Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adu Mulut
Tangan Edward segera terangkat melihat kedatangan dua sahabatnya. Langkah Alya terhenti sejenak melihat wanita yang bersama Edward. Nampak di samping Edward, duduk wanita yang sudah dua kali datang ke rumahnya. Menimbulkan kegaduhan, sambil menyebarkan gossip tidak benar.
Wajah Evan terlihat kesal melihat Sherly ada bersama dengan sahabatnya. Namun dia juga tidak bisa langsung pergi dari sana. Evan merangkul bahu sang istri, lalu mendekati meja yang ditempati Edward. Dia dan Alya mendudukkan diri di depan Sherly. Wajah wanita itu nampak tak suka melihat kemesraan Evan dan Alya.
“Kenalin, ini Nana,” ujar Gelar.
Edward segera mengulurkan tangannya, seraya menyebutkan namanya. Sherly dengan malas mengulurkan tangannya, tanpa menyebutkan namanya. Edward sendiri tidak menyangka kalau Evan datang bersama dengan Alya. Apalagi ada Sherly bersamanya, sudah pasti suasana akan terasa canggung.
“Udah lama di sini?” tanya Gelar basa-basi.
“Ngga juga. Baru sepuluh menitan,” jawab Edward.
“Kalian mau pesan apa?” tanya Gelar.
“Iced cappuccino. Kamu mau apa, Al?” tanya Evan.
“Terserah mas aja.”
“Latte aja buat Alya.”
“Na..”
“Samain kaya Alya.”
Gelar segera menuju meja kasir untuk memesan minuman untuk semuanya. Usai memesan, pria itu menuju toilet. Evan beranjak dari duduknya, ketika Antonio menghubunginya. Tinggallah Edward ditemani tiga orang wanita. Mata Sherly memindai penampilan Nana yang hanya mengenakan celana jeans dan kaos longgar. Wajahnya juga tidak dipulas make up. Terdengar decihan dari mulutnya.
“Si Ge dapet mulung di mana nih cewek?”
Mata Edward membulat mendengar ucapan Sherly. Dia melemparkan cengiran pada Nana, karena tak enak hati. Biar bagaimana pun juga, Nana adalah perempuan yang dipilih oleh sahabatnya. Dan Sherly sama sekali tidak mempedulikan itu. Alya juga meradang mendengar ucapan Sherly, berbeda dengan Nana yang terlihat santai.
“Jaga ya tuh mulut,” berang Alya.
“Pasti dia temen lo, ya? Sama aja, satu level. Cewek ngga berkelas.”
“Terus yang berkelas yang gimana? Yang dandanannya menor kaya badut ancol plus pake baju kekurangan bahan gitu?” ceplos Nana sambil melihat pada Sherly.
Sontak mata Sherly membulat mendengarnya. Disangkanya Nana adalah gadis kampung yang tidak berani membalas ucapannya. Alya menyunggingkan senyuman mendengar jawaban sang sahabat. Edward hampir saja menyemburkan minuman yang baru masuk ke dalam mulutnya.
“Ketahuan banget yang ngga tahu mode plus kampungan ngomongnya kaya gitu,” balas Sherly.
“Bukannya ngga tau mode. Tapi kami sadar betul harus berpenampilan seperti apa. Makanan kalau tertutup itu lebih higienis dan harga jualnya mahal. Beda sama makanan yang udah terbuka di sana sini, mahal enggak, dikerubutin laler iya,” sambar Alya.
Edward yang awalnya tegang dan tak enak hati, justru kini menikmati adu mulut ketiga wanita di dekatnya. Ternyata istri dari Evan memiliki mulut yang tidak kalah pedas. Begitu juga dengan Nana, yang tidak mudah terintimidasi oleh kata-kata Sherly. Pria itu justru kagum dengan dua wanita tersebut.
“Aku heran apa sih yang Evan lihat dari kamu?”
“Yang jelas, yang ngga ada di kamu, ada di aku. Makanya Evan ngga milih kamu.”
“Kamu itu cuma perempuan yang dijodohkan papanya. Evan itu anak penurut, ya pasti dia mau terima kamu. Jangan karena Evan bersikap manis dan mau tidur sama kamu, terus kamu mikir dia cinta sama kamu, ya. Laki-laki itu bisa bercinta dengan wanita manapun tanpa rasa cinta!”
“Sher.. cukup!” peringat Edward.
“Kenapa? Dia harus tahu di mana tempatnya berada. Coba kamu bilang sama dia, gimana hubunganku sama Evan sebelum dia datang. Tukang tikung aja belagu.”
“Siapa yang tukang tikung?”
Mulut Sherly langsung terbungkam mendengar suara Evan. Selesai berbicara dengan sang papa, pria itu kembali ke mejanya dan sempat mendengar kalimat yang dikatakan Sherly. Evan mendudukkan diri di samping Alya, seraya menatap Sherly dengan tajam.
“Si Sherly jangan didengar, dia lagi mabok lem aibon,” lerai Edward.
“Lo tuh jadi cewek ada harga dirinya dikit kenapa? Berhenti mempermalukan diri sendiri. Yang ada gue makin ilfil lihat lo kaya gini. Emang kita ada hubungan apa selama ini? Gue udah peringatin elo, ya. Tapi kayanya elo anggap itu angin lalu.”
“Van.. udah, Van.”
Edward mencoba menenangkan sahabatnya. Jika sudah marah, Evan bisa mengeluarkan kata apapun. Gelar yang kembali dari toilet mengernyitkan keningnya melihat suasana tegang di meja. Melihat wajah Evan yang mengeras, dan mata Sherly yang sudah berkaca-kaca. Dia melihat pada Edward, tapi sahabatnya itu hanya mengangkat bahunya.
“Ada apa sih?” tanya Gelar.
“Ngga ada apa-apa, kok,” sahut Nana.
Pelayan datang memberikan minuman pesanan Gelar. Evan langsung menyambar minumannya, lalu meneguk setengahnya. Dia meminta Alya meminum minumannya. Mau tak mau wanita itu mengikuti perintah suaminya.
“Lain kali kalau ngajak ketemuan, ngga usah ajak dia. Bikin males aja. Ayo, Al.”
Evan segera bangun dari duduknya, kemudian menarik tangan Alya. Gelar hanya melongo saja melihat Evan pergi begitu saja. Edward juga tidak bisa menahan kepergian sahabatnya itu. Dia hanya menghembuskan nafas panjang, sambil melihat pada Sherly yang tengah mengusap airmatanya yang jatuh ke pipi.
“Sher.. lupain Evan. Move on, dia udah nikah. Dan lo lihat sendiri, dia cinta sama istrinya. Please Sher, jangan menyakiti dan mempermalukan diri sendiri. Lo juga tau, dari dulu Evan juga ngga pernah nanggepin perasaan lo. Lebih baik lo cari cowok lain yang sayang tulus sama elo,” Edward memberikan nasehatnya panjang lebar.
“Ck.. Evan lagi. Lo tuh ngga ada kapoknya. Noh si Ed nganggur, sama dia aja.”
“Wew!!”
Itu saja kalimat yang terlontar dari mulut Edward. Gelar mengulum senyumnya. Sudah pasti sang sahabat tidak akan mau bersama Sherly. Dia hanya memanfaatkan wanita itu saja untuk melampiaskan hasratnya. Namun semenjak Edward diminta mengelola café oleh ayahnya, pria itu sudah jarang bermain wanita.
“Gue cuma mau Evan.”
“Lucu ya, kalian tuh sama-sama ngotot. Yang satu ngotot maju, yang satu ngotot nolak,” sambung Nana sambil memasang muka meledek. Mata Sherly mendelik pada sahabat Alya itu.
“Biasa aja tuh, mata. Gue colok nih!” seru Gelar.
“Cih.. elo sama Evan, sama aja. Doyannya ayam kampung!”
“Maksud lo, apa?” kali ini Gelar yang dibuat emosi.
“Jangan salah, cintaaahhh.. ayam kampung mahal loh. Masaknya juga harus benar, biar rasanya enak. Ngga kaya ayam boiler, gampang didapat dan harganya di bawah ayam kampung. Situ ayam boiler ya?” Nana terkikik setelahnya.
Kesal tidak bisa mengintimidasi Nana, dan tidak mendapat pembelaan dari Edward ataupun Gelar, Sherly bangun dari duduknya dan segera meninggalkan tempat tersebut. Tadinya dia berharap salah satu dari temannya, mau menahannya. Tapi ternyata tidak, sambil menghentakkan kaki, wanita itu keluar dari café.
“Lo betah amat sih hangout ama dia,” ujar Gelar begitu Sherly pergi.
“Gue ke sini sendiri, monyong. Dia aja yang tiba-tiba datang terus nemplok di gue, hahaha..”
“Cicak kali nemplok, hahaha..”
Tak ayal Nana tertawa juga mendengar percakapan kedua pria itu. Satu kesimpulan yang bisa ditariknya dari Sherly. Dia adalah perempuan tidak tahu malu yang senang merendahkan orang lain, tanpa mengukur keadaannya sendiri. Dan dia juga lega melihat Alya yang tidak mudah terintimidasi. Begitu juga Evan yang selalu membela istrinya. Nana melihat pada Gelar sekilas. Pria itu tadi juga membelanya. Diam-diam gadis itu tersenyum.
☘️☘️☘️
Setelah meninggalkan mall, Evan mengajak istrinya makan malam di luar sebelum kembali ke rumah. Alya meminta makan di warung tenda saja. Dia mengajak sang suami ke tempat penjual ayam goreng yang memiliki banyak peminat. AYAM GORENG GOROWOK, itu namanya. Disebut gorowok, konon rasa sambal sebagai teman makan begitu pedas. Hingga yang memakannya rasanya ingin ngajoworok alias berteriak.
Semua meja sudah terisi penuh ketika mereka tiba di sana. Untung saja masih ada satu meja tersisa, di bagian dalam tenda. Alya menarik tangan suaminya menuju meja tersebut. Evan mengambil lembaran menu yang dilaminating. Melihat aneka menu yang ditawarkan.
“Mas mau dada apa paha?”
“Ini masih di tempat umum, Al. Nanti aja kalau di rumah, nawarin itu.”
“Ish.. omesh mulu.”
“Hahaha…”
“Aku mau paha, mas dada?”
“Boleh, dada lebih enak, empuk.”
“Ish.. sambelnya mau level berapa? Ini ada level 1, 5, 8 sama 10.”
“Pedes ngga?”
“Level satu, ngga. Tapi kalo lima pedes juga.”
“Aku level satu aja.”
“Minumnya?”
“Teh hangat aja, yang tawar. Lihat kamu udah manis, nanti malah kemanisan.”
Alya menggelengkan kepalanya. Entah apa yang terjadi pada suaminya. Semua perkataannya terdengar absurd. Berbeda dengan Evan yang semakin senang menggoda istrinya. Otak omesh dan jahilnya langsung mode on jika berdekatan dengan sang istri.
“Bu.. pesan dada ayam, sambalnya level satu. Yang paha, level lima. Minumnya teh tawar hangat aja.”
“Nasinya biasa apa uduk?”
“Nasi uduk.”
Penjual tersebut menganggukkan kepalanya. Dia segera menuju gerobaknya untuk menyiapkan pesanan. Dari arah luar, masuk dua orang pengamen. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang sedang popular, satu bermain gitar, satu menyanyi.
“Suaranya enak ya, mas.”
“Biasa aja.”
“Merdu gitu. Mas tuh ngga mau mengakui.”
“Lebih merdu suaraku.”
“Masa?”
“Ngga percaya?”
Evan melambaikan tangannya, meminta sang pengamen untuk mendekat. Setelah menyelesaikan nyanyiannya, kedua pria itu mendekati Evan.
“Mas.. saya boleh pinjam gitarnya sebentar?” pinta Evan.
“Boleh, mas.”
Pengamen yang bertugas mengiringi temannya, segera melepaskan gitar yang tergantung di bahunya, lalu memberikannya pada Evan. Pria itu memainkan gitar sebentar dan setelah yakin gitar sudah tersetel dengan baik, Evan segera memainkan alat musik berdawai tersebut.
“It's hard for me to say the things. I want to say sometimes. There's no one here but you and me. And that broken old street light. Lock the doors. We'll leave the world outside. All I've got to give to you. Are these five words when I.”
Mata Alya terus memandangi Evan yang tengah bernyanyi untuknya. Dia tak menyangka suaminya ternyata memiliki suara yang merdu. Semua pengunjung yang menikmati makanan juga melihat pada pria itu. Evan melanjutkan nyanyiannya, sambil menatap tak berkedip pada sang istri. Lagu yang dinyanyikannya, menyuaran isi hatinya untuk istri tercinta.
“Thank you for loving me. For being my eyes. When I couldn't see. For parting my lips. When I couldn't breathe. Thank you for loving me. Thank you for loving me.”
Tepukan tangan Alya terdengar begitu Evan menyelesaikan nyanyiannya. Wajah wanita itu nampak berbinar, menunjukkan kebahagiaan. Tepukan dari pengunjung lain juga terdengar sebagai apresiasi atas suara merdu Evan. Pria itu mengembalikan gitar, bertepatan dengan pemilik warung menaruh pesanan di meja.
“Gimana?” tanya Evan.
“Suara mas bagus banget. Kok aku ngga tahu mas bisa nyanyi.”
“Kamu ngga pernah nanya. Kamu ngerti kan arti lagu tadi?”
“Dikit-dikit ngerti sih.”
“Itu lagu spesial buat kamu.”
Memerah wajah Alya mendengar ucapan suaminya. Dari pada salah tingkah, dia menyodorkan piring berisi dada ayam pada sang suami. Keduanya mulai menikmati makanan sambil sesekali berbincang. Evan mengangkat jempolnya ketika mencocok ayam dengan sambal.
“Enak kan mas, sambelnya?”
“Enak, tapi kurang pedes.”
“Ini campur sama sambelku.”
Alya menyampurkan sambel miliknya dengan milik Evan, kemudian mengaduknya menggunakan timun. Kali ini rasanya pas di lidah Evan. Pedasnya pas dan membuat nafsu makannya semakin bertambah.
“Kamu bisa bikin sambel kaya gini?”
“Bisa, dong.”
“Besok bikin ayam goreng sama sambel, ya.”
“Ok, mas.”
“Gimana kalau besok kita ke rumah bapak. Makan bareng bapak sama kang Irfan.”
“Boleh, mas.”
Wajah Alya nampak sumringah mendengar rencana sang suami. Keduanya kembali melanjutkan acara makan. Perasaan Alya benar-benar senang, Evan tak membatasi dirinya bertemu dengan Dadang. Perasaannya kini semakin bertambah subur pada sang suami. Dan semoga saja Evan pun merasakan hal yang sama sepertinya.
☘️☘️☘️
Ingat ya, Alya yang dinyanyiin Evan, bukan emak🤣
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/