NovelToon NovelToon
Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Pernikahan Paksa Sang Bangsawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Tamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nur Sabrina Rasmah

Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

merebut kembali kekuasaan

Raja Alaric tersedak oleh ludahnya sendiri, sementara Ibu Suri menjatuhkan cangkir porselennya hingga hancur berkeping-keping di lantai marmer. Keheningan yang mencekam menyelimuti aula, hanya menyisakan deru napas Gideon yang berat menahan amarah.

"Racun..." desis Gideon, suaranya kini terdengar seperti geraman serigala yang siap menerkam. Ia melirik sisa teh di depan Ibu Suri dengan tatapan jijik. "Jadi itu cara pengecut kalian menyelesaikan masalah? Menghabisi seorang wanita yang melarikan diri demi melindungi putrinya?"

Emelia melangkah maju, kakinya menginjak serpihan porselen tanpa rasa takut. "Kalian pikir dengan melenyapkan Ibu, warisan itu akan terkubur selamanya. Kalian mengejarnya hingga ke perbatasan, meracuninya dalam pelarian agar kematiannya terlihat seperti sakit karena kelelahan. Tapi Ibu cukup cerdik untuk bertahan hidup lebih lama hanya untuk memberikan kunci ini padaku—kunci yang membuka semua borok kalian!"

Emelia melemparkan selembar kertas tua yang telah menguning dari balik jubahnya. Kertas itu berisi catatan medis rahasia dan segel dari tabib istana yang telah lama "menghilang".

"Ibu meninggal di pelukanku dengan napas yang berbau pahit almond—bau racun Nightshade yang hanya dimiliki oleh apotek pribadi kerajaan!" suara Emelia meninggi, bergema di setiap sudut ruangan. "Kalian membunuhnya karena dia membawa bukti bahwa Raja Alaric hanyalah seorang anak haram yang tidak berhak atas satu inci pun tanah di kerajaan ini!"

Mendengar itu, Raja Alaric bangkit dari singgasananya dengan wajah merah padam. "Cukup! Kau menghina garis keturunan suci!"

Gideon bergerak dalam sekejap mata. Sebelum Alaric sempat memanggil pengawal, ujung pedang hitam Gideon sudah merobek kain di pundak Raja, menggores kulitnya sedikit hingga darah segar mengalir.

"Darahmu merah, Alaric. Sama sekali tidak terlihat suci bagiku," ucap Gideon dengan nada yang sangat rendah namun mematikan. Ia mencengkeram rahang Raja dengan tangan kirinya yang berlapis sarung tangan kulit, memaksa pria itu menatap mata merahnya yang mengerikan. "Kau meracuni ibu mertuaku, dan kau mencoba menghancurkan istriku dengan fitnah. Jika bukan karena permintaan Emelia untuk membiarkanmu melihat kejatuhanmu sendiri, aku sudah akan mencabut lidahmu sekarang juga."

Gideon kemudian menoleh pada pasukannya. "Amankan semua pintu! Tidak ada yang boleh keluar hidup-hidup sebelum pengadilan fajar ini selesai!"

Emelia berdiri tegak di tengah aula, matahari pagi kini menyinari rambutnya yang berantakan, namun sorot matanya lebih tajam dari pedang mana pun. Ia menatap Ibu Suri yang kini terduduk lemas di kursinya, air mata ketakutan mulai membasahi wajah keriput wanita tua itu.

"Ibu lari untuk hidup, tapi kalian mengejarnya untuk mati," bisik Emelia dingin. "Sekarang, aku datang untuk mengambil kembali apa yang kalian curi dengan nyawa Ibu sebagai bayarannya. Tahta ini... sejarah ini... semuanya akan dibersihkan dari nama kalian."

Gideon melepaskan cengkeramannya pada Raja dan berdiri di belakang Emelia, meletakkan tangan di bahunya seolah-olah dia adalah pelindung abadi bagi Ratu yang baru bangkit dari abu kematian ibunya.

"Panggil seluruh rakyat ke depan gerbang!" perintah Gideon pada komandannya. "Biarkan mereka melihat bagaimana 'keluarga suci' ini merangkak di lantai demi pengampunan seorang Duchess yang mereka coba hancurkan."

Ibu Suri mencoba bangkit, kuku-kukunya yang panjang mencengkeram lengan kursi singgasana hingga urat-urat di tangannya menonjol. "Rakyat tidak akan percaya pada kata-kata seorang Duchess yang sudah dibuang! Kalian tidak punya saksi!" teriaknya dengan suara parau yang pecah.

Emelia tersenyum miring, sebuah senyuman yang tidak pernah Gideon lihat sebelumnya—senyuman seorang pemenang yang telah melewati neraka.

"Saksi?" Emelia menoleh ke arah pintu besar aula. "Aku tidak hanya membawa kunci dan surat, Ibu Suri. Aku membawa bayang-bayang masa lalu kalian."

Atas isyarat tangan Gideon, dua prajurit Night Hawks menyeret masuk seorang pria tua yang kakinya pincang dan matanya tertutup kain satu. Pria itu gemetar, namun saat ia mendengar suara Ibu Suri, ia mendongak dengan penuh kebencian.

"Tabib Agung Silas..." desis Raja Alaric, wajahnya kini benar-benar kehilangan warna. Ia mengira pria itu sudah dieksekusi sepuluh tahun lalu di hutan perbatasan.

"Benar, Baginda yang terhormat," suara pria tua itu serak. "Anda memerintahkan saya mencampur racun itu ke dalam bekal perjalanan Duchess Maria. Anda mengancam akan membunuh keluarga saya jika saya menolak. Tapi Duke Jasper menemukan saya di pengasingan, menyelamatkan saya dari algojo kiriman kalian, dan sekarang saya di sini untuk memberikan kesaksian terakhir."

Gideon melangkah maju, bayangannya yang besar menutupi tubuh Raja Alaric yang menciut di singgasananya. "Dengar ini, Alaric. Setiap langkah yang istrimu ambil untuk melarikan diri, setiap tetes air mata yang ia tumpahkan karena fitnahmu, aku telah mengumpulkannya menjadi kemarahan yang akan menghancurkanmu pagi ini."

Gideon menoleh pada Emelia, tatapannya yang semula dingin berubah menjadi penuh kelembutan yang posesif. "Gunakan hakmu, Sayang. Katakan pada dunia siapa mereka sebenarnya."

Emelia berjalan menuju balkon istana yang menghadap langsung ke alun-alun kota, tempat ribuan rakyat telah berkumpul karena gemuruh pasukan kavaleri tadi. Gideon mengikuti tepat di belakangnya, pedang hitamnya masih meneteskan darah sang Raja, seolah memberi pesan pada siapa pun yang berani menentang istrinya.

Di bawah sinar matahari yang kian terang, Emelia mengangkat kunci perak itu tinggi-tinggi.

"Rakyatku!" suara Emelia membelah udara pagi, jernih dan berwibawa. "Sepuluh tahun kalian dipimpin oleh seorang pembunuh dan perebut tahta! Hari ini, kegelapan itu berakhir. Ayahku dikhianati, ibuku diracuni, dan aku difitnah. Namun, darah tidak pernah berbohong!"

Sorak-sorai rakyat mulai terdengar, awalnya ragu, namun kian lama kian membahana saat mereka melihat Raja Alaric diseret keluar ke balkon oleh Gideon, dipaksa berlutut di hadapan istrinya sendiri.

"Berlututlah pada Ratu yang sah," perintah Gideon, lalu menekan pundak Alaric dengan sepatu botnya hingga wajah sang Raja mencium lantai balkon yang dingin.

Emelia menatap lurus ke depan, ke arah cakrawala. Ia merasakan tangan Gideon melingkar posesif di pinggangnya, seolah mendeklarasikan kepada seluruh dunia bahwa wanita ini adalah miliknya—dan siapa pun yang menyentuhnya akan berakhir seperti pria yang kini bersujud di bawah kaki mereka.

"Gideon," bisik Emelia tanpa menoleh.

"Ya, Ratu-ku?"

"Jangan biarkan mereka mati dengan cepat. Aku ingin mereka merasakan bagaimana rasanya kehilangan segalanya, hari demi hari, di dalam sel yang paling gelap."

Gideon mengecup bahu Emelia, sebuah janji setia dari sang dewa kematian. "Sesuai keinginanmu. Aku akan menjadi algojo bagi setiap mimpi buruk yang pernah kau miliki."

Pagi itu, sejarah kerajaan tertulis ulang dengan tinta darah dan air mata, menandai dimulainya era baru di bawah pemerintahan sang Duchess yang bangkit dan Duke yang rela membakar dunia demi cintanya

Gideon tidak menjawab dengan kata-kata. Ia justru mempererat dekapannya saat mereka melangkah masuk ke dalam kamar tidur utama istana yang kini telah dijaga ketat oleh unit Night Hawks. Di balik pintu yang tertutup rapat, ia memutar tubuh Emelia agar menghadapnya.

"Aku tahu," bisik Gideon rendah, suaranya parau oleh emosi. Ia menyentuhkan dahi mereka, membiarkan Emelia merasakan panas dari kulitnya. "Aku bersumpah demi nyawaku, setiap inci abu dari rumah ayahmu akan dibayar dengan air mata darah mereka. Kau tidak hanya memilikiku, Emelia. Kau memiliki seluruh hidupku, pedangku, dan setiap jengkal tanah yang aku injak."

Gideon kemudian membimbing Emelia menuju kamar mandi megah di sudut ruangan. Ia mengabaikan para pelayan yang bersiap membantu; ia ingin melakukan ini sendiri. Dengan tangan yang biasanya digunakan untuk mencabut nyawa di medan perang, Gideon melepaskan gaun Emelia yang ternoda abu dan debu bekas kebakaran itu.

Ia membasuh bahu Emelia dengan air hangat yang telah diberi minyak esensial. Setiap kali jemarinya menyentuh kulit istrinya yang gemetar, Gideon memberikan kecupan ringan seolah ingin menyedot keluar rasa sakit yang tertinggal.

"Darah Ayahmu dan Ibumu menuntut keadilan, dan hari ini kau telah memberikannya," ujar Gideon lembut sambil membungkus tubuh Emelia dengan kain sutra putih setelah mereka selesai bebersih.

Gideon sendiri segera membersihkan sisa darah Raja Alaric dari tubuhnya. Setelah mengenakan jubah tidur yang longgar, ia mengangkat Emelia ke atas ranjang besar berkelambu beludru. Ruangan itu kini hanya diterangi oleh cahaya fajar yang menembus tirai tipis, memberikan suasana yang sangat kontras dengan kekacauan di luar.

Emelia berbaring, wajahnya yang letih kini terlihat sangat rapuh di atas bantal sutra. Ia meraih tangan Gideon dan menggenggamnya kuat, seolah takut jika ia melepaskannya, ia akan kembali ke tengah kobaran api yang melahap rumah ayahnya.

"Jangan pergi," bisik Emelia, suaranya nyaris hilang.

Gideon naik ke atas ranjang, menarik Emelia ke dalam pelukannya yang protektif. Ia membiarkan kepala Emelia bersandar di dadanya, tempat wanita itu bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang hanya untuknya.

"Aku tidak akan kemana-mana," gumam Gideon sambil mengelus rambut Emelia yang masih lembap. "Tidurlah, Duchess-ku. Ratu-ku. Dunia bisa menunggu hingga esok. Hari ini, biarkan hanya ada kita berdua di sini. Biarkan aku menjagamu sampai semua mimpi buruk itu lari ketakutan."

Di bawah dekapan posesif sang Duke, Emelia akhirnya membiarkan matanya terpejam. Untuk pertama kalinya setelah kehilangan kedua orang tuanya karena pengkhianatan yang keji, ia merasa benar-benar pulang. Di sampingnya ada seorang pria yang bukan hanya suaminya, tapi juga benteng terakhir yang akan menghancurkan siapa pun yang berani membuat istrinya menangis lagi.

Pagi itu, mereka tertidur di tengah aroma mawar dan kemenangan, sementara di luar sana, fajar baru benar-benar menyingsing bagi kerajaan yang baru saja mereka rebut kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!