Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”
“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”
“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”
“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”
“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”
“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Setelah semua prosesi sederhana pernikahan itu selesai, rumah paman Lu kembali sepi. Tidak ada tamu yang tinggal lama karena memang tidak ada perjamuan seperti yang biasa dilakukan. Para penduduk desa hanya datang untuk menyaksikan, melontarkan beberapa ucapan selamat, lalu pulang dengan wajah sedikit kecewa karena tidak ada hidangan yang bisa mereka cicipi.
Beberapa bahkan bersungut-sungut kecil, mengeluhkan acara yang menurut mereka terlalu hemat dan tidak menghargai tradisi desa.
Rumah itu kini hanya menyisakan dua orang—Ulan dan Jiang Weiran.
Paman Lu, yang masih merasa kikuk dan belum sepenuhnya nyaman dengan perubahan mendadak ini, memilih untuk menginap di rumah kakaknya, kepala desa. Meskipun rumahnya memiliki beberapa kamar, dia tetap merasa lebih tenang menjauh dari suasana yang mendadak jadi ‘rumah pengantin’.
Ulan duduk di ruang utama, menunduk sambil merapikan kembali kerudungnya yang mulai miring. Suasana canggung terasa kental di antara mereka. Weiran yang baru saja menyimpan sesuatu di rak, lalu duduk dengan tenang, membalas tatapannya sekilas.
Ulan akhirnya memberanikan diri untuk bicara, "Apakah... kau ingin makan siang sekarang? Kalau kau mau, aku bisa mulai menyiapkan sesuatu."
Weiran menggeleng perlahan, lalu mengeluarkan sebuah kotak makan siang dari tas bawaannya. Kotak itu terlihat kokoh dan bersegel, seperti makanan pesanan resmi. Dengan tenang dia meletakkannya di atas meja kayu kecil yang sudah sedikit usang.
"Aku sudah membelinya dari restoran milik negara di kota tadi pagi," katanya singkat. "Ikan kukus, sepotong ayam rebus, dan beberapa sayuran. Cukup untuk dua orang."
Ulan menatap makanan itu dengan terkejut. Ini jelas bukan makanan yang biasa dia temui di rumah keluarga Gu,dan sangat jauh dari papeda hambar yang menjadi sarapan sehari-hari di desa. Dia perlahan duduk di hadapan Weiran dan mengangguk.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Mereka makan bersama dalam diam. Weiran tetap tenang, seperti biasa, sementara Ulan sesekali mencuri pandang ke arah pria itu,masih belum percaya bahwa dirinya kini duduk sebagai istri dari seseorang dengan status ‘sementara’ yang belum tentu jelas akhirnya.
Lucu tapi sangat berharga.
Meski begitu, untuk sesaat... setidaknya siang itu, dia tidak merasa kelaparan.
Setelah makan siang selesai, Ulan membawa kotak makan milik Weiran dan pergi mencucinya di belakang rumah. Beruntung rumah Paman Lu masih memiliki sebuah sumur tua yang jernih airnya, peninggalan dari masa ketika keluarga Lu masih lengkap dan makmur. Rumah ini memang rumah lama milik keluarga besar Lu, tempat kepala desa tumbuh sebelum membangun rumahnya sendiri. Meski kini sudah agak tua, dindingnya masih kokoh, dan ukurannya cukup besar. Namun seiring berjalannya waktu, semua anggota keluarga pergi satu per satu, hingga kini hanya Paman Lu yang tinggal,dan sekarang, untuk sementara, Ulan.
Rumah lu terasa sepi. Sangat sepi malah,Tak ada tawa,hanya suara dedaunan yang tertiup angin dan sesekali desir dari air sumur yang ditimba.
Setelah mencuci, Ulan kembali ke dalam, membawa kotak makan yang sudah bersih. Ia masuk ke ruang utama dan meletakkannya di atas meja, sedikit gugup menghadapi Weiran yang kini duduk dengan postur tenang seperti seorang prajurit pada umumnya.
Weiran menatapnya, lalu bicara dengan suara datar tapi jujur, “Ingat, pernikahan ini hanya pura-pura. Aku sudah melaporkan semua ini ke atasan. Mereka menyetujui penyamaran ini karena sangat membantu misi. Tapi secara resmi, negara maupun militer tidak mengakui ini sebagai pernikahan sungguhan.”
Ulan mengangguk. Dalam hati, ia sudah tahu. Tapi tetap saja ada rasa pedih yang menggumpal di dadanya saat mendengarnya langsung.
Meskipun demikian , rencananya Ulan bisa di anggap sukses besar.
“Namun,” lanjut Weiran, “karena ini membantuku, kau berhak atas kompensasi. Kau bisa meminta hadiah. Entah itu uang, atau sesuatu yang bisa membantu hidupmu ke depan. Militer bahkan bersedia menempatkanmu di kota, jika kau mau.”
Mata Ulan membulat. Itu di luar dugaannya
memang ada banyak pabrik di kota tapi masalahnya untuk memasuki pabrik Anda memegang koneksi dan juga uang.ulan punya uang sekarang tapi dia tidak punya koneksi.
Tapi jika negara mampu memberikan dia akses ke situ, Ulan tidak akan pernah melepaskannya.
Masa puncak era kelaparan belum tiba tapi Ulan sudah punya rencana untuk ini. setelah era kelaparan berakhir negara Madinah masuk dalam era kegelapan.
Ada banyak orang yang akan diturunkan menjadi salah dan benar. bahkan banyak orang kaya yang dituduh sebagai kapitalis dan mungkin akan menjadi warga yang direndahkan tadi.
Ulan tidak hidup lama tapi dia sempat melewati tahun 75. saat itu masa-masa gelap belum berakhir dan bulan tidak tahu kapan akan berakhir.
Namun dengan sistem dia sudah siap.
Tapi untuk sekarang, status jandanya masih sangat mengiurkan.
“Aku akan memikirkannya nanti,” jawabnya pelan, menyembunyikan keterkejutan sekaligus harapan.
“Ada satu hal lagi,” ucap Weiran sambil berdiri. “Setelah misiku selesai, aku akan pergi dari sini. Aku tak tahu kapan kembali.mungkin tidak akan pernah. Ketika itu tiba, kau akan dianggap sebagai janda. Tapi paling tidak, warga desa tidak akan menyakitimu, karena mereka tahu kau adalah istri dari seorang prajurit.”
Ulan menunduk. Ada kesedihan dalam hatinya, namun juga rasa syukur. Sekalipun semuanya adalah pura-pura, hidupnya telah selangkah lebih aman dari sebelumnya.
“Aku akan pergi malam ini,” ujar Weiran sebelum melangkah menuju pintu. “Ada tugas yang harus kuselesaikan. Semakin sedikit orang tahu keberadaanku, semakin baik.”
Ulan hanya bisa mengangguk pelan. Dia mengikuti langkah pria itu dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Mungkin itu kelegaan, mungkin itu kesepian, mungkin juga rasa terima kasih yang dalam namun tak bisa disuarakan. Pintu pun tertutup dengan lembut, meninggalkan Ulan dalam kamar pengantin nya yang sepi.
Begitu Wei Ran meninggalkan rumah, Ulan segera menutup pintu dan berdiri sejenak di ambang. Rumah kembali sunyi. Udara sore masuk melalui celah jendela, membawa aroma rumput kering dan panas matahari yang masih menggantung. Tanpa membuang waktu, Ulan lekas masuk ke kamar dan berganti pakaian.
Gaun pengantinnya—meskipun sangat sederhana,
masih terlalu berharga untuk dikotorinya. Ia menggantinya dengan pakaian biasa yang rapi, tapi lebih sederhana, lalu menggantung gaun itu dengan hati-hati.
Setelah itu, ia mulai menyapu rumah, merapikan perabot, dan mencari-cari pakaian kotor. Dalam lemari kayu tua, ia menemukan beberapa pakaian milik Paman Lu. Mungkin sudah lama tak dicuci, dan Ulan mulai memanggilnya "Ayah" dalam hati. wajar jika seorang anak membantu mencuci pakaian ayahnya. Ia membawa pakaian-pakaian itu ke sumur dan mencucinya dengan tekun, membiarkan tangan-tangannya bekerja sambil sesekali terkena percikan air dingin yang menyegarkan.
Setelah itu, ia kembali ke dapur dan membuka lemari penyimpanan. Ditemukannya sedikit beras, beberapa potong sayuran kering, dan sisa minyak wijen. Dengan keterampilannya yang sederhana namun cekatan, ia menyiapkan semangkuk bubur gurih dengan tambahan potongan sayur dan satu butir telur asin yang dia temukan terselip di pojok. Tak banyak, tapi cukup untuk menunjukkan niat baiknya.
Setelah hidangan selesai, Ulan menaruhnya dalam wadah bambu dan membawa nampan kecil itu ke rumah kepala desa. Ia mengetuk pelan, lalu menyerahkan makanan itu langsung kepada Paman Lu, yang keluar ke beranda depan setelah mendengar namanya dipanggil.
"Ayah, Putri mengirimkan makan siang" kata nya
Paman Lu, yang selama ini hidup sendirian tanpa anak, menatap mangkuk itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Tatapannya beralih ke wajah Ulan yang menunduk sopan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, hatinya merasa hangat.
"Terima kasih... anakku," gumamnya pelan, suara yang nyaris tertahan di tenggorokan.
Ulan hanya tersenyum kecil, lalu membungkuk sopan dan berkata, "Ayah harus makan sebelum dingin."
Di kejauhan, cahaya senja mulai merambat turun di langit desa. Di antara sunyi yang tetap menyelimuti tempat itu, satu hal telah berubah.seorang pria tua kini merasa tidak lagi sendirian. Dan seorang gadis, yang dulunya dianggap tidak berguna oleh keluarganya, telah memulai awal yang baru dengan peran yang juga baru.
"kapten Wei..??'
"Dia tidak kembali,aku sendirian di rumah, apa ayah tidak pulang juga?"
Paman lu sekarang harus dipanggil dengan ayah lu.
Ayah lu berpikir beberapa waktu lalu dia menggerakkan kepalanya. kita baru saja mengambil sumpah ayah dan anak hari ini. meskipun warga desa tidak tahu, tapi aku tahu jika hanya ada kau dan aku di rumah.jadi...
Ulan paham apa yang dimaksudkan ayah angkatnya itu. dia tidak memaksanya lalu kembali ke rumah lagi.
Malam segera turun dengan tenang di desa itu, sunyi yang bukan damai, tapi seakan menyimpan sesuatu yang belum selesai.
Rumah Paman Lu, yang kini menjadi tempat tinggal Ulan, sudah lama gelap. Weiran tak kunjung kembali seperti janjinya. Tak ada suara selain detak jarum jam tua yang tergantung di ruang tengah.
Ulan terbangun dari tidurnya dengan jantung berdeba., Ada sebuah rencana yang sejak sore telah menanti dalam pikirannya. Ia bangkit perlahan, menyibak selimut, dan duduk di tepi ranjang. Tangannya bergerak cepat membuka layar virtual di hadapannya. Cahaya biru samar memancar dari udara kosong,
Pakaian hitam polos tanpa motif telah tersimpan rapi di sistem penyimpanan pribadinya. Ia memilih ukuran yang pas, lalu dengan gerakan cepat dan terlatih, mengenakannya satu per satu. Rambutnya dikuncir rendah, dan wajahnya tidak lagi tampak seperti gadis desa biasa.
selesai berdandan Ulan memandang lagi ke arah cermin. setelah yakin dengan tampilannya barulah dia puas.
Ulan sekarang memakai pakaian serba hitam seperti seorang pencuri. eh dia memang ingin mencuri malam.
Ia menyelinap keluar rumah, gerakannya nyaris tak terdengar. Rumah keluarga Gu berada tidak jauh, hanya butuh beberapa menit berjalan kaki. Jalanan desa gelap gulita, hanya ditemani nyala obor dari kejauhan.
Ulan sengaja berjalan tanpa mengandalkan apapun, jika pun ada cahaya itu mungkin hanya cahaya bulan.
Begitu tiba di halaman rumah lamanya, Ulan berhenti sejenak. Nafasnya diatur perlahan. Ia mengeluarkan tabung kecil dari ruang penyimpanannya,sejenis alat pelepas asap halus yang telah dicampur dengan zat penenang dosis ringan, cukup untuk membuat orang dewasa tertidur lelap. Tabung ini ditiupkan ke celah-celah jendela kamar nenek, lalu ke kamar orang tuanya, kamar bibi kedua, dan terakhir, kamar sepupunya, Yonglian.
Beberapa menit berlalu, suara.dengkuran mulai terdengar dari dalam rumah. Tanda bahwa semua telah masuk dalam tidurnya.
Saat itulah Ulan bergerak.
Ia memasuki rumah dengan langkah yang cepat tapi senyap. Di kamar nenek, ia tahu di mana uang biasa disimpan. Tangannya terarah ke sudut lemari kayu tua yang sudah mulai rapuh.
Di sana, terbungkus kain lusuh, uang kertas rapi—Rp1.000 dari mahar, dan tambahan Rp100 serta 50 sen dari dana perjamuan . juga beberapa potong kain yang aslinya akan dibuat menjadi pakaian untuk masing-masing orang.
Tapi Ulan tidak ingin mereka melewatkan tahun baru dengan wajah tersenyum.Semua barang dan uang, segera masuk ke ruang penyimpanannya seperti sihir.
Tak ada jejak.
"ckckck, apa yang dipikirkannya sampai tidak merubah lokasi tempat ia menyimpan uang? hahaha ini mudah untukku terima kasih nenek"
Nenek dan kakek ulan masih berdengkur.
Ulan sangat penasaran dan ingin melihat apa yang terjadi ketika dia sadar uang ini sudah dicuri lagi.ah tapi ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ulan nanti hahaha.
Lalu ia beralih ke kamar Yonglian.
Sepupu nya ini, masih dalam kategori orang yang rajin di desa. tapi sifatnya itu meremehkan wanita dan dia tidak bisa melepas karakter itu di kehidupan sebelumnya.
Mungkin karakter ini sudah dibentuk oleh keluarga Gu sejak dini. lihat saja dua adik laki-lakinya yang sudah memiliki karakter bengkok.
Meski gelap, Ulan seperti hafal betul tata letak rumah itu. Di bawah bantal, ia temukan Rp100 dan sebungkus rokok yang sudah berkurang isinya.
Rokok juga bisa dikatakan sebagai barang mahal apalagi jika ditemukan di desa.Younglian mungkin pendapatnya dari teman-temannya yang preman. atau dia sengaja membelinya untuk sekedar pamer tapi enggan menggunakannya.
tapi Wulan tidak peduli dengan itu.
Rokok yang tinggal setengah pun diangkut juga.
Di kamar bibi kedua, ia temukan lagi 50 sen, dan dengan cepat ia masukkan ke sistem.
Tapi kejutan sesungguhnya datang dari kamar orang tuanya.
Ia sempat ragu membuka lemari kecil di sudut ruangan, tapi nalurinya tak salah. Di sana, di balik tumpukan pakaian tua, tersembunyi Rp100 dan 10 sen. Tangannya bergetar. "Sejak kapan mereka menyimpan uang sebanyak ini? Bahkan aku tak tahu. Bodoh... aku memang terlalu bodoh..."pikirnya.
Ayah dan ibunya memiliki rasa bakti yang bodoh. bulan pikir mereka mungkin tidak akan pernah curang dengan menyembunyikan uang pribadi. tapi kenyataan menampar Ulan
uang ini di mengambilnya juga. Sekarang, ia telah mengambil semuanya,Ulan baru puas.
Ia meninggalkan rumah itu dalam diam. Tak seorang pun terbangun. Tak ada yang tahu. Langit masih gelap, udara malam sedikit menusuk, tapi ia merasa ringan,bukan karena beban yang hilang, melainkan karena kekuatan baru yang tumbuh dalam dirinya.
Oh ya hasil panennya malam ini juga tidak sedikit.Dia berhasil menambah hampir 1400 belum lagi dengan kain dan juga rokok.
Ulan tidak tahu jika kelahiran kembali memberikan dia bakat untuk mencuri.
Hahaha
Sesampainya di rumah ,Ulan melepaskan penutup wajahnya. Ia kembali ke kamar dan menjatuhkan diri ke atas ranjang. Bahunya berguncang perlahan, karena tawa yang ditekan lama.
Tawa lepas dan kecil, namun penuh kepuasan.
Hmmp. .... Hmmp.... Hahaha.. hahaha.
semangat