenyum pahit.
“Karena ibuku gak sempat bercerita.
Ia meninggal sebelum ada yang percaya bahwa suaminya, ayahku memang monster.”
Aira terdiam. Lalu mengangguk.
“Kalau begitu... kita mulai dengan cerita orang lain dulu. Bukan aku.”
Malam itu, Aira berjalan ke ruang tengah.
Lima perempuan duduk melingkar, sebagian menulis di kertas, sebagian hanya diam sambil memeluk lutut.
“Besok malam kita mulai hal baru,” ujar Aira.
“Satu per satu kita akan menulis surat untuk diri kita yang dulu. Surat itu tidak akan dipublikasikan. Tapi surat itu akan menyelamatkan satu bagian dari jiwa kalian.”
Lila remaja yang datang minggu lalu mengangkat tangan.
“Kalau aku gak bisa nulis, gimana?”
Aira tersenyum.
“Kamu bisa menggambar. Atau rekam suara. Atau cukup duduk dan menangis. Tak ada cara yang salah untuk sembuh.”
Keesokan harinya, Niken mulai mewawancarai salah satu penghuni, Sari, yang bersedia berbicara secara anonim.
Aira hanya duduk di belakang kamera. .Tak ikut bicara. Tapi hatinya terasa menghangat. Cahaya mulai menyebar. Dari satu lilin ke lilin lainnya.
Namun di malam keempat, Aira menerima pesan anonim di ponsel rumah.
Rumahmu cuma tempat perempuan gagal berkumpul. Tunggu saja, lilinmu akan padam."
Nomor tidak dikenal.
Aira menggenggam ponsel erat-erat. Tubuhnya bergetar. Luka-luka lama berusaha kembali hidup.
Tapi ia tidak membiarkan rasa takut menguasai. Ia menghubungi seorang pengacara dari jaringan LSM yang membantunya dulu, lalu menguatkan pengamanan rumah dan memberi edukasi kepada para penghuni tentang perlindungan digital.
Rumah Cahaya tak boleh padam.
Aira memandangi wajah perempuan di hadapannya sosok yang memperkenalkan diri sebagai Rani, staf sosial dari komunitas Perempuan Bangkit.
Rani tampak muda, tak jauh berbeda usianya dari Aira. Namun sorot matanya menyimpan kelelahan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang pernah terluka dan bangkit.
"Kenapa kamu memilih datang diam-diam ke rumah aman ini?" tanya Aira hati-hati.
Rani tersenyum kecil.
“Karena aku tahu rasanya ingin menolong... tapi tidak semua orang siap melihat kita melawan. Aku tahu kamu sedang membangun hidup baru. Tapi juga tahu, kamu tidak akan tinggal diam saat melihat perempuan lain terjebak seperti dulu.”
Aira terdiam. Jiwanya terasa disentuh.
Ada seorang ibu muda,” lanjut Rani,
“dia punya dua anak kecil. Suaminya mantan aparat, sangat dominan, dan selalu lolos dari laporan karena kenal dengan orang dalam. Kami sudah beberapa kali berusaha menjemput ibu itu, tapi gagal. Dia takut. Terlalu takut. Tapi setelah membaca tulisanmu yang viral di platform menulis, dia bilang ingin bertemu dengan ‘perempuan yang bisa bertahan meski dunia seolah menolaknya’.”
Aira terpaku. Ia tidak pernah menyangka tulisannya bisa menjadi cahaya bagi seseorang sejauh itu. Hatinya menghangat sekaligus bergemuruh.
“Dia ingin kamu datang langsung. Diam-diam. Hanya kamu dan satu orang dari kami. Dia percaya padamu,” ujar Rani pelan, penuh harap.
Aira menarik napas panjang. Mungkin inilah panggilan yang selama ini ia tunggu.
Dua hari kemudian, Aira mengenakan pakaian sederhana, topi lebar, dan masker hitam. Ia dan Rani naik mobil kecil menuju pinggiran kota.
Di dalam perjalanan, Aira menulis ulang kata-kata penyemangat di catatannya, jika sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berbicara pada perempuan itu.
Sesampainya di tempat tujuan, mereka berhenti di sebuah rumah kontrakan sempit. Mata Aira langsung menangkap seorang perempuan muda dengan mata sayu dan dua anak kecil yang bermain dengan boneka plastik. Ibu muda itu menyambut mereka dengan tangan gemetar, tapi begitu melihat Aira, ia langsung menangis.
“Aku pikir aku sendirian... tapi waktu baca tulisanmu... aku tahu aku harus kuat,” lirihnya.
Aira memeluknya. Tanpa banyak kata, hanya pelukan yang dalam dan penuh makna. Dari pelukan itu, seperti biasa, Aira meminjamkan kekuatan.
Hari itu, mereka berdiskusi panjang. Merancang strategi pelarian yang aman, termasuk menitipkan anak-anak ke rumah perlindungan khusus anak.
Aira tak hanya bicara, tapi juga mendengar.
Ia tahu, keberanian tidak selalu datang dalam teriakan. Kadang datang dalam bisikan pelan: aku ingin hidup lebih baik.
Malam harinya, Aira kembali ke rumah aman. Ia duduk di teras, menatap bintang, dan memikirkan perjalanan yang masih panjang.
Ia tahu ini bukan akhir. Justru awal dari peran barunya. Bukan lagi sekadar penyintas, tapi penyalur cahaya.
Lilin dalam dirinya memang pernah hampir padam . tapi kini, ia memantikkan api untuk lilin-lilin lain yang hampir habis.
Dan Aira tahu, malam tak akan selamanya menang.
Hari demi hari, Aira mulai terbiasa dengan alur kehidupan barunya, bukan lagi sekadar bertahan hidup, tapi menjadi cahaya bagi hidup orang lain.
Rumah Cahaya Aira kini tidak hanya menjadi tempat aman, tetapi juga ruang pemulihan.
Di dalamnya, ada tawa kecil, suara tangis yang tak lagi disembunyikan, dan percakapan tentang harapan.
Tapi seperti malam yang tak pernah benar-benar hening, kedamaian itu perlahan terusik.
Suatu sore, saat Aira sedang mendampingi sesi menulis bersama para penyintas, Rani datang tergesa. Wajahnya tegang.
"Ada surat yang datang ke rumah aman, ditujukan ke kamu,"
bisiknya sambil menyerahkan amplop cokelat polos. Tak ada pengirim, hanya nama Aira tertulis dengan huruf balok rapi.
Aira membukanya dengan tangan gemetar.
Kau pikir sudah menang? Ini belum selesai. Kau menyentuh orang yang seharusnya tidak kau dekati. Jika kau terus ikut campur, akan ada yang terbakar. Bukan hanya lilinmu.
Tinta merah. Bukan sekadar ancaman. Ini peringatan.
Aira menarik napas panjang. Sudah lama ia bersiap untuk ini . bahwa ketika ia memutus rantai kekerasan, ada pihak yang akan marah.
Tapi ia tak menyangka, mereka akan tahu secepat itu... dan mengintai.
Malam itu, saat semua tertidur, Aira menyalakan satu lilin kecil di ruang depan. Cahaya remangnya membasahi dinding rumah aman yang tenang. Ia tahu, ini mungkin babak baru dalam pertarungan panjangnya.
Ia menulis di jurnalnya:
Jika ada yang terbakar karena aku menyalakan lilin, maka mungkin api ini memang dibutuhkan. Aku tak akan memadamkannya. Biar terang ini menyakitkan mereka yang bersembunyi dalam gelap.
Namun, saat hendak menutup jurnalnya, suara notifikasi HP berbunyi Satu pesan anonim masuk:
Kami tahu rumah ini. Waspadalah.
Wajah Aira menegang. Rumah aman tak seharusnya diketahui siapa pun di luar komunitas internal.
Dengan cepat, Aira menelepon Rani dan beberapa relawan. Malam itu, mereka mengamankan semua penyintas, memindahkan ke lokasi cadangan yang selama ini dirahasiakan, termasuk anak-anak. Aira tetap bertahan di rumah itu, menunggu jika memang seseorang datang, agar ia yang pertama menghadapi.
Keesokan harinya, media sosial mulai ramai.
Salah satu akun gosip lokal menyebarkan cuplikan tulisan lama Aira yang pernah ia bagikan sebagai bentuk keberanian dan memelintir narasinya.
Mereka menyebut Aira mengada-ada, hanya cari perhatian, bahkan menuduhnya memprovokasi perempuan untuk
“melawan suami sendiri.”
Komentar jahat bermunculan. Beberapa akun bot menyerang.
Tapi di tengah badai itu, ada juga ribuan komentar dukungan.
“Karena tulisan Kak Aira, aku bisa kabur dari rumah malam itu.”
“Jangan mundur, Kak. Lilinmu jadi cahaya buat banyak dari kami.”
Aira membaca semua komentar dengan mata berkaca. Ia tahu: ini bukan tentang dirinya lagi. Ini tentang mereka semua.
Sore harinya, Aira menerima panggilan dari nomor tak dikenal.
“Selamat sore, dengan Aira?”
“Ya, saya sendiri. Maaf, ini siapa?”
“Saya Sinta, dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Kami mendapati laporan bahwa Anda dan komunitas Anda mulai terancam karena menangani kasus ibu muda bernama Nisa. Kasus ini... sangat sensitif. Suaminya termasuk dalam daftar pengawasan lama kami. Kami butuh bertemu. Segera.”
Deg.
Aira tak menyangka, kasus itu ternyata lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ini bukan sekadar kekerasan rumah tangga. Ini menyangkut jaringan kekuasaan.
Aira memejamkan mata. Untuk sesaat, ia merasa kecil lagi. Takut.
Namun, saat membuka mata, ia menatap lilin kecil yang masih menyala di meja.
“Kalau ini jalan yang Tuhan pilihkan, aku akan terus berjalan. Meski sendiri. Meski harus terbakar.”
Ia membuka laptop. Menulis lagi.
Dan di akhir tulisannya, ia menambahkan kalimat yang mengguncang banyak hati:
Jika aku tak bisa menyelamatkan semua perempuan, maka setidaknya aku akan tetap menyuarakan mereka yang dibungkam.