NovelToon NovelToon
Menikahi Cucu Diktator

Menikahi Cucu Diktator

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Percintaan Konglomerat / Trauma masa lalu
Popularitas:9.5k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.

Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.

Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.

Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.

Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.

Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Interior mobil senyap saat mereka meluncur pelan meninggalkan rumah keluarga Suthajningrat. Lampu jalan menyapu wajah Andre yang duduk bersandar di kursi penumpang, matanya memejam separuh, tangan kanannya masih dilumuri darah yang mulai mengering, sementara Lily menyetir dengan rahang mengeras.

Tak ada musik. Tak ada suara.

Hanya ketegangan tipis yang melayang-layang di antara mereka.

Lily akhirnya membelokkan mobil ke halaman sebuah apotek yang buka 24 jam. “Tunggu di sini,” katanya cepat, lalu turun sebelum Andre bisa menjawab.

Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa satu kantong plastik berisi alkohol, kapas steril, perban kasa, dan plester luka. Ia masuk, menutup pintu mobil perlahan, lalu menatap Andre lekat-lekat. “Pindah ke belakang.”

Andre menoleh. “Di sini aja—”

“Ke belakang,” ulang Lily lebih keras. Mata beningnya nyala oleh emosi yang ditahan.

Tanpa membantah lagi, Andre pindah ke jok belakang. Lily menyusul dan duduk bersimpuh di hadapannya, meletakkan tas plastik di kursi.

“Buka kemejamu,” ucapnya lirih tapi tegas.

Andre membuka dua kancing teratas, lalu menarik lengan bajunya perlahan. Luka sayatan di tangan kanannya lebih buruk dari yang Lily kira. Kulit robek di sisi telapak tangan, tampak bengkak dan mulai kebiruan di beberapa bagian.

Tanpa banyak tanya, Lily merendam kapas dengan alkohol dan mulai membersihkannya. Ia menggigit bibir bawah, menahan ketegangan dalam tubuhnya sendiri. Wajahnya mendekat, fokus.

“Jangan tahan napasmu,” gumam Andre.

“Aku tidak menahan napas,” sahut Lily pendek.

Tapi Andre tahu, rahang Lily mengeras. Matanya menyipit tipis—bukan hanya karena luka, tapi karena sesuatu yang lain.

“Ini bukan luka pertama,” kata Lily tiba-tiba. “Aku ingat… waktu kamu marah padaku setelah pertemuan dengan Sultan Munier. Aku lihat bekas memar di tanganmu.”

Andre terdiam.

Lily mengangkat wajahnya. “Kenapa kamu melukai diri sendiri saat kamu marah?”

Andre mencoba menjawab, tapi Lily memotong. “Jangan bilang ‘itu nggak sengaja.’ Itu kamu, Andre. Kamu yang memilih menghancurkan barang, kamu yang membiarkan tubuhmu berdarah hanya untuk membungkam rasa kecewa.”

Ia menekan kasa ke luka Andre. Pria itu meringis.

“Dan sekarang kamu lempar gelas lagi. Kalau aku nggak tahan dan pergi waktu itu?” suaranya mengecil, nyaris pecah. “Apa kamu akan melempar dirimu juga?”

Andre menunduk. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Lily menegurnya seperti seorang istri yang sungguh peduli. Bukan dengan suara tinggi. Tapi dengan luka.

“Maaf,” ucap Andre pelan.

Lily tidak menjawab. Ia menyelesaikan balutan terakhir, mengikat perban dengan hati-hati. Lalu merapikan semua alat dengan gerakan lambat.

Saat ia hendak beranjak, tangan kiri Andre tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya.

Lily membeku.

Andre membalik tangan Lily—menatap jemarinya yang kecil dan kuat, yang baru saja merawatnya. Lalu, dengan gerakan lembut yang tak biasa, Andre mencium punggung tangan Lily, satu per satu, dengan mata terpejam.

Ciuman itu… bukan nafsu. Bukan kewajiban.

Tapi pengakuan.

Lily mengerjap cepat. Detak jantungnya melonjak, tapi ia tidak menarik diri. Ia justru duduk kembali di hadapan Andre, kini nyaris berhadapan dada.

“Kenapa kamu lakukan itu?” bisiknya.

Andre membuka matanya perlahan. “Karena… kamu satu-satunya orang yang tetap tinggal saat semuanya pergi.”

Beberapa detik mereka saling menatap, tak bergerak.

Lalu Lily mendekat. Bibir mereka bertemu.

Kali ini lembut. Dalam. Tanpa api, tapi penuh udara. Seperti dua orang yang tenggelam dan saling memberi napas. Mereka mencium lama, membiarkan jari mereka saling menggenggam, membiarkan seluruh luka hari itu mencair di antara gerakan kecil bibir yang saling menenangkan.

Setelah lama… Lily menyandarkan kepalanya ke dada Andre.

“Sekarang… kita ke rumah sakit,” ucap Andre akhirnya.

Lily hanya mengangguk.

...****************...

Dalam perjalanan menuju RS tempat Andrea dirawat, mereka duduk berdampingan di kursi depan. Lampu dashboard menyala lembut, dan jalanan ibukota sudah lengang.

“Kamu tahu… waktu kecil aku pernah berpikir lebih baik nggak punya ayah sama sekali, daripada punya yang seperti ini,” kata Andre pelan, memandangi kaca depan.

Lily melirik, tapi tak menyela.

“Dia mencintai Andrea. Tapi dengan cara yang merusak. Mencintai aku… hanya saat aku bisa berguna untuk menyaingi Bowo. Dan sekarang…”

Lily meraih tangan Andre. “Kamu nggak harus bersaing dengan siapa pun. Kamu cukup jadi Andre. Itu aja.”

Andre tersenyum miring. “Kamu selalu percaya itu ya?”

“Aku percaya kamu,” jawab Lily, mantap. “Kalau kamu jatuh, aku tetap di sini. Tapi jangan biarkan aku sendirian saat kamu jatuh.”

Mereka saling tatap lagi. Satu tatapan yang jauh lebih tenang dari malam-malam sebelumnya.

Mobil melambat saat lampu rumah sakit terlihat.

Andre menarik napas panjang. “Waktunya menghadapi luka yang sebenarnya.”

Lily menatap gedung tinggi itu, lampunya terang benderang, seolah tak pernah tidur.

“Dan menyembuhkannya,” sambungnya.

Mobil pun berhenti di depan lobby IGD, dan malam yang baru dimulai membuka pintu menuju pengampunan.

1
Sumiyati oo
kasihan andre hidup di keluarga toxic,
semoga rumah tangga dan usahanya lancar

ayah yg seharusnya mendukung anaknya untuk bangkit tapi malah menjadi penghambat

lanjut kak
Agus Irawan
semangat selalu
Agus Irawan
hai kak aku mampir
Sumiyati oo
andre keren berani mengambil sikap untuk mempertahankan hidupnya bersama lily

semoga andrea juga tdk putus asa
lanjut kak
R Melda
suka,, semangat lanjut thor
Sumiyati oo
ini cerita bagus, butuh penghayatan dan pemahaman saat membaca
Yulia Dhanty
menarik
Wirda Wati
👏👏👏
Wirda Wati
ceritamu sebenarnya kereeen thor.penuh bahasa majas...
Wirda Wati
👍👍👍💪
Wirda Wati
Rumit
Wirda Wati
😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😇😇😇😇👏
Wirda Wati
Jangan bego Lo Andre...
Wirda Wati
tentu Andre bertanggung jawab.karena ia pria yg baik.
Ari Arie
kata2nya puitis banget./CoolGuy/
Wirda Wati
kapan dekatnya
Wirda Wati
makin lama makin asyik bacanya
Wirda Wati
kereeen
Wirda Wati
semoga mrk bahagia.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!