Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
David baru saja sampai tempat warung makannya. Bukannya bersiap dengan penuh semangat menjalani hari, pria itu justru menghela nafas panjang. Memikirkan kembali kehidupan rumah tangganya yang tidak pernah sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Memang benar, Luna telah setuju untuk melepaskan karir juga semua yang dia punya di kota besar. Akan tetapi, entah komunikasi diantara mereka sama sekali tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.
David menilai jika Luna terlalu banyak membantah. Seharusnya sebagai seorang wanita yang telah menikah, tugas utamanya hanyalah patuh juga menuruti segala ucapan suaminya.
“Sepertinya Luna memang tidak bisa menjadi wanita penurut seperti itu,” gumam David pelan pada dirinya sendiri. “Dia terlalu dominan, juga tidak suka diatur.”
Tidak mau terus menerus larut dalam kekesalan, David memutuskan untuk turun dari sepeda motor, kemudian melanjutkan langkah untuk membuka warung makannya.
Suara derit dari engsel pintu kayu terdengar, saat David mendorong benda itu ke arah samping. Setelah sampai di dalam, David juga menyingkap tirai yang terbuat dari anyaman bambu klasik, membiarkan udara segar masuk ke dalamnya.
Kini pria itu mulai melangkah ke arah dapur, memeriksa beberapa bahan makanan, serta daftar menu yang akan disajikannya hari ini. Karena warung makan miliknya, memiliki konsep yang unik sejak dulu. Yaitu, menyajikan menu yang berbeda setiap harinya.
“Jika warung ini mulai ramai, maka aku akan membutuhkan beberapa bantuan dari orang lain,” pikir David saat membayangkan jika kursi tamu yang ada di belakangnya ini akan terisi penuh oleh para pelanggannya.
“Tapi—” David menjeda ucapannya. Menancapkan ujung pisau pada papan di depannya. “Haruskah, aku meminta bantuan Luna suatu saat nanti?”
Di tengah suasana sejuk pedesaan, serta riuh kicau burung di pagi hari, sama sekali tidak bisa meredakan perasaan David yang memang sudah berantakan sejak tadi.
Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Mulai bertekad jika dirinya yang sekarang, juga bisa bangkit dan memiliki pekerjaan lebih baik daripada istrinya.
“Aku pasti bisa,” ucapnya penuh percaya diri.
***
Siang harinya, di kantor guru sekolah dasar. Seperti biasa Kumala akan sibuk dengan beberapa pekerjaan, salah satunya memberi nilai pada hasil ulangan para murid.
Pada dasarnya, Kumala memang tipe wanita yang rajin dalam bekerja. Ia akan mencurahkan seluruh hatinya untuk bisa membuat semua pekerjaannya berjalan dengan lancar.
“Bu Kumala hari ini mau makan apa? Kebetulan saya yang bertugas untuk mencari makanan,” suara dari seorang wali kelas satu bernama Bu Dina terdengar di telinga Kumala.
“Saya ikut yang lain saja, Bu,” jawab Kumala santai, lalu kembali mengalihkan tatapannya pada lembar jawaban muridnya.
“Hari ini kita mau makan mie ayam, Bu Kumala mau, kan?”
Kumala menoleh, tersenyum sedikit, lalu mengangguk. “Iya, saya mau.”
Suasana kembali tenang. Para guru kembali menyelesaikan pekerjaan mereka masing-masing sambil menunggu makan siang datang. Kumala sendiri tampak rajin membuat beberapa macam pertanyaan untuk kuis di dalam kelasnya besok pagi.
Saat ia menoleh ke arah jendela, Kumala melihat jika Sarah dan Siena tengah berjalan bersama untuk pulang sekolah.
Kumala langsung bangkit dari duduk, menyambar kunci sepeda motornya, lalu berlari ke arah luar. Sebelum benar-benar sampai di luar, tepatnya masih berdiri di ambang pintu, ia menoleh ke arah belakang. “Bu Dina, saya izin untuk mengantarkan Sarah dan Siena pulang dulu, ya?”
“Lho, Bu Kumala, kenapa harus diantar pulang? Ada yang sakit?” tanya Bu Dina bingung. Karena Siena sendiri adalah murid di kelasnya.
“Sarah sebentar lagi akan mengikuti lomba menyanyi, jadi saya harus bertanggung jawab mengenai semuanya. Saya antar mereka dulu, ya Bu.”
“Oh ya, baik Bu,” jawab Dina pelan. Meski masih bingung dengan sikap berlebihan yang ditunjukkan oleh Kumala, ia memilih untuk diam dan melanjutkan kegiatannya.
Beberapa saat kemudian, Kumala baru saja mengantarkan dua bocah perempuan itu sampai ke rumah mereka. Tapi kali ini, Kumala menurunkan mereka di tepi jalan setapak di depan rumah Bu Galuh. Jika biasanya Kumala akan berhenti tepat di halaman rumah mereka, kini wanita itu hanya memutuskan mengantar sampai di tepi jalan saja.
“Terima kasih Bu Kumala,” ucap Sarah dan Siena serempak.
“Sama-sama,” jawab Kumala ramah. “Sudah, cepat kalian masuk sana.”
Keduanya menurut, lalu berlari masuk menuju halaman rumah milik Bu Galuh. Sementara itu, Kumala masih menatap mereka dari kejauhan.
Alasan sebenarnya Kumala hanya mengantarkan sampai di tepi jalanan saja adalah, ia tahu jika David masih berada di warungnya. Jadi, menurut Kumala itu sama saja dengan sia-sia karena pria yang ingin ditemuinya sedang tidak berada di rumah.
Setelah memastikan Sarah dan Siena masuk ke dalam rumah, Kumala kembali menyalakan sepeda motornya lalu melaju meninggalkan tempat tersebut.
Saat sampai di pertigaan yang berada di tepian sawah, Kumala mendadak teringat jika jalan yang berlawanan arah dengan sekolah tempatnya mengajar, adalah jalan menuju ke arah warung milik David.
Ada keinginan aneh bersemayam dalam hatinya. Kumala langsung menggelengkan kepala ke kanan dan kiri agar pikiran tersebut segera pergi. “Mungkin aku sudah mulai gila karena terlalu memikirkannya.”
Kumala memutuskan untuk segera kembali ke sekolah dengan cepat, namun suatu hal kembali menghentikan niatnya. “Mustahil jika dia tidak memiliki perasaan padaku. Buktinya, dia rela membelikan coklat mahal hanya karena aku pernah bercerita padanya satu kali.”
Dengan keyakinan yang mantap, akhirnya Kumala nekat untuk mengarahkan motornya pada jalan yang berlawanan arah dengan tempatnya bekerja. Yaitu menuju ke arah warung milik David.
Belum sempat sampai di tempat tujuan, tiba-tiba saja hujan turun dengan begitu deras. Kumala sampai tidak memperhatikan jika langit memang sudah menghitam sejak tadi. Dengan sangat terpaksa, ia tetap melanjutkan perjalanan, menerjang hujan yang membuatnya basah kuyup.
Hingga akhirnya ia sampai. Kumala berlari dari arah halaman parkir sampai ke teras depan warung tersebut. David yang melihatnya dari arah dalam, langsung terkejut dan bergegas menghampiri Kumala.
“Apa yang terjadi? Kenapa Anda basah kuyup begini?” tanya David sangat panik.
“Bisakah kamu berbicara sedikit lebih santai denganku?” ucap Kumala tiba-tiba. “Sama seperti saat kita berkirim pesan.”
David langsung berdehem singkat, merasakan suasana antara kurang nyaman dan canggung menjadi satu. “Apa maksud Anda Bu Kumala?”
“Panggil aku Kumala, bukankah kamu sering memanggilku seperti itu, bahkan saat kita berbicara di ponsel.”
David menghembuskan nafas kasar. “Kamu benar, tapi tidak di tempat seperti ini juga. Kamu lihat jika tempat ini terbuka, bagaimana jika ada yang melihatnya?”
“Melihat apa? Kita hanya berbicara saja, tidak lebih kan?” Kumala mulai tersenyum penuh arti ke arah David.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, tapi Kumala tampak sangat cantik dengan rambut basah, serta kemeja yang demi apapun itu terlihat mencetak jelas bentuk tubuhnya.
David menelan ludahnya kasar. Mulai mengambil langkah mundur ke belakang satu kali, setidaknya sedikit menjauh dari wanita itu. Bibirnya gemetar, belum pernah ia merasakan aura intimidasi dari seorang wanita yang sangat kuat seperti ini.
Kumala tampak merapikan rambut panjangnya, ujung baju yang basah itu terlihat menetes di atas lantai, matanya menoleh ke arah David. “Kenapa kamu mau membelikanku coklat mahal waktu itu?”
“Apa maksudmu?” David mengerutkan alisnya.
Kumala masih menatapnya dengan lekat, hingga satu senyum samar terbit di bibir cantiknya. “Kamu mengatakan jika wanita luar biasa seperti diriku, pantas mendapatkan yang terbaik. Jadi, apa itu berarti kamu menyukaiku?”
“Itu hanya pendapatmu saja. Kita hanya saling berkirim pesan biasa.” David berusaha untuk menyangkalnya.
“Kamu selalu mengatakan selamat malam dan selamat tidur untukku, apa itu hal yang wajar terjadi diantara kita?”
David menatapnya dengan mata yang bergetar. Tubuh Kumala yang basah, dengan kulit yang tampak lebih pucat dari biasanya, membuatnya semakin menggoda. Pikiran David mengatakan jika dia harus pergi dan menghentikan ini sekarang juga, tindakannya jelas salah, tapi hatinya seperti tengah memberontak.
Ketika Kumala pada akhirnya menghentikan langkah di hadapannya dan hanya menatap dingin tanpa ekspresi, David mulai merasakan jika dinding pertahanannya akan runtuh.
Dengan cepat, David menyambar tubuh Kumala, lalu…menciumnya.
Ciuman mereka bukanlah sesuatu yang lembut, melainkan ciuman penuh keinginan yang tertahan. Kumala sama sekali tidak melakukan penolakan, tubuhnya terdorong ke arah meja seiring kegiatan mereka yang semakin berani.
Dinginnya hujan diluar sana, berbeda jauh dengan udara panas di antara dua insan yang tengah dimabuk asmara. Bahkan suara derasnya hujan menjadi irama yang menenggelamkan dunia. Tangan Kumala mencengkram kerah kemeja yang dipakai David, menarik pria itu agar bisa lebih dekat dengannya.
Tanpa mereka sadari jika dari balik pohon kelapa yang tidak jauh dari jalan, seseorang sedang berdiri dengan kameranya.
CEKREK…!!!
Begitulah suara yang dihasilkan dari kamera yang berhasil mengabadikan momen panas keduanya. Sepasang manusia yang hanyut dalam ciuman, tubuh si wanita bahkan hampir terdorong ke atas meja sepenuhnya.
Dari luar, si pemotret mulai berjalan menjauh. Memasukkan kameranya ke dalam jaket warna hitam yang dipakainya. Hujan masih tetap turun, tapi rahasia itu kini tak lagi menjadi milik David dan Kumala saja.
BERSAMBUNG