NovelToon NovelToon
Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Berenkarnasi Menyelematkan Kahancuran Keluarga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Light Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Michon 95

Hidup terkadang membawa kita ke persimpangan yang penuh duka dan kesulitan yang tak terduga. Keluarga yang dulu harmonis dan penuh tawa bisa saja terhempas oleh badai kesialan dan kehancuran. Dalam novel ringan ini kisah ralfa,seorang pemuda yang mendapatkan kesempatan luar biasa untuk memperbaiki masa lalu dan menyelamatkan keluarganya dari jurang kehancuran.

Berenkarnasi ke masa lalu bukanlah perkara mudah. Dengan segudang ingatan dari kehidupan sebelumnya, Arka bertekad mengubah jalannya takdir, menghadapi berbagai tantangan, dan membuka jalan baru demi keluarga yang dicintainya. Kisah ini menyentuh hati, penuh dengan perjuangan, pengorbanan, keberanian, dan harapan yang tak pernah padam.

Mari kita mulai perjalanan yang penuh inspirasi ini – sebuah cerita tentang kesempatan kedua, keajaiban keluarga, dan kekuatan untuk bangkit dari kehancuran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Michon 95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 : Pelakunya Adalah

Prespektif Adelia

Sama seperti malam sebelumnya, aku dan Cindy masuk lewat pintu belakang sekolah. Kami menunggu dua peserta terakhir di dekat api unggun di tengah lapangan basket, dan setiap pasang mata memandangi salah satu anak yang datang telat. Mereka menatap anak itu dengan tampang kekecewaan yang bisa kurasakan walaupun mereka mengenakan topeng.

Kalau dipikir-pikir, ujian seleksi ini benar-benar contoh persaingan yang mengerikan.

"Hanya sembilan orang, berarti satu orang dinyatakan gagal ujian," kata anggota berjubah hitam yang, dari cara bicaranya yang kaku, sepertinya si Hakim Tertinggi. "Sekarang kita akan mulai ujian seleksi ronde kedua. Misi kalian malam ini adalah mendatangi lima pos yang masing-masing dijaga oleh para anggota The Judges dan menjawab pertanyaan seputar sekolah kita. Setiap jawaban yang benar akan mendapat satu poin. Peserta dengan poin terendah otomatis akan gugur. Bila poin terendah hanya ditempati lebih dari empat orang, maka kita akan mengulang proses yang hanya diikuti oleh orang-orang dengan poin terendah."

"Lalu di mana para anggota The Judges yang harus kami datangi?" tanya salah satu peserta.

"Kalian harus mencarinya sendiri," ucap orang yang sepertinya si Hakim Tertinggi. "Nah sekarang, kami para anggota The Judges akan pergi ke pos kami masing-masing. Kalian akan menyusul saat lonceng berbunyi tiga kali."

Semua orang memandangi para anggota The Judges yang berpencar.

Teng-teng-teng!

Semua orang langsung berlari dengan kecepatan tinggi dan mantap seolah-olah tahu ke mana mereka harus pergi, sedangkan aku masih berdiri di tempat sambil memikirkan ucapan salah satu anggota The Judges.

Lima pos yang masing-masing dijaga oleh satu anggota The Judges. Ada empat bangunan gedung sekolah yaitu gedung kelas, gedung ekskul, gedung lab, dan auditorium. Setiap gedung pasti minimal ada satu pos.

"Halo, Darling."

Aku tersentak. Rupanya bukan cuma aku yang masih berada di lapangan. Dari panggilan itu, aku tahu siapa pemilik suara itu—Ralfa. Dia juga masih di situ bersamaku. Jujur saja, aku sangat senang karena saat ini pacarku ada bersamaku untuk menyelesaikan ujian ini.

"Ayo kita ke gedung auditorium," kata Ralfa.

Seperti tadi malam, kami berjalan berdampingan sama seperti saat kami sedang berkencan. Semoga saja dia tidak mendengar bunyi detak jantungku yang sudah berdeham-debam. Ya, aku tahu kami sudah berpacaran cukup lama, tapi sampai saat ini, saat kami hanya sedang berduaan, jantungku masih berdeham-deham.

Kami memasuki gedung auditorium yang gelap gulita dan berhenti di depan TKP tadi malam, memandangi panggung auditorium yang kini sudah bersih seperti biasa.

"Adelia," mendadak kudengar suara Ralfa yang bernada cemas, "kalau nggak sanggup masuk ke sini, kita bisa mulai dari tempat lain aja."

Aku menggeleng. "Aku nggak apa-apa."

Pandanganku akhirnya jatuh pada koridor yang menuju belakang panggung auditorium. Di belakang panggung terdapat gudang kecil yang tidak terpakai lagi.

Aku berjalan menuju koridor itu. Bukannya aku tidak sadar, suasana malam ini menyeramkan banget. Tapi aku tidak perlu takut, ada Ralfa di sini.

Aku mengulurkan tangan, siap membuka handle pintu, tapi sebuah tangan mencegahku.

"Biar aku aja," kata Ralfa.

Aku menahan napas, antara tegang menghadapi apa yang ada di balik pintu dan terpesona dengan sikap Ralfa yang melindungiku.

Ralfa membuka pintu. Terdengar suara derit mengerikan. Di balik pintu itu hanya ada kegelapan yang menyambut kami. Ralfa melangkah maju dan aku berjalan mengikuti di belakangnya.

Kami pun memasuki ruangan itu. Karena gelap, nyaris tidak ada yang bisa kulihat di ruangan itu, selain sepasang mata yang membalas tatapanku dari ujung ruangan.

Sesaat aku tidak tahu apa yang kulihat. Lalu kusadari itulah anggota The Judges. Yang kami lihat hanyalah matanya karena dia mengenakan seragam serba hitam yang membuatnya berbaur dengan kegelapan.

"Ini pos ujian seleksi The Judges," kata anggota The Judges dengan suara kaset rusak bernada datar. "Hanya ada satu yang boleh masuk."

"Enak aja," tukas Ralfa. "Darimana kami tahu ini bukan jebakan yang sama yang mencelakai Amirudin?"

"Oke, kalian boleh maju berdua."

"Pertanyaan untukmu, Adelia Rodiyatul." Wah, dia juga mengenaliku, meski aku sudah mengenakan topeng. "Siapa orang yang sudah mencelakai Amirudin?"

Prespektif Cindy

"Kamu tahu kan aku nggak berminat ikut tes ini?" Suara kalem Danny menggema dari balik topeng yang dikenakannya.

"Yap."

"Lalu kenapa poinku tau-tau udah lima?"

"Mungkin karena jawabanmu dari tadi benar terus?"

"Itu konyol, jawabanku nggak ada yang serius kok. Mungkin bukan jawabannya, tapi yang lebih penting kemampuan kita buat nemuin pos-pos itu."

"Sepertinya begitu."

Sepanjang malam ini, aku berkeliling bersama Danny. Setiap kali kami menemukan pos, kami disuruh menjawab pertanyaan secara bergilir, dan masing-masing tidak boleh mendengarkan pertanyaan anggota yang lain.

"Tumben kamu hari ini bareng aku dan nggak bareng Adelia?" tanyaku.

"Aku biarin dia belajar mandiri tanpa aku."

"Kita juga akan membekuk penjahat itu kan?"

"Tentu saja, meski aku belum nemu tanda-tanda siapa pelakunya."

"Btw, kamu lihat Adelia dan Ralfa tadi?" Dari suaranya, aku tahu Danny sedang nyengir dan aku ikut nyengir pula. Habis tadi kami melihat Adelia dan Ralfa jalan berbarengan. Menurutku hal yang wajar karena mereka sudah berpacaran. Saat di depan pintu gedung auditorium, Ralfa langsung maju memegang handle untuk melindungi Adelia.

"Yep, kayanya mereka ada sesuatu," ucap Danny.

"Bukan ada lagi, tapi mereka emang udah pacaran cukup lama," sahutku, yang membuat Danny kaget.

"Eh, sejak kapan?"

"Sejak liburan semester. Waktu itu aku tanpa sengaja memergoki mereka berdua sedang berkencan. Tapi mereka memintaku merahasiakan hubungan mereka."

"Kenapa mereka minta hubungan mereka dirahasiakan?"

"Entahlah," sahutku sambil mengangkat bahu. "Tapi aku senang sahabatku bersama orang yang tepat."

"Ya, aku juga percaya Ralfa adalah anak yang baik."

"Tapi siapa sangka, kejadian waktu itu bisa membuat mereka dekat dan akhirnya pacaran," kataku sambil tersenyum di balik topeng.

Danny hanya mengangguk. "Dan siapa sangka, keluarga mereka berteman dekat, juga dengan keluargaku. Bahkan sekarang kami menghadapi masalah yang sama."

"Masalah Ular Kekacauan," ucapku dengan suara pelan.

"Ya."

"Gimana dengan perkembangan..." Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba aku mendengar suara lolongan panjang yang menyiratkan kesakitan yang amat sangat. Oh, sial!

"Itu suara Zaidan!" teriak Danny sambil berlari menuju auditorium.

Kami berdua menyerbu masuk ke dalam auditorium yang gelap. Begitu masuk, kami langsung bersiaga, siap kalau-kalau ada penjahat bersenjata yang menyerang kami. Tapi tidak ada apa-apa. Kami berdua memandangi panggung yang kosong.

"Belakang panggung," bisik Danny.

Aku mengangguk. Kami berdua segera memasuki koridor yang gelap dan sempit di belakang panggung. Keheningan yang memenuhi udara hampir terasa mengerikan, mengingat baru beberapa menit lalu kami mendengar lolongan keras penuh kesakitan.

Kami tiba di depan pintu gudang kecil yang ada di belakang panggung di ujung koridor. Berhubung tidak ada jalan lain, aku mengulurkan tangan untuk membuka handle pintu.

"Cin," tiba-tiba Danny menghentikan tanganku seraya berbisik, "kita datang terlalu cepat. Pelakunya nggak mungkin bisa kabur tanpa melewati kita. Nggak ada pintu belakang di auditorium."

Aku menyeringai. "Bagus, karena aku lagi ingin menghajar seseorang."

Danny mengangguk padaku, jadi aku pun memutar handle pintu itu.

Sial, terkunci.

Aku berpaling pada Danny. "Dobrak yuk!"

Danny hanya mengangguk dan kami mulai mengambil jarak dari pintu.

"Satu, dua, tiga!"

Aku mendobrak pintu dengan kakiku, sementara Danny dengan bahunya. Pintu itu langsung terbuka dan kami langsung menerjang masuk ke dalam gudang itu.

Dan kami menemukan para anggota The Judges sedang berkumpul.

Di balik tubuh-tubuh mereka, samar-samar, aku bisa melihat sosok yang sudah pasti adalah Zaidan, yang tadinya adalah bintang olimpiade matematika yang tengah bersinar, terkapar di lantai bersimbah darah, yang sepertinya membentuk simbol perisai yang dibuat secara terburu-buru.

Dalam keheningan ini, mungkin aku hanya salah lihat, tapi sepertinya dua pasang paku itu tertancap di salah satu telapak tangannya dan satu lagi di atas alisnya.

Sial, lagi-lagi kami terlambat.

1
Mbak Inama
bagus banget ceritanya,dari segi alur sangat menarik
Matsuri :v
Gak akan bosan baca cerita ini berkali-kali, bagus banget 👌
Hachi Gōsha: makasih/Smile/
total 1 replies
Star Kesha
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
Hachi Gōsha: terima kasih
total 1 replies
Raquel Leal Sánchez
Bikin adem hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!