NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33 MALAM PERBURUAN

Langit malam tak pernah berubah. Ia selalu datang tepat waktu, seperti janji yang diam-diam ditepati tanpa perlu diucapkan. Angin berembus ringan, menggerakkan pepohonan tinggi yang mengelilingi bangunan itu—klub malam berlantai hitam yang menguarkan suara bising dan aroma tubuh bercampur alkohol.

Bukan sunyi yang menemani malam ini.Tapi dentuman musik yang mengguncang dada, pekikan mabuk yang pecah, dan gelas-gelas beradu seperti gemerincing perang sebelum ajal.

Meja-meja dipenuhi pria-pria dengan senyum licik dan pandangan lapar. Di samping mereka, wanita-wanita muda bersandar mesra, menuangkan minuman sambil merapatkan dada. Beberapa tertawa, beberapa hanya diam menunggu perintah. Sesekali, teriakan memecah suasana—karena taruhan salah, atau perempuan yang dipilih ternyata bukan milik siapa pun.

Di sudut bar, Noah duduk sendirian. Tangannya memutar gelas kristal bening yang setengah terisi. Cairan di dalamnya tampak seperti air biasa, tapi panasnya bisa membakar dari tenggorokan sampai ke dada. Ia masih dengan penampilan lamanya: topi gelap menutupi sebagian wajah, jaket hitamnya sedikit terbuka, memperlihatkan kaus abu-abu yang sudah lusuh.

Tugas pengintaian sudah selesai. Ia seharusnya merasa bebas. Tapi tidak.

Ada satu hal yang masih membekas di kepalanya: mobil itu. Plat nomor yang terus terputar dalam pikirannya seperti mantra yang belum terpecahkan.

"Siapa sebenarnya orang di balik mobil itu?"

Suara bangku bar yang digeser membuatnya menoleh.

Seorang wanita duduk di sampingnya. Tanpa memperkenalkan diri, ia memesan bourbon, lalu memutar badannya sedikit menghadap layar yang menyala di tangannya. Matanya tajam, seperti sedang menyesuaikan wajah Noah dengan sesuatu di pikirannya.

Makeup tebal menutupi wajahnya, bibir merah menyala, pakaiannya hanya selembar kain tipis yang nyaris tak layak disebut busana. Tapi sorot matanya tajam—terlalu tajam untuk seorang gadis klub biasa.

“Tuan,” katanya tiba-tiba, suaranya datar tapi menusuk, “melihat plat mobil itu tidak akan membuatmu lebih dekat dengannya.”

Noah menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”

Wanita itu tidak langsung menjawab. Ia menerima gelas dari bartender, mengangkatnya sebentar seperti memberi penghormatan, lalu meminumnya perlahan.

“Pemilik mobil itu ada di sini malam ini,” bisiknya, kemudian melirik ke belakang, ke pojok ruangan yang remang.

Noah mengikuti arah pandangannya.

Di sana, di ujung tergelap ruangan, dua pria duduk bersama. Salah satunya berambut terang—Samuel. Noah mengenali wajah itu dari jauh. Tapi pria di sampingnya...

Pria itu duduk tenang, nyaris tak bergerak. Hanya satu tangan yang terlihat, menyentuh gelas tanpa benar-benar meminumnya. Rambutnya gelap, dan meskipun wajahnya samar, Noah bisa melihat kilatan mata hijau dari balik bayangan.

Seketika, jantungnya memukul keras dari dalam.

Samuel... Cinderline... dan pria itu...

Tubuhnya mulai gemetar, udara terasa semakin sempit. Ia mencoba menelan ludah, tapi tenggorokannya kering seperti padang tandus. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan tengkuknya. Ia harus keluar dari sini.

"Sebelum Samuel menyadari keberadaanku..."

Tapi ia terlambat.

Di sisi lain ruangan, di balik meja penuh botol mahal dan wanita-wanita dengan tawa palsu, Viren duduk diam.

Ia tidak melihat panggung. Tidak melihat para gadis. Ia hanya menatap tajam ke arah meja judi, tempat para pengkhianat bersulang dan tertawa, seolah dosa mereka bisa ditebus dengan satu malam pesta.

Mereka adalah klien Cinderline. Dulu. Tapi malam ini, mereka adalah target.

Tak satu pun dari mereka menyadari, bahwa orang yang sedang mengincar mereka tidak duduk di menara kaca atau ruang rapat—tapi di ruangan yang sama, hanya beberapa langkah dari mereka.

Viren memalingkan wajah saat seorang wanita mencoba merayunya. Ia menolak tanpa suara. Samuel yang duduk di sampingnya menggerutu pelan.

“Mengajaknya ke tempat seperti ini hanya merugikan diriku,” gumamnya sambil menghisap rokok, sebal.

Jake duduk di sisi kiri Viren. Pandangannya tertuju ke arah seorang wanita berbaju merah yang duduk membelakanginya. Rambut panjangnya mengalir sampai pinggang. Sepatu hitam tinggi membingkai kaki jenjang yang bersilang anggun.

Di sebelah wanita itu—seorang pria bertopi. Menunduk. Gemetar.

Jake tidak berkedip.

Wanita itu memutar kursinya perlahan. Kepalanya menunduk sedikit. Sebuah anggukan. Sebuah kode.

Target terkunci.

Jake menyentuh lengan Viren perlahan. “Tuan... penguntit itu ada di sini.”

Viren mengalihkan pandangan. Matanya bertemu dengan Noah yang—dari balik bar—berusaha mencuri pandang.

Hanya sedetik. Tapi cukup.

Tatapan itu seperti pisau yang dilempar dari jauh, menancap langsung ke dada. Noah terpaku. Tak bisa berpaling. Tak bisa bernapas.

Ia berdiri tergesa, melangkah melewati orang-orang yang tertawa dan menari. Ia menabrak satu dua orang, tapi tak sempat minta maaf. Jantungnya tak lagi berdetak—ia merasa jantung itu melarikan diri lebih dulu meninggalkannya.

Ia harus kabur. Sekarang.

Samuel menoleh saat melihat Viren berdiri.

“Kau mau ke mana?” tanyanya, tak suka.

“Awasi mereka,” jawab Viren singkat, tak menoleh sedikit pun.

Jake sudah bersiap di belakangnya, mengikuti langkah pria itu keluar dari kegelapan menuju pemburuan.

Dan dari balik lampu klub yang berkedip, seseorang tersenyum.

Lily.

Noah berhasil menyelinap keluar dari keramaian. Nafasnya masih berat, seperti berlari dari kematian yang menyusul dari belakang. Tangannya bertumpu di dinding lorong yang lembab, tubuhnya sedikit membungkuk, seperti menolak kenyataan bahwa dia sedang diburu.

“Akhirnya aku bebas…” pikirnya, meski ia tahu itu bukan sepenuhnya benar.

Lorong itu sunyi. Tapi langkah datang dari belakang—ritmis, tenang, bahkan terlalu teratur untuk seorang yang marah. Bukan langkah pengejar. Ini... lebih seperti penantian yang panjang akhirnya menemukan waktunya.

Noah menoleh.

Siluet itu muncul dari kegelapan. Bayangan manusia yang perlahan jadi utuh. Bukan siapa-siapa di matanya—namun jantung Noah langsung melonjak liar. Ia tak perlu tahu nama untuk tahu apa yang sedang datang ke arahnya.

Refleksnya bukan lari ke luar. Ia malah berbalik menaiki tangga darurat ke rooftop, berharap bahwa ketinggian bisa menyelamatkannya dari sosok di bawah sana.

Begitu mencapai puncak, Noah membanting pintu logam dan menguncinya rapat. Ia bersandar lemas di balik pintu, merosot perlahan ke lantai beton. Langit gelap menyelimuti, bintang-bintang redup seperti enggan jadi saksi.

Lima menit.

Tidak ada suara dari bawah.

Tidak ada gedoran. Tidak ada hentakan.

"Dia menyerah. Dia tidak mengikutiku ke atas..."

Lalu terdengar suara kecil—klik—seperti rantai dikendurkan perlahan.

Terlambat untuk lari.

Brugh!

Tendangan menghantam pintu dari dalam, dan Noah terpental ke belakang. Tubuhnya menghantam lantai rooftop yang keras, udara di dadanya habis seketika.

Viren berdiri di ambang pintu.

Topi hitam menaungi sebagian wajahnya. Mata hijaunya memantul dari cahaya lampu neon di sudut rooftop, tajam, penuh kebencian yang tidak berisik—tapi mencekik.

Jas putihnya berkibar pelan ditiup angin. Tangannya terbungkus sarung tangan gelap, dan dalam diamnya, Noah merasa seperti sedang dipandangi malaikat maut yang berpakaian bersih dan rapi.

“Kau pikir bisa lari dariku?” suara Viren rendah, nyaris tak terdengar oleh angin.

Noah hanya menggeleng pelan, tubuhnya setengah bangkit, napasnya pendek-pendek.

“Siapa... kau?”

Viren tidak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan mendekat, seperti singa yang tahu mangsanya sudah tidak punya tempat bersembunyi.

“Aku orang yang menghancurkan gigimu malam itu,” bisiknya.

“Sialnya, kau masih bisa bicara.”

Noah menelan ludah. Ini adalah kali pertamanya melihat wajah pria itu. Dan seperti kabut yang perlahan terbuka, semua potongan informasi dalam kepalanya akhirnya menemukan bentuk.

Ini dia.

Pria itu.

Pemilik Kairotek.

Dalang Cinderline.

Orang yang tak boleh dilihat, apalagi dikenali.

“Ya...” ucap Viren, seolah membaca pikirannya. “Kau melihat wajahku. Dan itu kesalahan terakhirmu.”

Ia mencengkeram kerah Noah, menariknya kasar.

“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Viren. Nada suaranya tetap tenang, namun matanya seperti bara.

Noah bergetar. Tapi ia tetap menggeleng. “Aku tidak akan bicara.”

Viren mendecih. “Sayang sekali. Aku sebenarnya ingin tahu seberapa jauh informasi yang sudah bocor.”

Kemudian hening. Di sela angin yang lewat, suara napas Noah terdengar paling nyaring.

Dan ketika Viren membungkuk, Noah melihat celah. Tangan kanannya merayap ke dalam jas pria itu, mencoba mengambil sesuatu yang keras dan dingin—senjata.

Tapi...

DOR.

Peluru menembus sisi kepala Noah. Suara tembakannya nyaris tak terdengar, hanya letupan pendek seperti suara ban kempis. Darah langsung menyembur, mengenai bagian depan jas putih Viren seperti bunga merah yang baru mekar.

Tubuh Noah jatuh seperti karung pasir. Tak ada suara. Tak ada jeritan. Hanya keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya.

Dari balik tangki air, muncul Bismuth—sniper terbaik cinderline, senapan masih di tangannya. Wajahnya tanpa ekspresi.

“Aku melihat dia berusaha mengambil pistolmu,” ujarnya.

Viren menatap noda merah di jasnya, menghela napas.

“Kau menembak terlalu cepat. Dia mungkin masih menyimpan sesuatu.”

Jake datang tak lama kemudian, memungut ponsel yang terlempar ke lantai, layarnya pecah dan mati.

“Kita bisa cek dari dalam. Mungkin ada data yang belum sempat dikirim.”

Viren tidak menjawab. Ia menatap tubuh yang tergeletak itu lama, lalu membalikkan badan.

“Bereskan. Bersihkan semuanya,” katanya datar, lalu melangkah menuruni tangga.

Sisa malam di rooftop itu sunyi seperti kuburan.

Dan Noah—akhirnya benar-benar bebas. Tapi dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.

Sementara itu, di Calligo, Zia duduk di balkon lantai atas. Langit mulai gelap, menandai sore yang bergeser pelan ke malam. Angin tipis berhembus, menerpa rambutnya yang masih setengah basah selepas mandi. Aroma sabun dan udara pegunungan berpadu dalam diam.

Berita tentang perayaan tahunan Kairotek sudah sampai di telinganya. Ia membuka ponsel, menggulir layar perlahan—melihat-lihat beberapa kostum pria yang terlihat cocok untuk Viren. Tidak terlalu norak, tidak pula mencolok. Tapi cukup mencuri perhatian bila dikenakan oleh seseorang seperti Viren.

Ia sempat tersenyum kecil, membayangkan Viren mengenakan salah satu jas berwarna gelap dengan detail minimalis di kerah.

Satu dua foto disimpannya dalam folder rahasia. Entah untuk apa. Mungkin hanya agar ia merasa seperti ikut mempersiapkan sesuatu untuk pria itu.

Zia kemudian menyimpan ponselnya. Ia menarik napas, menoleh ke meja kecil di samping kursinya, lalu mengambil buku berwarna merah muda—buku yang sempat Viren ambil di rak supermarket beberapa waktu lalu. Masih baru. Halamannya masih kosong. Bahkan aroma kertasnya pun belum bercampur dengan tinta.

Ia membuka halaman pertama, melepaskan tutup pulpen, dan mulai menulis:

...Aku tidak suka matematika karena itu memusingkan. Tapi sejak aku menginjakkan kaki di Calligo, menghitung justru menjadi kebiasaanku. Aku selalu menghitung hari demi hari yang aku lalui di tempat ini—tempat besar dengan banyak orang, namun tetap sunyi di sepanjang waktunya....

...Awalnya, kehadiranmu membuatku takut dan canggung. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap padamu—seorang pria yang dingin, tenang, dan nyaris tanpa emosi....

...Tapi sekarang... ketidakhadiranmu justru membuatku resah....

Pena yang semula menari ringan di atas kertas mendadak menggantung di udara. Zia menatap tulisannya, hening. Lama.

"Apakah aku sudah... terlibat terlalu dalam?" gumamnya lirih, tak yakin apakah suara itu benar-benar keluar dari mulutnya atau hanya bergema di dalam hati.

Ingatan akan perjanjian mereka kembali muncul. Pernikahan formal. Kesepakatan tak tertulis untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Tapi sejak kapan batas itu mulai kabur?

Zia mengerjap pelan. “Tapi yang mulai dia,” ujarnya sambil memeluk buku di pangkuan, “jadi dia yang melanggar.”

Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak ringan. Ia segera menutup bukunya dan menoleh.

“Makan malam sudah siap, Nyonya,” kata Emi dari ambang pintu.

Zia sempat berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku makan di sini saja.”

“Baik, akan saya bawakan.”

Setelah Emi pergi, keheningan kembali. Suara dedaunan yang bergesekan dan nyanyian serangga malam terdengar lebih jelas.

Zia menyandarkan punggungnya, lalu menatap langit malam yang mulai memunculkan bintangnya satu per satu.

Tiba-tiba, kenangan itu kembali—malam ketika mereka duduk di balkon, di sofa yang sama dan berbagi minuman. Ketika angin malam terasa lebih hangat karena ada seseorang di sampingnya. Ketika Viren, tanpa sepatah kata, menariknya lebih dekat dan... menciumnya.

Pipinya memanas seketika. Refleks, kedua tangannya yang dingin terangkat, menutupi pipinya sendiri.

Ia tersenyum kecil. Tak bisa menahannya.Lalu, perlahan dan nyaris tanpa suara, ia bergumam,

“Apakah ini... yang disebut merindukan seseorang?”

.

.

.

.

Jangan lupa likee ya kalo kalian suka ceritaku.. Dan bisa share juga ke temen2 kalian ya, sangkyuu❤️❤️🤗

1
Denni Siahaan
bagus b ya
Laruan
Kalo udah gini menurut kalian lanjutannya bakalan kayak gimana? coba kasih tau aku pendapat kalian dong
Rima Putri Melaty
aku kaya lagi bca puisi ... pemilihan bahasanya punya nilai kualitas yg tinggi.
Rima Putri Melaty
penasaraann sekali kaka... jngan lupa up setiap hari yaaa...
semangaatt dari tegal. 🤗
Laruan: Aku usahain up tiap hari ya, jadi terus support karya aku yaa🤗 ohiya untuk visualnya, coming soon..
total 1 replies
Rima Putri Melaty
luar biasa.
Rima Putri Melaty
penulisannya keren, bahasanya tinggi, the best pokonya...
Enz99
bagus
Enz99: makasih
Laruan: Aku udah up 2 bab, hadiah buat kamu karena udah support karyaku🤏❤️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!