NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:14.1k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wajah Dibalik layar Rahasia

    Setelah rujak nya jadi vanya mengantarkan kekamar Rara, Vanya mengangkat tangannya.

   Tiga ketukan pelan dan teratur, sengaja tidak ingin terlalu keras, karena ia tahu Axel mungkin sudah bersiap untuk beristirahat.

   Beberapa detik berlalu, terasa lebih lama dari seharusnya, sebelum pintu terbuka perlahan, menampakkan siluet Axel yang berdiri di ambang pintu. Sebuah raut wajah yang terlihat lelah namun menenangkan.

     "Maaf, Tuan, mengganggu malam Anda," Vanya berujar lembut, suaranya sedikit rendah agar tidak memecah keheningan.

    Dengan kedua tangan, ia mengangkat nampan bambu yang di atasnya tersaji mangkuk berisi rujak buah yang harum, lengkap dengan taburan kacang tanah dan irisan cabai rawit yang mengkilap.

   "Ini pesanan Rara, katanya mendadak ingin makan Rujak.

    Axel menerima nampan itu dengan hati-hati, tatapannya beralih dari rujak ke wajah Vanya. Sebuah kehangatan menjalari matanya.

    "Terima kasih, Vanya. Kau selalu bisa diandalkan."

   "Sama-sama, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucapnya sembari menarik diri, sedikit canggung di bawah tatapan intens Axel.

    Setelah Vanya pergi, Axel menutup pintu,dan menaruh di meja samping ranjang.

     Tak lama berselang, pintu kamar mandi terbuka dan Rara muncul dengan piyama tidurnya yang longgar, rambutnya tergerai. Wajahnya yang biasanya ceria kini sedikit cemberut.

      Axel tersenyum geli."ini rujak pesanan sayang sudah jadi," Ia meraih sendok kecil.

     "Sini, biar mas suapin. ," ucap Axel.mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan lembut, ia menyendok sedikit rujak, memastikan tidak ada potongan cabai yang berlebihan, lalu mengarahkannya ke bibir Rara

    Rara menerima suapan itu, matanya menatap Axel penuh cinta.

   Rasa asam manis yang segar bercampur dengan sedikit sensasi pedas yang menyenangkan memenuhi lidahnya. "Hmm, enak sekali, Mas. Pedasnya pas. Kamu memang tahu seleraku."

     Axel tersenyum puas, kelegaan terpancar dari wajahnya. "Kan sudah Mas bilang, Mas nggak akan buat kamu sakit perut."

     Setelah menghabiskan beberapa suapan, Axel bangkit, menuju meja di sudut kamar. Ia mengambil segelas air putih dingin yang memang selalu tersedia.

    "Ini, minum dulu, Sayang. Nanti tenggorokanmu seret." Ia menyodorkan gelas itu pada Rara.

    "Makasih, Mas," Rara menerima gelas itu, senyumnya tidak memudar. Ia menenggak air perlahan, merasa lebih segar.

    Suasana kamar beranjak hening, hanya ditemani desau angin malam yang menembus celah jendela.

   Mereka saling pandang, seolah tanpa kata pun mereka memahami keinginan satu sama lain. Malam semakin larut, dan rasa lelah setelah seharian beraktivitas mulai merayap.

    Mereka memutuskan untuk mengakhiri malam ini dengan beristirahat, membiarkan tubuh dan pikiran mereka beristirahat, menyiapkan diri untuk hari esok yang mungkin penuh dengan tantangan baru.

    Sementara itu, di kamar lantai bawah yang didominasi warna gelap dan pencahayaan redup,

    Rico sedang duduk di sofa kulitnya. Asbak penuh puntung rokok di meja kaca di depannya menunjukkan bahwa ia sudah lama terjaga,

    pikiran-pikiran gelap bergelayutan di benaknya. Ponsel di tangannya bergetar, dan ia segera menjawab panggilan itu, menempelkannya ke telinga dengan gestur tergesa-gesa.

   Suara Tomy, kaki tangannya yang paling setia, terdengar di seberang sana.

     "Halo, Tom," suara Rico serak, napasnya sedikit memberat. "Ada perkembangan apa dengan Letta?" Nada suaranya dingin, namun ada kecemasan terselubung yang tak bisa ia sembunyikan.

   "Dia sudah mulai bergerak, Tuan," jawab Tomy, suaranya datar dan tanpa emosi.

    "Dia mengancam akan meenyebar video mesum semalam,jika tidak segera dimasukkan ke dalam perusahaan.

   "Letta mengancam akan menyebarkan video mesum semalam, Tuan," suara Tomy terdengar tenang, tanpa sedikit pun keraguan.

   Rico bisa mendengar ketenangan itu, sebuah kontras tajam dengan kekhawatiran yang ia rasakan.

   "Tapi, firasat saya mengatakan dia belum melihat video hasil rekamnya sendiri.." Tomy menghela napas pendek.

   "Saya sudah berpura-pura gentar dan sedikit panik di hadapannya, Tuan. Memberi dia kesan bahwa rencananya berhasil, bahwa dia telah berhasil menundukkan saya."

    "Oh ya, soal masalah ini... Tuan Axel sudah mengetahui situasinya. Jadi, aku ingin kau menghubunginya besok. Minta apa solusinya dari dia.

    kalau mengenai urusan perusahaan,aku tidak berani mengurusnya sendiri kecuali dia yang secara langsung menyuruhku mencari orang untuk posisi itu. Kau mengerti?"

    "Baik, Tuan. Akan saya laksanakan. Besok pagi-pagi, saya akan langsung menghubungi Tuan Axel dan melaporkan perkembangan ini," jawab Tomy tegas. Tidak ada keraguan dalam suaranya, menunjukkan kesetiaan dan profesionalismenya.

     Setelah mendapatkan konfirmasi, Rico memutus panggilan itu tanpa banyak bicara lagi.

   Ruangan kembali diselimuti keheningan yang berat, hanya dipecahkan oleh suara napas Rico yang perlahan mulai teratur. Ponselnya ia letakkan di meja, dan matanya menerawang jauh ke kegelapan di luar jendela mansion, seolah memikirkan langkah selanjutnya dalam permainan rumit ini.

    Tiba-tiba, suara lain memecah keheningan. Dari sudut ruangan yang sebelumnya gelap, sesosok pria tinggi dengan rambut gondrong dan tato di lengan muncul, melangkah santai menuju sofa tempat Rico duduk.

   Wajahnya yang terlihat dingin, namun mata tajamnya penuh dengan rasa ingin tahu.

   "Letta itu siapa sih, Ric?" tanya pria itu, yang ternyata adalah Bara, suaranya terdengar malas-malasan namun ada nada menuntut di dalamnya.

    Ia menarik salah satu kursi di dekat Rico, lalu mendudukinya dengan posisi terbalik, dagunya bersandar pada sandaran kursi. "Sepertinya dia cukup penting sampai-sampai kau harus melibatkan si bos besar, Axel."

     Rico mengangguk pelan, tatapannya dingin. "Dia itu gadis yang pernah ditolong Rara. Diberi tempat tinggal, bahkan sekarang di kasih apartemen elit. Tapi rupanya, kebaikan Rara dibalas dengan racun. Karena keiriannya, dia ingin menguasai segala sesuatu yang Rara miliki, termasuk..." Rico berhenti sejenak, melirik Bara yang menegang, "...termasuk Axel."

     Sebuah geraman lolos dari tenggorokan Bara. Rahangnya mengeras, otot-otot di lehernya menonjol.

    "Ular betina itu! Sudah dibantu, malah menikam dari belakang!" Suara Bara terdengar serak, dipenuhi amarah yang membara. Tangannya mengepal erat, buku-buku jarinya memutih.

    Bara mendongak, matanya yang tajam kini memancarkan kilat penasaran dan kecurigaan.

   "Boleh aku lihat wajahnya, Ric? Aku ingin tahu siapa wanita licik yang berani mengancam Tomy dan bermain-main dengan Axel."

    Tanpa banyak bicara, Rico menggeser tablet di depannya. Di layar, rekaman CCTV tersembunyi dari apartemen Letta mulai diputar.

    Kamera menyorot ke arah ruang tamu yang minim cahaya, kemudian fokus pada sesosok wanita yang sedang berjalan santai, rambut panjangnya tergerai.

    Begitu wajah wanita itu terlihat jelas di layar, tubuh Bara menegang seketika. Matanya melebar, sebuah keterkejutan yang begitu dalam terpancar jelas.

    "Aletta?" Suara Bara tercekat di tenggorokan, menyebut nama itu seolah tak percaya. Ada campuran kaget, marah, dan mungkin sedikit pengkhianatan dalam nada suaranya.

     Mark, yang sejak tadi diam mengamati, akhirnya buka suara. Alisnya terangkat tinggi. "Kamu kenal dia, Bar? Wanita ini?"

     Bara mengalihkan pandangannya dari layar ke Mark, lalu ke Rico. Sebuah senyum pahit muncul di bibirnya.

   "Tidak hanya kenal, Mark. Dia adalah Aletta, wanita yang dulu pernah mau dijodohkan denganku oleh orang tua kami.

   " Bara menghela napas, matanya menggelap. "Tentu saja perjodohan itu tidak pernah terjadi. Aku menolaknya mentah-mentah. Kenapa? Karena Aletta adalah simpanan, wanita mainan kakakku, toni."

    Rico mengerutkan kening.

   "Tapi Tomy bilang, dia masih perawan, Bara. Dan anak buah kita yang menikmatinya, karena ia mau menjebak tomy,malah kena jebakannya sendiri ."

    Bara tertawa sinis. "Ya, tentu saja dia 'memuaskan' pria-pria itu. Dia tahu cara memanipulasi, Ric.

   Dia yang memuaskan mereka secara emosional, memberikan harapan palsu, tapi tidak pernah sampai ke ranjang. Itu adalah trik liciknya untuk menjaga 'nilai' dirinya, atau mungkin, untuk tujuan tertentu."

  Tiba-tiba, dari ambang pintu yang sedikit terbuka, Steven, dengan kemeja yang sedikit kusut dan raut wajah tegang, masuk ke dalam ruangan. Ia pasti sudah mendengar sebagian besar percakapan mereka. Matanya langsung tertuju pada Bara. "Aku curiga, Bar. Jangan-jangan dia bukan hanya simpanan toni... tapi juga suruhannya. Apa jangan-jangan dia bertindak atas perintah toni?" Suara Steven menuduh, penuh kecurigaan.

   Bara menatap steven dengan mata menyala. "Steven, jangan sembarangan menuduh! Bisa jadi, memang. Tapi, apa gunanya Toni menyuruhnya melakukan semua ini? Apa keuntungannya?" Nada suara Bara meninggi, kemarahan dan rasa terkhianati bercampur jadi satu.

       "motifnya apa sebenarnya? Sejauh yang kutahu, mereka tidak pernah saling bersinggungan secara langsung. Toni tidak pernah tertarik dengan urusan perusahaan Axel, dan Axel pun tidak punya musuh dari lingkaran Toni." Bara menyuarakan rasa penasaran yang menggerogoti benaknya, keningnya berkerut dalam.

      Rico menyilangkan tangan di dada, pandangannya menerawang ke depan.

    "Mungkin saja kakakmu ingin menambah daerah kekuasaan, Bar. Menggenggam lebih banyak kekuatan, bahkan di luar wilayahnya sendiri." Ada nada perhitungan dalam suaranya, seolah ia tengah memetakan langkah Toni.

      "Bisa jadi," Mark menimpali, suaranya pelan namun mantap, seolah membenarkan spekulasi Rico.

    Suasana di ruangan itu diselimuti oleh keheningan yang tegang, di mana pikiran-pikiran rumit berputar di kepala masing-masing pria.

     Waktu terus merayap. Jarum jam berputar, dan keheningan malam kian pekat. Setelah perdebatan dan spekulasi yang panjang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan malam itu. Rasa lelah mulai membebani pikiran dan tubuh, menuntut istirahat.

    Perlahan, fajar mulai menyingsing, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan merah muda.

    Mentari pagi menyapa dengan kehangatan yang lembut, menyiratkan hari yang cerah. Di luar jendela, cuaca tampak begitu bersahabat; tidak ada salju yang turun, hanya embun tipis yang membasahi dedaunan, menjanjikan awal hari yang tenang.

    Namun, di dalam kamar utama yang luas, ketenangan pagi itu tidak bertahan lama.

  Rara, yang masih terlelap dalam pelukan Axel, tiba-tiba terbangun dengan sentakan. Perutnya bergejolak hebat, gelombang mual yang kuat menyerang tanpa ampun.

   Sebuah rasa tidak nyaman yang memaksanya membuka mata dan segera bangkit. Tanpa berpikir panjang, ia turun dari tempat tidur, kakinya terburu-buru melangkah, hampir tersandung, menuju wastafel yang ada di sudut kamar mandi.

    Huek... huek... Suara muntahan yang tertahan terdengar samar, menggema di dalam kamar mandi.

     Tubuh Rara membungkuk, tangannya mencengkeram tepi wastafel erat-erat, wajahnya memucat pasi.

     Suara-suara itu sontak membangunkan Axel. Matanya langsung terbuka, dengan cepat menyadari Rara tidak ada di sisinya.

     Begitu mendengar suara muntahan dari kamar mandi, hatinya langsung diserang kepanikan. Tanpa buang waktu, ia melompat dari ranjang, langkahnya cepat menyusul sang istri.

    Ia menemukan Rara masih membungkuk di depan wastafel, tubuhnya bergetar lemah. Dengan sigap, Axel mendekat, tangannya yang besar dan hangat meraih tengkuk Rara, memijatnya perlahan dengan gerakan menenangkan.

   Sentuhan itu mengalirkan kehangatan, seolah ingin meredakan rasa mual yang melanda istrinya.

     "Sudah mendingan, Sayang?" bisik Axel, suaranya dipenuhi kekhawatiran dan kasih sayang yang tulus.

    Tangannya terus memijat tengkuk Rara, memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan. Matanya menatap wajah Rara yang pucat dengan cemas, berusaha mencari tanda-tanda perbaikan.

     "Maz, boleh minta air jahe?" Suara Rara terdengar lemah, masih sedikit serak karena mual, namun ada nada memohon yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya menatap Axel dengan tatapan sendu.

     Axel segera mengangguk, tanpa ragu. Kekhawatiran masih membayang di wajahnya.

   "Tentu, Sayang. Sebentar, ya. Mas akan suruh Bi Inah langsung bikinkan sekarang juga." Ia membelai lembut rambut Rara yang sedikit basah oleh keringat dingin, berusaha memberikan kenyamanan.

      Axel bergegas mengambil telepon nirkabel yang ada di meja samping tempat tidur. Dengan cepat, ia menekan nomor yang tersambung langsung ke dapur.

    "Bi Inah, tolong bikinkan air jahe hangat, ya. Tambahkan sedikit madu, untuk Rara. Dia sedang tidak enak badan." Suaranya terdengar tegas namun ada nada urgensi yang jelas.

     "Baik, Tuan. Langsung saya siapkan," jawab suara Bi Inah dari seberang, sigap dan cekatan.

    Tak sampai lima menit, terdengar suara gerak-gerik dari arah dapur. Bi Inah, dengan sigapnya, langsung merebus air di panci kecil.

    Aroma jahe segar yang hangat mulai menyebar memenuhi area dapur, bercampur dengan sedikit madu murni yang ia masukkan.

    Setelah ramuan jahe itu siap, ia menuangkannya ke dalam cangkir keramik yang cantik, mengepulkan uap tipis, lalu membawanya hati-hati menuju kamar utama.

 Tok... tok... tok...

 Ketukan lembut terdengar di pintu kamar.

    "Permisi, Tuan," suara Bi Inah yang ramah terdengar dari balik pintu.

     "Masuk saja, Bi," sahut Axel cepat, matanya masih terpaku pada Rara.

     Bi Inah melangkah masuk dengan tenang, membawa nampan kecil berisi secangkir air jahe hangat.

    Aroma jahe yang menenangkan langsung menyebar di dalam kamar. "Ini, Tuan, air jahenya. Semoga lekas membaik, Nak."

    Rara mencoba tersenyum lemah. "Terima kasih banyak, Bi. Maaf Rara merepotkan di pagi-pagi begini." Suaranya masih lembut, penuh rasa tidak enak.

     Bi Inah menggelengkan kepala, senyum tulus mengembang di wajah tuanya yang teduh.

    "Tidak apa-apa, Nak. Jangan sungkan. Yang penting, kamu sehat dan kuat, ya." Matanya memancarkan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya.

    Setelah menyerahkan cangkir dan memastikan Rara bisa memegangnya dengan nyaman, Bi Inah pamit undur diri. Pintu kamar tertutup perlahan, meninggalkan Rara dan Axel dalam keheningan yang intim.

    Axel, tanpa diminta, langsung duduk di tepi ranjang, mengambil kaki Rara yang pucat, dan mulai memijatnya dengan penuh cinta. Jemarinya yang kuat namun lembut memijat pergelangan kaki hingga betis, mengalirkan kehangatan dan kenyamanan.

   "Sudah, Mas... Rara tidak pegal, kok," ucap Rara pelan, mencoba menolak, meskipun pijatan Axel terasa begitu melegakan.

   Axel hanya tersenyum tipis, tidak menghentikan pijatannya. "Tidak apa-apa, Sayang. Biar Mas pijat. Siapa tahu membuatmu lebih nyaman." Ia menatap Rara dengan tatapan serius.

   "Nanti jam delapan pagi, kita ke rumah sakit, ya. Mas sudah membuat janji dengan Dokter Silvi."

    Rara mengerutkan kening, mencoba mencerna informasi itu. "Dokter Silvi? Siapa dia, Maz?" tanyanya, ada sedikit nada kebingungan dalam suaranya.

   Axel menghentikan pijatannya, beralih menggenggam tangan Rara. "Dia dokter kandungan, Sayang. Teman baik Mas. Dia yang terbaik di bidangnya." Nada suaranya meyakinkan, namun matanya masih memancarkan kekhawatiran yang mendalam.

1
LISA
Wah terjadi tragedi yg sgt tak terduga moga tuan Smith dpt ditemukan..juga Ny Smith dpt tertolong.
LISA
Tuan & Ny Smith serta Justin memberikan warna dalam RT Axel & Rara..bahagia terus y keluarga Axel & Rara
LISA
Senengnya baby twins udh lahir..selamat y utk Rara & Axel juga utk Venzo udh jadi kakak nih 😊 bahagia selalu y utk keluarga kecilnya Axel..
LISA
Beri kekuatan pada Rara y Tuhan supaya persalinannya lancar..
LISA
Rico cari masalah tuh..beban Axel makin berat nih
LISA
Kasihan banget Maya..moga dgn operasi plastik bisa memulihkan wajahnya Maya.
LISA
Moga aj firasat yg baik..lindungi Rara terus y Axel..sehat selalu y Rara sampe HPL nya
LISA
Rara mempunyai hati yg mulia dia bisa menerima Venzo sebagai anaknya..moga keluarga kecil ini bahagia selalu..aplg dgn lahirnya si kembar yg meramaikan suasana di rumah itu
LISA
Syukurlah bayi mereka bisa diselamatkan..yg kuat y Rara..pasti kepala maid itu dihasut oleh Ellara..
partini
rumah seketat itu penjaganya bisa ada paket kaya gitu ,,orang dalam ini mah Weh Weh
aihhhsss penjai banyak orang"terlatih jg lucu LOL
LISA: Wah tenyata Bu Tina mata2 di mansion itu..awasi terus y May..
total 1 replies
LISA
ada apa y..moga Rara baik² saja..
LISA
Akhirnya Ellara sadar akan perbuatannya yg menyebabkan Papanya meninggal.
LISA
Ada pengganggu lg..moga Axel dpt membereskannya..Rara & babynya jg sehat² ya
LISA
Moga kondisi Mark segera membaik
partini
jadi OG , banyak kesempatan tuh bikin minuman di campur bubuk perangsang dll. lah
partini
Axel harus dengan perhitungan yg matang ingat bini lagi bunting salah langka behhhh amburadul
Jumaedi Jaim
lama up nya
partini
hadehhh Rara ini gimana sih,, suka ga gitu jg kalee terlalu over mah 🤦🤦🤦 noh singa 🦁 mau ngamuk cemburu
partini
benar benar ular 🐍 tuh cewek,,siapai aja algojo algojo manic sek Tomy biar mereka yg eksekusi kamu tinggal menonton dan merekam nya saja
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!