Salma seorang wanita karir di bidang entertainment, harus rela meninggalkan dunia karirnya untuk mejadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya.
Menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak kembar sangat tidak mudah baginya yang belum terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Salma harus menghadapi tuntutan suami yang menginginkan figur istri sempurna seperti sang Ibunda.
Saat Salma masih terus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik,ia harus menghadapi sahabatnya yang juga menginginkan posisinya sebagai istri Armand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aveeiiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua galau
Angkasa menyetir kendaraannya pulang dengan kegundahan yang ia bawa dari rumah Salma. Beberapa dugaan jelek melintas di benaknya. Ia merasa ada penolakan dari kakak ipar Salma.
Apa Salma yang meminta kakaknya untuk menyuruh aku pulang?
Apa dia ga nyaman aku dekati?
Kalau dia ga suka, kenapa ga bilang sendiri?
Angkasa menggaruk pelipisnya dan mengacak rambutnya sembari menyetir dengan sangat pelan.
Sementara itu di dalam kamar, Salma berbaring sambil mengamati kedua anaknya yang sudah terlelap.
"Mama akan selalu menomersatukan kebahagiaan kalian berdua. Demi kalian, Mama akan lakukan walaupun itu mengemis sekalipun. Mama tidak akan bersikap egois seperti dulu saat Mama bertahan di sisi Papa. Maafkan Mama, kalau kalian jadi melihat tingkah laku Papa yang memalukan." Salma mengusap dan mencium kedua anak kembarnya.
Di waktu yang sama, tampak Armand mengendarai motor besarnya berulang kali melintasi tempat tinggal Salma. Ia menanti kedatangan Salma yang entah dari mana. Ia berharap mendengar suara tawa atau tangisan si kembar dari dalam rumah.
Merasa penantiannya sia-sia lagi, Armand memutar kemudi motornya dan menarik gas dengan kencang menuju rumah kediamannya dengan Tania.
"Dari mana?" sembur Tania ketus saat suaminya itu baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Ga bosan kamu tanya terus setiap hari? jawabanku kemarin dan hari ini sama. Puas?" Armand melempar kunci motor ke atas meja lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu.
"Kurang kerjaan aja kamu muteri rumahnya mantan, kalau sudah mantan ya lupakan. Orangnya aja sudah ga mau sama kamu," cetus Tania dengan rasa cemburu.
"Banyak sekali omongmu. Ambilkan minum buat suami yang baru datang, daripada nyerocos aja mulutmu itu."
"Malas, ambil aja sendiri atau noh minta ambilkan sama mantan terindahmu!" ucap Tania ketus sembari masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, tapi ia tidak seperti Salma yang mampu bertahan dengan sikap manis walaupun batin tersiksa.
Tania tahu ia sudah berbuat suatu kesalahan besar, jatuh cinta dan ingin memiliki pria yang menjadi milik sahabatnya sendiri. Ia juga tidak ingin merebut tapi berharap Salma dapat berbagi dengannya.
Sayangnya Salma terlalu egois untuk mau berbagi menurutnya. Awalnya ia bangga dan bahagia saat Armand tetap menikahinya walaupun Salma menentang. Berbagai cara ia lakukan agar Salma mau menerimanya, tapi sepertinya waktu itu ia terlampau bahagia sehingga lupa, kalau bukan hanya dia saja yang memiliki Armand. Tania membuat Armand tega mengabaikan keberadaan Salma dan kedua anaknya, dan berujung pada pengajuan cerai antara Armand dengan sahabatnya.
Apakah Tania bahagia setelah memiliki Armand hanya seorang saja? Andaikan Armand tetap berlaku baik padanya, perasaan bersalah pada Salma tidak akan ia ingat lagi.
Perpisahan Armand dan Salma, tidak membuat suaminya itu melupakan mantan istrinya. Ia hanyalah istri di atas kertas dan di atas ranjang. Selebihnya Armand menganggapnya sebagai mesin ATM dengan dalih usaha katering yang berjalan ada andil usahanya juga.
Tidak hanya itu, foto Salma dan kedua anaknya masih menghiasi galeri ponsel dan dompet Armand. Wanita mana yang tidak sakit hatinya jika melihat sampul depan ponsel suaminya adalah wajah wanita lain.
Tania memeluk tubuh mungil buah hatinya yang masih berusia dua bulan. Gadis kecilnya itu hampir tidak pernah merasakan sentuhan Papanya. Sekarang ia dapat mengerti apa yang Salma rasakan selama menjadi istri Armand.
Tania menyusut air matanya begitu pintu kamar terbuka dengan kasar. Armand masuk lalu membuka jacket jeansnya dan melemparkannya ke pojok ruangan begitu saja. Tanpa mengganti baju dan celananya ia langsung naik ke atas ranjang, dan tidur di sebelah bayinya.
"Mas, ganti baju, cuci tangan sama kaki dulu," ucap Tania tegas.
"Cerewet, aku ngantuk," sahut Armand asal.
"Kalau gitu pindah kamar, jangan di sini kasihan Gaby kalau kamu bawa virus dan bakteri dari luar."
"Kamu ajalah yang pindah kamar, aku malas sudah ngantuk berat." Armand semakin memejamkan mata dan menutupnya dengan sebelah lengan.
Tania mendengus kesal. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat putrinya lalu membawanya ke kamar sebelah. Ia malas berdebat dengan suaminya, karena jika ia meladeni Armand bersilat lidah yang ada putrinya terbangun dan ia juga yang bakal susah nanti.
Esok paginya Jane sudah ada di depan rumah Salma. Sebelumnya ia memaksa Salma agar memberikan alamat serta peta lokasi tempat tinggalnya. Jarak satu jam dari tempat tinggalnya menuju rumah Salma tidak dihiraukannya asal ia mendapat alasan untuk bertemu Angkasa.
"Sudah siap?" tanya Jane ketika Salma keluar dari dalam kamar sudah berpakaian lengkap.
"Begini aja?" Salma memperlihatkan pakaiannya pagi itu. Kemeja satin hijau muda dipadu dengan celana putih dan tas berwarna hitam. Penampilan yang sangat sederhana jika di sandingkan dengan Jane yang selalu trendy.
"Bagus kok, cantik," ucap Jane tergesa. Ia sudah tidak sabar membawa Salma ke kantor Angkasa.
"Apa harus sepagi ini, Jane? Pak Angkasa belum ada bilang apa-apa loh sama aku."
"Sebaiknya memang pagi, pertama Jakarta itu macet kedua kalau kesiangan rejeki dipatok ayam." Namun alasan Jane mengajak Salma sepagi ini sebenarnya adalah, karena Angkasa kalau siang sering tidak berada di kantor. Tujuan utamanya adalah bertemu Angkasa, terserah Salma nanti mau bertemu siapa di sana.
"Memang kamu sudah tahu program baru yang di bicarakan Pak Angkasa kemarin?"
"Belum. Kalau program untuk aku sih sudah setengah jalan. Mungkin minggu depan sudah pengambilan gambar," ujar Jane bangga.
"Waah, hebat sekali kamu Jane. Program acaramu pasti keren, apalah aku ini ga punya kelebihan apa-apa," keluh Salma.
"Jangan gitu, teamnya Angkasa itu banyak orang hebat. Kamu bakalan dipoles jadi luar biasa. Pokoknya ga rugi terlibat dalam rumah produksi punya Pak Asa." Wajah Jane berbinar senang saat mengingat wajah pria yang diimpikannya.
Sampai di perkantoran yang terletak di di pusat kota Jakarta, Jane langsung menepikan kendaraannya di antara deretan mobil yang terparkir di sana.
Salma tertegun melihat megahnya kantor berlantai empat yang di dominasi oleh kaca. Ia berusaha mengikuti langkah Jane yang cepat serta percaya diri masuk ke dalam ruangan.
Mulai dari receptionist bagian depan hingga menyusuri lorong-lorong kantor, Jane tak henti-hentinya menebar senyuman dan menyapa tiap pekerja yang ada di sana.
"Kamu kenal banyak orang di sini ya, Jane?" Salma berbisik sembari menyeimbangi langkah temannya yang semakin lincah.
"Yaaah, lumayan," sahut Jeni angkuh, "Naah, itu ruang Manager dan team kreatifnya yuk aku kenalin."
"Siapa nih, Jean?" tanya salah seorang karyawan begitu Jane dan Salma masuk ke dalam ruangan.
"Teman, kata Pak Asa mau dicarikan ada program yang cocok untuk temanku ini." Para karyawan yang ada di dalam ruangan saling berpandangan bingung, karena tidak pernah ada alur seorang talent masuk ke dalam ruang kreatif untuk dibuatkan acara.
"Program apaan Jane?"
"Apa aja lah, Pak. Penggembira juga boleh, namanya juga pendatang baru."
"Jane, kok seperti ini? Kalau belum ada program baru ngapain aku di sini?" bisik Salma kesal.
"Udaah, ngobrol-ngobrol dulu aja di sini. Aku tinggal sebentar ya." Jane melambaikan tangannya ke seluruh ruangan dan meninggalkan Salma sendiri di tengah tatapan banyak pasang mata yang memandangnya aneh.
...❤️🤍...