"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Jejak yang Tertinggal
Setelah kepergian Pak Samad, yang selama ini menjadi bayang-bayang hitam dalam kehidupan Aisyah dan Khaerul, suasana desa Batupute berubah perlahan. Tidak ada lagi suara-suara malam yang menggetarkan jiwa, tidak ada lagi bisikan angin yang menusuk hingga tulang. Tapi tetap saja, tak ada yang benar-benar tenang.
Makam Pak Samad, yang terletak di bawah pohon beringin besar di dekat Pantai Lasonrai, menjadi tempat yang jarang dikunjungi. Beberapa warga masih percaya bahwa arwahnya belum benar-benar pergi, bahwa sosok Parakang yang bersemayam dalam dirinya belum selesai menuntaskan tugasnya.
Aisyah duduk di serambi rumah tahfidz, memandangi barisan santri yang kembali belajar dengan tenang. Namun di balik ketenangan itu, pikirannya masih penuh tanya. "Bagaimana mungkin seseorang seperti Pak Samad—yang begitu keras dan penuh dendam—menyimpan catatan-catatan tua tentang pesantren, bahkan tulisan-tulisan tangan tentang rahasia para pewaris ilmu?"
Khaerul menemukan kembali selembar surat yang sebelumnya tersembunyi di celah kitab tua yang ditemukan di gua Pantai Lasonrai. Kali ini tulisannya jauh lebih jelas, dan di sudutnya terdapat simbol yang tak asing: cap lilin berbentuk bulan sabit dan bintang sembilan.
"Ini bukan hanya catatan biasa," ujar Khaerul serius. "Ini seperti wasiat, Sya. Wasiat dari zaman yang lebih tua dari yang kita kira."
"Apakah itu berarti... Pak Samad dulunya juga pernah menjadi bagian dari kebaikan?" tanya Aisyah lirih.
Khaerul tak menjawab. Ia hanya menatap laut lepas yang bergelombang, seakan menyimpan ribuan rahasia.
Beberapa hari kemudian, Ainun kembali hadir. Kali ini bukan dalam bayang-bayang, bukan pula dalam kilatan mimpi. Ia datang dengan langkah pelan, membawa sebuah tas kecil dan mata yang menyimpan ribuan pertanyaan. Ia berdiri di depan pintu pondok tahfidz, dan untuk pertama kalinya, Aisyah dan Ainun saling menatap langsung—tanpa prasangka, tanpa dendam.
"Aku datang bukan untuk mengganggu," ucap Ainun. "Tapi aku... merasa ada sesuatu yang tertinggal di sini. Sesuatu yang tak bisa kutinggalkan begitu saja."
Aisyah terdiam. Tapi suara hatinya berbisik pelan: mungkin inilah saatnya menghadapi segala yang belum selesai. Dengan suara pelan tapi tenang, Aisyah berkata, "Masuklah. Kita bicara baik-baik."
Pertemuan itu membuka lembaran baru. Ainun mengaku bahwa sebelum semua kekacauan terjadi, ia sempat meneliti catatan-catatan warisan dari gurunya di Makassar. Ia menemukan kesamaan dengan simbol-simbol dalam kitab yang ditemukan Khaerul dan Aisyah.
"Kitab itu bukan hanya milik desa ini," ujar Ainun. "Tapi warisan lintas generasi. Bahkan mungkin... ini terkait langsung dengan nasab keilmuan para wali yang dulu pernah menyebarkan Islam di Sulawesi."
Suasana menjadi berat. Aisyah memejamkan mata, mengingat malam-malam panjang penuh rasa sakit dan misteri. Ia tak menyangka bahwa semua ini ternyata bagian dari garis panjang sejarah yang jauh lebih dalam dari luka pribadi.
Namun, ketegangan belum benar-benar berakhir. Di malam keempat setelah kehadiran Ainun, seekor burung hantu besar terbang berputar-putar di atas rumah tahfidz. Suaranya melengking, seperti rintihan arwah yang belum selesai urusannya.
Santri-santri terbangun. Beberapa menangis. Aisyah menggenggam tangan Ainun dan berdoa kuat-kuat, membaca ayat kursi berkali-kali, disambung dengan dzikir yang memenuhi langit malam.
Khaerul keluar dengan membawa kitab tua itu. Ia buka halaman terakhir yang belum sempat ia baca, dan di sana tertulis satu kalimat dengan tinta merah:
"Jangan biarkan penerus menyatu sebelum gelap terakhir lenyap."
Apa maksudnya? Apakah kehadiran Ainun dan kematian Pak Samad hanyalah bagian dari teka-teki yang lebih besar? Dan siapa penerus yang dimaksud?
Angin berembus kencang. Pintu bergoyang. Lilin padam. Tapi di hati Aisyah, sebuah nyala kecil mulai menyala lagi.Di balik kesenyapan yang menyejukkan, bahaya baru sedang menanti, menyesuaikan bentuknya, mengintai dari balik senyum yang paling ramah: Ainun.
Ainun kembali ke Batupute bukan hanya untuk melayat ayah tirinya. Ia datang dengan niat yang tak disangka oleh siapa pun. Wajahnya lembut, tutur katanya sopan, tapi ada bara yang disembunyikan di balik pandangan teduhnya. Ia menatap Aisyah dengan cara yang berbeda. Bukan hormat, tapi penuh perhitungan.
"Kak Aisyah, boleh aku bantu di dapur? Aku ingin lebih dekat denganmu... sebagai keluarga," ucap Ainun pada suatu pagi.
Aisyah hanya tersenyum. Ia belum sepenuhnya percaya, tapi tak ingin menaruh curiga. Dunia mereka sedang dalam pemulihan. Para santri mulai belajar lagi, masyarakat mulai menerima keberadaan pondok tahfidz, dan majelis pengajian kembali menggeliat. Namun, di antara semua kebangkitan itu, Ainun seperti titik gelap yang berjalan diam-diam.
Beberapa hari kemudian, Khaerul terlihat gelisah. Ia mulai pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya kerap menunduk. Aisyah memperhatikan perubahan itu. Suaminya tak banyak bicara, bahkan ketika ia duduk di sampingnya, pikirannya tampak melayang.
Ainun mulai masuk ke ruang-ruang kecil dalam kehidupan mereka. Ia membantu menata buku di perpustakaan pondok, mengajarkan hafalan pada anak-anak, bahkan mulai memasak sesekali di dapur umum. Para santri perempuan mengaguminya. Wajahnya anggun, tutur katanya lembut. Namun Aisyah tahu, ada sesuatu yang tak wajar.
Suatu malam, Aisyah terbangun dan menemukan suaminya duduk sendiri di teras. "Khaerul?"
Khaerul menoleh pelan. "Aku hanya... teringat masa lalu."
Aisyah duduk di sampingnya. Tak butuh banyak tanya. Perasaannya cukup kuat untuk merasakan bahwa Ainun, wanita dari masa lalu Khaerul, adalah badai yang sedang disiapkan takdir.
Esoknya, seorang santri perempuan yang biasanya ceria mendadak menangis. Ia mengaku mendengar percakapan antara Ainun dan seseorang lewat telepon.
"Dia bukan untukmu. Rumah tangga itu rapuh. Kau tinggal dorong sedikit, dan hancur semuanya," begitu kata Ainun di seberang telepon.
Desas-desus mulai beredar. Aisyah tetap tenang, namun setiap malam ia menangis dalam sujudnya. Ia memohon agar cinta yang telah mereka bangun tak direnggut oleh racun masa lalu.
Di tengah tekanan itu, Ainun mulai memainkan peran sebagai korban. Ia bicara pada beberapa warga, menyinggung masa lalunya bersama Khaerul. "Kami dulu pernah punya mimpi bersama. Tapi waktu memisahkan... dan kini aku hanya ingin mendekatkan diri kembali pada hal-hal yang pernah kuanggap rumah."
Ucapan itu cukup untuk menanam benih keraguan di hati sebagian warga. Mereka mulai melihat Aisyah sebagai orang luar, dan Ainun sebagai bagian dari desa ini.
Puncaknya terjadi saat majelis ibu-ibu pengajian menerima undangan dari Ainun untuk mengisi kajian. Bukan atas nama pondok, tapi atas nama pribadi. Ia menyampaikan materi dengan suara lembut dan penuh pesona, bahkan menyinggung soal perempuan yang tidak mampu menjaga keutuhan rumah tangga karena keegoisan.
Aisyah hanya mendengarkan dari kejauhan. Ia tak ingin membalas dengan kebencian. Tapi hatinya teriris.
Sore itu, ia menatap pantai Lasonrai, tempat dulu ia dan Khaerul pertama kali berikrar akan membawa cahaya ke desa ini.
"Ya Rabb... jika ini ujian-Mu, izinkan aku menjalaninya dengan sabar. Tapi jangan biarkan cinta kami dipatahkan oleh nafsu yang menyamar menjadi cinta lama."
Dan dari balik pepohonan, Ainun berdiri memandangi mereka, matanya menyimpan dendam, namun bibirnya tersenyum manis.