Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 | Kurir
Setelah beberapa waktu, Bastian akhirnya bangun. Dia terkejut begitu melihat Alana ada di sampingnya mengulas senyum.
"Papa udah bangun? Mau minum, Pa?"
Alana menyodorkan botol air mineral, gadis itu mendekatkan sedotan ke bibir ayahnya.
"Papa mau makan? Atau mau buah, Pa? Aku bawain apel kesukaan Papa. Mau Alana kupasin?"
Bastian justru menangis melihat putrinya. Tak terasa air mata mengalir dan jatuh di bantal.
"Papa kenapa? Kok nangis? Mau bangun? biar aku bantu." Alana dengan gesit membantu Bastian duduk dan memberi sebuah bantal di belakangnya.
"Makasih, Nak," ucap Bastian terbata sembari mengusap lembut rambut putrinya.
"Maafkan Papa, Sayang. Maaf atas segala ucapan yang telah melukaimu selama ini. Papa mohon, jangan benci laki-laki ini, Papa sadar telah menghancurkan istana yang kita buat. Papa menyesal telah melukai hatimu dan Mama." Suaranya hampir hilang, lirih dan tersendat oleh isak tangis.
Alana memeluk ayahnya, rasa hangat yang tlah lama hilang, kini kembali mereka ciptakan meski dengan keadaan seperti ini. Gadis itu mengusap lembut kedua pipi Bastian, sembari berkata lirih, "Papa nggak boleh nangis. Semua sudah takdir kita, Pa. Sekarang, yang penting Papa kembali sehat, kita pulang ke Jakarta. Aku yakin, Mama mau maafin Papa."
Namun Bastian menggeleng, "tidak, Nak. Papa akan pulang ke Jawa timur, ke tempat kakek nenek. Papa malu kalau harus bertemu ibumu. Papa nggak sanggup, Nak."
Alana mengeryit heran. "Jawa timur? Lalu kerjaan Papa di Jakarta gimana?"
Bastian menghela napas, dia menatap putrinya lekat.
"Sebenarnya, bisnis Papa sudah lama hancur, Nak. Papa terjerat hutang yang nggak sedikit. Papa ke sini ... berniat menjual rumah nenekmu itu ... " Alana cepat memotong, "jual? Astaghfirullah, Pa. Itu satu-satunya kenangan dari uti sama kakung ... trus, kenapa Papa bawa temen? Aku yakin, Papa ada main kan sama perempuan itu?"
Bastian terdiam, matanya kini beralih pandang ke arah jendela. Sedangkan Alana menatap penuh tanya.
"Pa, aku di sini. Coba jangan lari gini. Aku mau semuanya jelas, biar aku juga nggak mikir macem-macem."
Sebelum menjawab, laki-laki itu menghembuskan napas dalam. Dia meraih jemari Alana, lalu menggenggamnya.
"Maafkan Papa, Nak. Mungkin ini kurang etis dibahas sama kamu. Tapi karena kamu yang minta, terpaksa Papa katakan ... (Bastian menatap Alana yang fokus ke arahnya) ya, Papa akui kalau Papa selingkuh sama Silvi, itu semua karena Mama kamu yang selalu sibuk dengan bisnisnya sampai lupa akan kewajiban dia sebagai istri ... dengarkan dulu, tolong jangan potong penjelasan Papa. Papa tahu itu salah, tapi Papa laki-laki normal dan yah, mungkin juga Papa kurang kuat iman, jadi gampang tergoda perempuan lain. Maaf atas sikap Papa yang terkadang keras dan mungkin bikin kamu sakit hati, Nak. Papa terbawa emosi sesaat."
Alana mengangguk lemah, lidahnya kelu. Walaupun hati ingin berkata panjang lebar, namun melihat wajah ayahnya yang lesu dan terlihat sedih penuh penyesalan, membuat gadis itu kembali memeluk.
"Pa ... "
Keduanya terisak, memberi getar dalam keheningan ruangan yang kini mulai menghangat.
Sementara di salah satu sekolah ibu kota, tepatnya Dirgantara. Gala tak lepas memandang bangku kosong di pojok belakang, tempat di mana Alana selalu duduk manis dengan novel di tangan.
"Woi, bengong mulu, kesambet baru tahu rasa!" Rio memukul lengan Gala, namun cowok itu tetap diam, tak ada reaksi balasan seperti biasanya.
"Lo kenapa, sih? Kangen Alana?" ucapan Adit seketika membuat Gala menoleh.
"Tumben lo pinter." Gala tertawa pelan lalu kembali diam.
Tak lama, ada seorang adik kelas yang mencari Alana. Dengan cepat, Gala menghampiri dan membawanya sedikit menjauh dari kerumunan.
"Lo ngapain nyariin Alana? Tunggu bentar ... lo kan? Yang waktu itu jalan di mall kan? Yang liatin gue terus? Ya kan?" ujar Gala sembari mengingat kejadian tempo hari.
Anak itu gelagapan dicecar pertanyaan seperti itu, perlahan dia mengangguk karena tak ada alasan lain untuk mengelak.
"Hm, sekarang lo ngapain ke kelas gue? Nyariin Alana pula, lo kenal dia?" Gala melihat anggukan pelan di hadapannya, namun dengan cepat berubah menjadi gelengan.
"Di-ka, lo mau pake cara lembut atau kasar? Gue bisa semua, tergantung permintaan." Gala membaca name tag di hadapannya, lalu dengan gaya sok jagoan, dia menyingsingkan lengan baju lalu menaikkan kerahnya.
"Iya, iya, saya ngaku. Saya cuma tahu kak Alana tanpa pernah kenal dekat ... " ucapnya tergagap.
"Trus, lo ngapain nyariin dia? Mau minta tanda tangan?" Gala cepat memotong sembari memandang ke arah tangan yang tersembunyi di balik tubuh.
"Ini, saya cuma disuruh kasih ini, Kak." Dengan gemetar, dia menyerahkan secarik kertas yang terlipat rapi.
"Dari siapa?" Gala mengambil dan membukanya, membaca baris demi baris kalimat puitis yang tertuju untuk Alana.
Dadanya bergemuruh, hawa panas mulai menjalar di sekujur tubuh. Gala menyipitkan mata ke arah Dika, menekannya agar berkata jujur.
"Siapa!"
Suara Gala meninggi, membuat satu dua kepala menoleh. Dia maju selangkah, mengikis jarak yang menjadikan lawan bicara semakin terpojok.
"Anu, Kak. Anu ... "
"Anu apa! Ngomong yang jelas!" Gala menarik kerah baju lawan dan berkata lirih, "lo jujur ke gue, atau lo tahu sendiri akibatnya."
Gala balik badan, berniat pergi. Namun, sebuah nama membuat dia terdiam dan kembali menatap adik kelasnya yang masih berdiri dengan wajah pucat.
"Lo kenal?"
Gala melihat anggukan lemah di hadapannya, "dia masih sepupu saya, Kak. Dia tahu saya sekolah di sini, sama kayak kak Alana, jadi hampir seminggu sekali dia titip surat."
"Alana tahu?" Gala tak menghiraukan bel masuk yang nyaring di telinga.
Anak itu menggeleng, "nggak, Kak."
Gala mengangguk, lalu menepuk bahu Dika sebelum berlalu pergi.
Jadi lo pelakunya? Selama ini gue mulu yang dituduh main surat kaleng. Lagian ngapain surat-suratan kayak jaman baheula aja. Tu anak juga mau-maunya jadi tukang pos, heran.
Gala berhenti tepat di depan pintu kelas, matanya nyalang mencari sosok guru di dalam. Setelah memastikan, dia tersenyum kecil, memasukkan tangan ke saku celana, lalu bersiap melangkah masuk.
"Halo, Manggala. Dari mana nih? Abis ke kantin ya? Ininya nggak denger bel?"
Gala terkesiap, saat telinganya dijewer dari belakang. Dia menoleh dan menyeringai salah tingkah.
"Eh, Ibu. Saya kira nggak masuk ... awww sakit, Bu. Ampun, ampun."
Bu Resi membawa masuk kelas tanpa melepas jepitan jari di telinga Gala.
"Enak aja, kamu mau menghindar? Iya? Mau pura-pura pusing lagi terus ke UKS, terus nggak ikut ulangan. Gitu??"
Gala hanya diam, namun isi kepalanya yang menjawab.
Percuma ngebantah, ras terkuat tak pernah salah.
"Sekarang, kerjakan soal ulangan ini, di sini!"
Bu Resi berdiri dari bangkunya, lalu meminta Gala duduk di sana.
Hati meminta diam, namun mulut tiba-tiba bersuara. "Lho, Bu. Ini namanya saru, nggak sopan. Kan saya masih murid, murid teladan pula. Nggak baik duduk di kursi guru, apalagi Ibu berdiri."
Bantahan Gala membuat seisi kelas riuh.
"Semua diam! ... kamu kerjain di sini. Nggak ada protes lagi atau Ibu akan kirim kamu ke ruang BK biar dapet SP." Tatapan guru wanita itu begitu tajam, membuat anak didiknya seketika menunduk.
Akhirnya Gala mengangguk, lalu duduk di lantai dekat papan tulis. Menghadap teman-temannya yang menahan tawa.
Lo pada seneng bener liat gue menderita.
Gala menghela napas dan mulai mengerjakan soal dengan mata melirik ke depan, mencari bantuan.
"Kerjakan sendiri! ini bukan tugas kelompok!"
Bu Resi duduk dengan tenang, namun tatapannya berlarian mengitari seisi kelas, termasuk satu siswa di dekatnya.
*
seperti nya alana dan gala ini, yang jadi pusat cerita/Proud/
bahkan jauh lebih baik dari saat aku menulis pertama kali.
semangat. pembaca akan berdatangan pada akhirnya