NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 25: Bau Tanah Liat dan Ujian Alibi

​Selasa Siang. Pukul 11:30.

​Panggilan tak terduga dari Naira membuat Luna membeku di tengah ruang tamu.

​"Lun, kamu bisa minta Mas Raka jemput kamu di Studio Karsa nanti sore?" suara Naira terdengar ceria, namun Luna merasakan alarm bahaya berbunyi keras, bukan hanya di telinga, tetapi di seluruh sistem sarafnya.

​"Jemput? Kenapa, Kak?" Luna berusaha menjaga suaranya tetap datar dan tenang, bahkan saat ia secara refleks mengelap tangannya yang sudah bersih—seolah ia baru saja membersihkan palet cat air imajiner.

​"Aku ada urusan mendadak, harus ke tempat klien penting di luar kota. Rapatnya sampai sore. Aku nggak mau kamu capek sepedaan sendirian di jam sibuk, apalagi kamu kan baru sembuh total dari sakit kemarin," jelas Naira. Nada suara Naira dipenuhi perhatian, dan justru kehangatan itu yang terasa menusuk Luna. "Aku sudah text Mas Raka, dia bilang oke. Lagipula, dia bilang dia mau lihat studionya dari luar. Katanya biar dia tahu, tempat kamu habiskan waktu itu aman."

​Naira bahkan sudah mengatur segalanya. Raka sudah setuju. Ini bukan permintaan, tapi sebuah fait accompli—fakta yang sudah terjadi. Raka tidak hanya menerima undangan itu, ia bahkan menyertakan alasan yang sempurna: ingin memastikan tempat Luna aman. Itu adalah langkah power play yang khas Raka.

​"Oh, tentu, Kak. Nggak masalah," Luna berkata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu. "Tapi... Mas Raka harus nunggu di luar ya. Aku nggak enak kalau dia sampai masuk-masuk studionya. Aku kan cuma ambil kelas dasar. Malu kalau ketahuan aku masih seburuk itu," Luna menggunakan 'malu sebagai seniman pemula' sebagai benteng pertahanan paling kokoh.

​"Iya, iya, aku tahu. Dia cuma mau lihat sekilas lingkungannya. Dia itu protector banget sama kamu, Lun. Maklumi saja. Sudah ya, Sayang. Sampai ketemu di rumah. Have a great day! Jangan lupa senyum, biar lukisanmu juga ceria!"

​Panggilan terputus. Luna berdiri di tengah ruang tamu yang sunyi, merasakan gravitasi dari kebohongan ini menariknya ke bawah. Kunci Unit 903 terasa dingin di saku hoodie yang ia gantung di belakang pintu. Ia segera berlari, meraih ponselnya, dan mengetik pesan darurat ke saluran rahasia mereka.

​Luna: Mas, Kak Naira minta kamu jemput aku di Studio Karsa sore ini. Kamu sudah tahu? Ini bahaya! Kamu sudah setuju?!

​[Analisis Taktis Raka]

​Raka saat itu sedang berada di kantornya, di tengah rapat board meeting yang serius. Ponselnya bergetar di dalam saku jas mahal. Ia meminta izin ke toilet, melangkah keluar, dan langsung membaca pesan Luna. Bibirnya membentuk senyum tipis—senyum yang penuh dengan perhitungan dan adrenalin. Ini adalah jenis tantangan yang ia cintai.

​Raka: Tentu saja aku tahu. Ini adalah bagian dari rencana, Luna. Ini bukan bahaya; ini adalah kesempatan.

​Luna: Kesempatan apa? Untuk Naira melihat aku datang dari arah yang salah? Aku harus naik taksi dan lari ke sana! Bagaimana kalau dia melihat aku terengah-engah tapi tidak ada bau cat di badanku?

​Raka: Tenang. Jemputan ini adalah ujian penting untuk menguatkan alibi di depan publik. Naira tidak akan curiga jika aku sendiri yang mengkonfirmasi keberadaanmu di sana, bahkan di depan mata orang lain. Ini adalah penegasan statusmu sebagai 'wanita yang bersemangat melukis'.

​Raka: Tapi kamu tidak boleh naik taksi. Risiko terekam akunmu atau dilihat oleh sopir yang kenal kamu terlalu besar. Kamu akan lari, Lun. Itu yang kamu lakukan hari ini. Lari untuk kebebasanmu.

​Raka: Aku sudah mengirimkan instruksi detail. Baca dan laksanakan. Tepat Pukul 17:30, aku akan berada 100 meter di depan Studio Karsa, di pinggir jalan, menunggu 'putri' yang baru selesai melukis.

​Raka: Dan Luna, jangan pernah lupakan aturanku: Keteranganmu harus tertulis dengan jelas.

​Luna membaca pesan itu, dua belas jarinya mencengkeram ponsel. Raka tidak pernah panik. Ketenangannya adalah senjata yang paling mematikan. Ia telah mengubah situasi darurat menjadi babak baru dalam sandiwara mereka. Lari. Lari sebagai penegasan kebohongan.

​[Persiapan Terakhir di Markas Rahasia]

​Pukul 17:15. Unit 903.

​Setelah sesi mereka yang intens, di mana ketegangan dari panggilan Naira menambah elemen liar pada pertemuan mereka, Luna mengenakan kembali pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tidak ada lagi sisa waktu untuk melukis. Napasnya masih terengah-engah, bukan hanya karena hasrat, tapi karena kecemasan murni.

​Raka, sudah mengenakan kemeja dan dasi, tampak sempurna. Ia tidak meninggalkan jejak kekacauan. Ia adalah seorang ahli strategi yang selalu rapi.

​"Aku tidak suka ini, Mas. Ini terlalu berisiko. Bagaimana jika ada orang dari Studio Karsa melihatku berlari dari arah yang salah?" bisik Luna, merapikan rambutnya di depan cermin, tangannya sedikit gemetar.

​"Tidak ada yang akan melihatmu. Mereka akan melihatku," Raka membenarkan kerah kemejanya, matanya dingin dan fokus. "Dan jika ada yang melihatmu berlari, mereka akan mengira kamu bersemangat untuk pulang. Itu adalah interpretasi yang paling aman. Kamu adalah seorang seniman yang kelelahan. Ingat itu."

​Raka berjalan ke lemari kecil di sudut, laci yang jarang Luna perhatikan. Ia mengambil sebuah tas kecil, membukanya, dan mengeluarkan sepotong kecil tanah liat kering yang sudah dihancurkan menjadi bubuk kasar.

​"Ini," ujarnya. "Gosokkan ini di sela-sela jarimu, di bawah kukumu. Kalau Naira atau siapa pun bertanya, kamu sedang mencoba teknik tekstur dengan kuas besar, atau kamu sedang membuat karya patung kecil saat istirahat. Tanah liat adalah bau bumi, bau kesibukan yang sah."

​Luna menerima bubuk kasar itu, merasakan teksturnya yang dingin dan kasar. Ia menggosokkannya di ujung jarinya dengan rasa jijik dan kekaguman yang bercampur menjadi satu. Raka memikirkan setiap lapisan alibi.

​"Satu hal lagi," Raka kembali mendekat, mencium kening Luna—ciuman yang dingin dan strategis. "Kamu tidak hanya kelelahan. Kamu harus terlihat berkeringat. Berkeringat karena fokus, bukan karena berlari. Dan jangan lupa, kamu tidak boleh tercium bau mawar. Hanya bau cat air, bau udara bersih, dan, tentu saja, bau kita."

​Raka menarik napas dalam-dalam di leher Luna. "Bau kita yang paling penting. Bau yang hanya kamu dan aku yang tahu artinya."

​[Lari untuk Alibi: The Chase]

​Luna keluar dari Unit 903. Kunci itu dingin di sakunya. Ia turun, keluar dari lobi apartemen yang mewah, dan segera berbalik ke arah timur.

​Ia mulai berlari.

​Lari ini bukanlah lari biasa; ini adalah lari untuk alibinya, lari yang memisahkan kehidupan rahasia dari kehidupan publik. Udara sore yang dingin menerpa wajahnya, namun panas tubuhnya, sisa-sisa intensitas di Unit 903, memancar keluar.

​Setiap hentakan kakinya di trotoar terasa seperti konfirmasi pengkhianatan. Ia harus berlari sejauh satu kilometer, melalui blok-blok yang ramai oleh pekerja pulang kantor. Ia membiarkan rambutnya berantakan, napasnya memburu—ia harus menggunakan kelelahan fisiknya untuk menutupi kelelahan jiwanya.

​Pikirannya berpacu, mengulang instruksi Raka: Terlihat kelelahan yang sah. Berkeringat karena fokus.

​Aku baru saja menghabiskan tiga jam terkunci dalam hasrat, dan sekarang aku harus berlari untuk membuat dunia percaya aku sedang melukis. Ironi itu membuatnya ingin tertawa liar.

​Luna melirik jam tangannya. 17:27. Tiga menit lagi. Ia harus tiba tepat waktu. Sedetik pun keterlambatan akan membuat Raka cemas.

​Ketika ia mencapai blok terakhir, jantungnya benar-benar berpacu kencang, lututnya terasa lemas. Ia melambat, beralih ke jalan cepat, lalu berhenti. Ia membungkuk, menempatkan tangan di atas lutut, membiarkan tubuhnya bergetar dan napasnya mengambil oksigen secara dramatis. Ia harus terlihat seperti seseorang yang baru saja berjam-jam tenggelam dalam konsentrasi yang melelahkan.

​[The Ultimate Performance: Ujian di Mobil]

​Pukul 17:30. 100 Meter dari Studio Karsa.

​Mobil Raka—bukan mobil sewaan yang anonim, melainkan mobil pribadi mereka, sebuah pernyataan stabilitas—sudah menunggu. Raka berdiri di samping mobil, mengenakan jasnya yang rapi, tampak seperti suami yang penuh perhatian yang sedang menunggu istri yang hobi.

​"Luna!" sapa Raka dengan suara yang disengaja keras, seolah ia ingin memastikan setiap pejalan kaki mendengar namanya. Ia berjalan cepat menghampiri Luna.

​"Mas... aku capek banget," Luna berhasil berujar, suaranya serak dan terpotong. Ia membiarkan dirinya terlihat lemas.

​"Ya ampun, kamu ngos-ngosan begitu! Kamu semangat sekali melukisnya?" Raka memegang bahu Luna, sentuhannya lembut dan perhatian di depan umum. Namun, Luna merasakan jemarinya sedikit menekan, sebuah kode tersembunyi yang mengatakan, 'Bagus, aktingmu sempurna.'

​Raka menoleh ke belakang, ke arah bangunan Studio Karsa. "Aku sempat lihat sebentar studionya dari kejauhan. Bagus tempatnya. Tapi jangan sampai kamu terlalu memaksakan diri, Lun. Kakakmu khawatir."

​Luna mengangguk, masih mengatur napas. Ia melirik jarinya, memastikan ada sisa tanah liat yang menempel di sana. Ia bahkan menahan napas sejenak, takut Raka akan mencium bau parfum yang ia buang.

​"Tadi di kelas, kami dapat teknik baru. Harus pakai kuas besar dan sedikit tekstur. Aku jadi keasyikan," Luna menjelaskan, menggunakan istilah 'teknik baru' yang abstrak.

​Raka tersenyum hangat, senyum yang mencapai matanya, namun hanya Luna yang tahu bahwa itu adalah senyum kemenangan seorang ahli strategi.

​Raka membuka pintu mobil untuk Luna. Saat Luna duduk, ia melihat ke mata Raka, dan di sana ia menemukan konfirmasi—mereka berhasil.

​Di dalam mobil, begitu pintu tertutup, kehangatan dari mobil pribadi mereka terasa menyesakkan, mengingatkan Luna pada kehidupan yang harus ia jalani. Raka menyalakan mesin.

​"Kamu terlihat hebat, Lun," bisik Raka, nadanya kembali menjadi intim, namun ia tetap fokus mengemudi. "Keringatmu nyata. Kelelahanmu nyata. Itu jauh lebih baik daripada aroma mawar murahan."

​"Aku hampir mati lari, Mas," keluh Luna, ia tidak melebih-lebihkan.

​"Itu adalah bagian dari komitmen. Itu adalah harga untuk kebebasanmu," Raka berujar tenang. "Sekarang, berikan tanganmu."

​Luna mengulurkan tangannya yang kotor oleh tanah liat. Raka membaliknya, melihat kuku-kuku Luna.

​"Sempurna. Bau tanah liat dan keringat. Itu adalah bau yang sah," Raka memegang tangan Luna, meremasnya sekilas. "Malam ini, kamu harus memuji cat air barumu di depan Naira. Katakan pada dia, kamu menyukai warna Emerald Green."

​"Kenapa hijau zamrud?"

​"Itu warna yang tenang, Lun. Itu adalah penyeimbang dari Hitam dan Merah yang kita diskusikan tempo hari. Itu akan membuat Naira yakin kamu damai. Dia akan lega," jelas Raka.

​[Konfirmasi dan Kemenangan di Meja Makan]

​Malam itu, di meja makan, Naira sudah menunggu dengan wajah cemas yang berubah menjadi lega.

​"Ya ampun, Luna! Mas Raka cerita kamu kecapekan banget sampai ngos-ngosan," Naira berdiri, memeluk Luna erat. "Kamu harus istirahat! Jangan terlalu keras pada dirimu."

​Luna membalas pelukan Naira, merasakan rasa bersalah itu kembali menyengat, dicampur dengan aroma parfum Naira dan bau tanah liat di jarinya.

​"Aku nggak apa-apa, Kak. Itu tadi teknik baru yang seru banget. Aku sampai lupa waktu," Luna menjelaskan. Ia bahkan membiarkan Naira mencium pipinya.

​Naira melepaskan pelukannya, memandangi wajah Luna dengan teliti.

​"Kamu kotor banget, Sayang. Di kukumu ada kayak... tanah?"

​Ini dia. Ujian terakhir.

​Luna membiarkan dirinya terlihat sedikit malu. "Oh, itu... iya. Di kelas dasar, kami disuruh mencoba membuat tekstur kasar. Ada yang pakai kuas, ada yang pakai tangan langsung. Itu tadi tanah liat kering, cuma buat base," Luna menjelaskan dengan detail. "Aku sampai lupa cuci bersih."

​Raka, yang duduk di seberang, menyela dengan tatapan bangga. "Aku sudah bilang, Na. Dia serius dengan hobinya. Sampai kuku-kuku kotor begitu," Raka tersenyum, dan senyum itu terasa seperti pelukan kehangatan yang membekukan. "Itu bagus, Lun. Tunjukkan komitmenmu."

​Naira tersenyum lebar, beralih dari Luna ke Raka. "Lihat, Mas. Aku bilang juga apa. Dia sudah kembali."

​Makan malam dimulai dengan suasana damai yang baru ditemukan Naira. Luna merasa kemenangan di piring makannya.

​"Oh ya, Kak. Aku mau bilang," Luna memulai, menjalankan instruksi terakhir Raka. "Minggu depan, aku mau beli cat air baru. Aku suka banget warna Emerald Green dari merek yang tadi aku lihat di Studio Karsa. Itu warnanya benar-benar menenangkan. Cocok untuk lukisan pemandangan."

​Raka mengangkat gelasnya. "Ide yang bagus, Lun. Warna damai." Ia melirik Luna, dan tatapan itu adalah sebuah janji—janji akan pertemuan berikutnya.

​Luna tahu, ia telah berhasil melewati ujian alibi yang paling berat. Mereka telah membuktikan bahwa mereka bisa mengubah kebohongan menjadi kebenaran yang nyata, bahkan di bawah pengawasan.

​Kelelahan lari, bau tanah liat, dan warna 'Emerald Green' adalah detail-detail yang kini terukir kuat di ingatan Naira, mengunci Luna di dalam sangkar kebohongannya yang nyaman.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!